Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Indonesia dalam 'Eksotika'

Eksotika Karmawibangga Indonesia (EKI) menggelar pentas "Urban Ritual" di Jakarta Selatan. Tujuh karya tari dan tiga fragmen hasil garapan para pengasuh EKI digelar oleh anak-anak muda.

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertunjukan ini dibuka dengan Detak, karya Elly Raranta, pelatih tari tradisi asli Sulawesi. Iringannya dikembangkan dari musik khas tari Malulo; gerakannya diolah berdasarkan jejak dan langkah kaki Telaki. Eksplorasi gerak rampak dan tatanan rapi serta jumlah penari yang banyak menjadi acuan.

Harus diakui, tarian ini tak mengandung kualitas gerak ataupun penghayatan tradisi yang dalam. Keduanya baru tampak ketika Elly Raranta menari sendiri di akhir tarian: lembut gemulai. Tetapi bahwa tarian ini merupakan ode bagi kepergian suami tercinta, Andi Tiar, yang juga penari, itu hanya dapat dimengerti dari keterangan program, bukan dari suasana atau rasa garapan tari.

Menyusul kemudian fragmen Sujiwo Tejo, Kereta ke Jalan Padang, yang menampilkan dua wanita yang duduk di bangku panjang yang tampak seperti bangku kereta. Yang seorang lesu dengan beragam bawaan yang berat-berat. Pasangannya cerah dan sangat menyadari, "Kalau melakukan perjalanan jauh, bawaan harus ringan." Yang pertama tak tahu hendak ke mana. Yang kedua jelas dan bulat tujuannya, ke Jalan Padang. Di sana, di studio EKI, ia bergabung dengan 30 lebih anak muda lainnya, ia akan digembleng berlatih seni pertunjukan tradisi, kontemporer, dan modern, dan berkolaborasi dengan seniman-seniman nasional ataupun dunia dalam bentuk lokakarya, pentas, dan festival.

Dua nomor tari kontemporer yang cukup mantap adalah karya Chichi Kadijono (Interaction) dan Edmund G. Gaerland (Shadow Dance). Yang terakhir adalah penata tari asal Filipina yang kemudian menetap di Jakarta. Rusdi Rukmarata, penata tari-penari pendiri EKI, agaknya tengah terlena pada garapan tari naratif atau yang bertema cerita, yang oleh Rusdi disebut sebagai "teater tari modern." Tampaknya, ini memang menjadi komitmen EKI, "to primarily portray social phenomenon in Indonesia."

Kali ini, Rusdi berkisah tentang masalah seks dan hubungan pria-wanita. Pada Sebuah Ketika pada Sebuah Ranjang, misalnya, menggambarkan hubungan pria-wanita yang kadang mesra (tergambar dari lenguh dan erangan erotis di tengah gelap), dan lebih sering konflik. Ia diakhiri dengan Rusdi tengkurap nyaris telanjang di atas tempat tidur, sementara pasangan wanitanya berbalut selimut. Kesan saya, keduanya malu-malu. Ketelanjangan itu lebih menghalangi daripada menjadi sumber keindahan gerak (imaji) indah penari. Beda sekali dengan duet telanjang penari Jepang, Eiko and Koma, yang pernah saya saksikan: bergerak indah sangat perlahan bagai dua patung pualam. Atau, penari-penari Cloud Gate dari Taipei dalam Burning the Juniper Branch karya Lin Hwai-Min, yang diilhami ritual suci agama Buddha masyarakat Tibet dalam pentas khusus menyambut milenium ketiga: teknik gerak yang tinggi, garis tubuh yang jernih dan atletis.

Pemaduan teater (atau drama) dengan tari ini mengingatkan saya pada kredo Jean Jacques Noverre (Prancis), yang menegaskan bahwa "sebuah karya tari (dalam hal ini balet) yang baik merupakan cermin kehidupan: gairah, semangat, nafsu, tata cara, kebiasaan, upacara, dan adat-istiadat berbagai bangsa di dunia…", juga karya-karya Pina Bausch (Jerman), yang dikenal luas dengan sebutan "tanztheater", atau koreografi kelompok butoh Sankaijuku dari Jepang. Bedanya, dalam karya ketiganya, ekspresi pengalaman hidup itu tidak menghalangi kecemerlangan teknik dan keindahan gerak.

Masalah seks serta hubungan pria-wanita juga digarap dalam kedua fragmen. Sebagai penutup, tampil Koreografi untuk Grup karya Rudy Wowor. Transisi yang manis: sekelompok penari dalam kostum hitam-hitam berlari riang untuk berdiri mengitari perempuan sepi dalam adegan Seribu Kunang-Kunang—gerakan sederhana tetapi rapi yang diulang untuk menutup nomor dan seluruh sajian.

Anak-anak muda Eksotika Karmawibangga Indonesia, hemat saya, cukup terlatih, kompak, dan terampil sebagai penari. Tetapi banyak yang belum memikirkan perlunya jati diri, seakan-akan "eksotika," yang menurut Longman berarti "aneh dan tak biasa," (as if) from a distance country, lebih menarik daripada pertanyaan "Apakah artinya menjadi penari Indonesia?" Bagi mereka, apa pun "yang selama itu dimainkan dan dikembangkan oleh orang Indonesia, ia menjadi budaya Indonesia".

Seorang penari kenamaan Taiwan yang pada masa mudanya malang melintang di Eropa, Amerika, dan selama dua tahun bergabung dengan sutradara teater kenamaan Grotowski, tertegun ketika sang maestro menegurnya, "Tubuh, wajah, dan kulit kamu oriental, tetapi teknik gerak, irama, dan pikiranmu sepenuhnya Barat."

Mohon jangan salah mengerti, jati diri juga tidak berarti mengabdi tanpa reserve kepada tradisi. Tetapi, ia selalu harus dicari karena berbeda bagi setiap penari.

Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus