Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melihat teman-teman sebayanya bermain di dekat rumah, Hafiz girang. Bocah empat setengah tahun ini menggoyang-goyangkan kedua kakinya seolah-olah ingin mengejar mereka. Namun, apa daya, Hafiz tak sanggup melangkah. "Kaki Hafiz belum bisa menapak," kata Tri Sunarwati, ibu Hafiz, Ahad pekan lalu, di rumahnya di Gunungkidul, Yogyakarta.
Hafiz tak kuasa melakukan itu karena menderita cerebral palsy, yakni gangguan gerakan dan postur akibat kerusakan otak yang tengah berkembang. Kaki kirinya lumpuh, demikian juga tangan kanannya. Lehernya pun tak kuat menyangga kepala. Walhasil, untuk berpindah tempat, dia harus merayap menggunakan dada. Kalau sudah begini, Wati tak tega, lantas bergegas menggendongnya ke luar rumah. "Dia bersemangat sekali kalau melihat teman-temannya bermain di luar rumah."
Kemampuan gerak Hafiz ini sebanding dengan keahlian bicaranya. Hingga kini suara yang dikeluarkannya tak jelas, lebih mirip erangan. Tapi Wati tahu betul apa maksud anaknya. "Dia biasa panggil 'Wati', 'mama', atau 'bapak'," ucapnya. "Bisanya hanya itu."
Empat setengah tahun lalu Hafiz dilahirkan prematur. Dia harus keluar dari rahim lantaran sang ibu mengalami kejang akibat tensi darah yang melonjak. Sesaat setelah lahir, Hafiz tak langsung bernapas dengan normal, sehingga paru-parunya sempat kekurangan oksigen. Akibat kondisinya itu, dia harus dirawat inap hingga dua bulan. Tapi Wati tak paham apa yang menimpa anaknya.
Khazanah kedokteran menyebut apa yang dialami Hafiz ini sebagai asfiksia, yakni kegagalan memulai dan mempertahankan pernapasan pada saat lahir. Salah satu tandanya adalah bayi tak langsung menangis ketika dilahirkan.
Menangis merupakan indikasi adanya pertukaran oksigen dengan karbon dioksida di dalam paru-paru.Kalau oksigen kurang, karbon dioksida akan menumpuk di dalam tubuh. Ini berbahaya. Kurang dari satu menit saja jabang bayi tak bernapas, otak dan badannya bisa rusak. Kerusakan otaknya bermacam-macam. Kalau menimpa bagian yang menggerakkan tubuh, kelak gerak tubuh anak bermasalah. Bila kerusakan berhubungan dengan fungsi penglihatan, anak bisa jadi buta. Kalau terjadi pada otak yang berhubungan dengan pendengaran, fungsi pendengaran dan bicaranya akan terganggu. Demikian juga fungsi kognitif, emosi, dan bagian yang lain.
Dalam kondisi yang amat parah, asfiksia bisa membuat batang otak mati sehingga menyebabkan kematian.Sekitar 37 persen kematian bayi berusia 0-6 hari diakibatkan gangguan pernapasan seperti ini. Adapun bayi yang selamat butuh perjuangan ekstrakeras. Kegagalan pernapasan pada menit-menit pertama kelahiran ini berujung pada rendahnya kualitas hidupnya kelak. Disertasi dosen Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta, Yuni Kusmiyati, di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menunjukkan mereka yang menderita asfiksia akan jauh tertinggal dibanding teman-teman sebayanya.
Untuk mendukung risetnya, Yuni membandingkan kehidupan 87 anak prematur berusia 2-4 tahun yang mengalami asfiksia saat