Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Senjakala Ketoprak Tobong

Ketoprak tobong di ambang kepunahan. Hanya satu-dua yang bertahan di daerah-daerah. Seorang anak juragan sebuah kelompok ketoprak tobong di Yogyakarta menggelar pameran fotografi mengenai aktor-aktor ketoprak milik bapaknya di Horniman Museum and Garden, London, sampai April 2016, atas dukungan Art Council d an British Council. Tempo mencoba menelusuri kehidupan kelompok ketoprak tobong yang tersisa di Kediri dan Yogyakarta.

25 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu Mardi Suwarno mendapat peran sebagai raja di Kerajaan Jenggala. Bertelanjang dada, ia mematut diri di ruang rias yang bersebelahan dengan kandang sapi dan dapur. Ia mengenakan jarit dan kalung berkilauan. Mahkota-mahkotaan berwarna hijau dan keemasan menutupi kepalanya.

Ada 13 orang berjejal di ruang 4 x 6 meter itu. Mereka adalah pemain ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya. Sembari menunggu giliran tampil, ada yang masih berlatih menembang atau sekadar menyempurnakan riasan. "Kami ditanggap (diundang) untuk acara Natal," kata Mardi, Desember 2015. Mardi dan kawan-kawan malam itu menggelar pentas di Dusun Kedungwuluh, Kelurahan Sambeng, Boyolali, Jawa Tengah. Mereka diundang oleh panitia Natalan Gereja Baptis Indonesia Cukilan, Boyolali. Meski lokasi pentas cukup jauh, sekitar 47 kilometer dari Kota Boyolali, dengan medan yang sulit dilalui dan hanya bisa dilewati truk atau sepeda motor, mereka tetap menerima order untuk tampil.

"Ini sifatnya pelayanan," ujar Dwi Tirtayasa, 68 tahun, pengelola Kelana Bhakti Budaya. Itu sebabnya, Dwi, yang juga mantan pendeta, tak mematok harga seperti pentas pada umumnya. "Biayanya hanya Rp 6 juta. Biasanya kami mematok bayaran Rp 11 juta," katanya. Malam itu Dwi memboyong 20 pemain dan 13 penabuh untuk pentas yang dimulai pukul 10 malam.

Susah sekarang mencari ketoprak tobong di Yogyakarta. Kelana Bhakti Budaya bisa disebut satu-satunya kelompok ketoprak tobong yang masih hidup di Yogya. "Hanya Kelana Bhakti Budaya yang masih bertahan di Yogyakarta, yang lain sudah tergilas," kata Bondan Nusantara, 63 tahun, pengamat ketoprak di Yogya. Seperti seniman-seniman trubadur Eropa, ketoprak tobong adalah rombongan ketoprak yang berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Tobong—dalam bahasa Jawa—singkatan dari toto-bongkar, yang artinya ditata dan dibongkar alias bongkar-pasang.

Menurut Bondan, zaman dulu, suatu grup ketoprak tobong biasa berpindah-pindah lokasi setiap tiga bulan sekali. Para pengelola kelompok ketoprak tobong harus piawai bekerja sama dengan pemerintah desa tempat mereka bakal berpentas. Sebaliknya, pejabat desa harus mampu mengajak penduduk sebanyak mungkin untuk menonton pementasan tersebut. Setelah pentas, biasanya mereka memberikan 10-15 persen hasil penjualan tiket ke desa. Tapi, lama-kelamaan, karena ongkos pindah yang mahal—dari membongkar panggung hingga menyewa truk kemudian membangun lagi—ketoprak tobong memilih menetap lebih lama, enam bulan hingga lima tahun. Dan kini hampir tidak ada lagi yang tersisa, kecuali Kelana Bhakti Budaya.

* * * *

Di Yogyakarta, ketoprak tobong pertama kali muncul pada 1930-an. Kelompok ketoprak pertama yang manggung adalah Langen Budi Wanudyo. Mereka biasa berpentas di sekitar Pasar Demangan, Kabupaten Sleman. Kelompok ini awalnya menggelar pentas di Solo, tapi pemerintah Belanda melarang dengan alasan ketika ketoprak tobong manggung sering diikuti dengan perjudian di lokasi sekitarnya.

Lalu mereka pindah ke Yogyakarta. Di Kota Gudeg, sambutan warga cukup positif. Kehadiran Langen Budi Wanudyo bahkan mampu menginspirasi warga Yogyakarta untuk mendirikan kelompok ketoprak. Tokoh legendaris ketoprak tobong pada masa itu antara lain Tjokrodjoyo, Basiyo, Gliding, dan Khadariyah. Ada tiga kelompok sangat terkenal di Yogyakarta, yakni Kridomardi, Mardiwandowo, dan Sandiworo Wargo.

Menurut Bondan, pada 1930-an, latar panggung ketoprak tobong yang menampilkan visual kerajaan, hutan, pendapa, dan sebagainya digambar di atas karung bagor dan disambung-sambung. Kini latar panggung lebih banyak memakai bahan kain. Untuk "tata cahaya", dulu digunakan lampu petromaks dengan bingkai kertas merah, kuning, dan hijau. Kertas berwarna itu digunakan untuk memunculkan suasana dramatis. Bila muncul adegan perang, kertas merah yang dipasang. Sedangkan adegan romantis menggunakan kertas hijau.

Ketoprak tobong mengalami masa suram ketika peristiwa G-30-S pada 1965 meletus. Aktivitas ketoprak tobong sempat terhenti total. Sejumlah seniman ditangkap karena dicurigai dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kala itu Lekra mencoba memanfaatkan ketoprak sebagai sarana perjuangan dan propaganda. Mereka bahkan mengubah seni tradisional itu menjadi seni progresif revolusioner. Ketoprak Kridomardi, di bawah naungan Lekra Yogyakarta, misalnya, saat menampilkan lakon Bandung Bondowoso berbeda dengan Bandung Bondowoso konvensional. Bandung Bondowoso yang semestinya berkisah tentang kesatria yang membangun seribu candi dalam satu malam berkat bantuan jin diubah menjadi kisah pembangunan candi dengan cara kerja paksa. Tapi ternyata cerita seperti itu malah digandrungi para petani, buruh, dan masyarakat kelas bawah.

Sejak peristiwa 1965 itu, kehidupan seniman ketoprak tak menentu. Mereka ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Apalagi sejumlah pengurus PKI menjadi orang penting di kepengurusan ketoprak. Anggota Fraksi PKI Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta, Tjokro Djadi, misalnya, menjadi Ketua Badan Kontak Ketoprak Seluruh Indonesia. Tjokro kemudian hilang dan diduga dieksekusi.

Tokoh lain adalah Sasmito, yang ditahan di Pulau Buru selama 13 tahun. Sasmito adalah tokoh atau pengurus Kridomardi. Ia anggota DPRD Kota Yogyakarta. Ibunda Bondan Nusantara sendiri, Khadariyah, ditahan selama 7 tahun di penjara Ambarawa dan Semarang. Padahal Khadariyah, kini 93 tahun, bukanlah anggota Lekra. Ia ditangkap karena memilih Partai Komunis Indonesia saat pemilihan umum.

Pada zaman Soeharto, ketoprak tobong banyak digunakan sebagai sarana menyampaikan program pemerintah. "Enggak boleh ada lakon yang kritis. Si jahat harus pakai baju merah," kata Bondan. Pada 1970-an, semasa Orde Baru, selalu ada pembenaran terhadap kekuasaan, seperti cerita Sumpah Palapa Gajah Mada.

Dalam pementasan ketoprak dengan lakon Ki Ageng Mangir, pemeran tokoh tersebut wajib memakai kostum merah. Ki Ageng Mangir dianggap simbol pemberontakan. Sedangkan Panembahan Senopati berbaju kuning. Perawit juga wajib memakai kostum kuning.

* * * *

"Era kejayaan ketoprak tobong kini sudah habis," kata Bondan. Tapi juragan ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya, Dwi Tirtayasa, tetap gigih mempertahankan kelompoknya. Ia sadar, di Yogya, grup ketopraknya menjadi "the last Mohican". "Ada atau tidak ada penonton, kami tetap harus pentas," katanya. Meski grupnya tampil dengan minim penonton, Dwi tetap harus mengongkosi para pemain. Biasanya ia memberi uang transpor Rp 25-50 ribu per orang. "Kalau tidak ada penonton, ya, nombok. Paling tidak Rp 500 ribu untuk uang transpor seluruh pemain," ujar Mak Kamek, 67 tahun, orang yang bertanggung jawab terhadap kesiapan panggung saat akan berpentas.

Untuk bertahan, Kelana Bhakti Budaya mengandalkan sejumlah donatur dan jejaring dari komunitas gereja. Uang yang mereka kumpulkan digunakan untuk biaya transportasi atau ongkos pengobatan pemain yang sakit. Pernah ada pemain yang meninggal dan membutuhkan biaya pemakaman. Nelly Vjsma, 63 tahun, istri Dwi, terpaksa meminta bantuan donatur untuk biaya pemakaman itu.

Para pemain pun tetap setia. Jengki Sutarti asal Prambanan, Sleman, misalnya, bermain ketoprak sejak 1970. Meski sekali pentas dibayar Rp 25-50 ribu, ia tak pernah mengeluh soal besaran honor. Kusdariyanti, 50 tahun, asal Klaten, pun sama. Ia pernah bergabung dengan Siswo Budoyo pada 1975-1984. Waktu itu ia dibayar Rp 500 dari hasil penjualan karcis pementasan. "Banyak dukanya," kata Kusdariyanti. Ia kini membuka usaha katering. "Saya tak ingin meninggalkan budaya Jawa dan akan terus bermain." Bersama "bala tentaranya" itu, Dwi mencoba tetap optimistis. "Suatu saat orang akan jenuh dengan dunia hiburan layar kaca dan mencari ketoprak. Yogya ini tempat tumbuh seni Jawa ketoprak, sama seperti Bali dengan kesenian barongnya," ujarnya.

Firman Atmakusuma, Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus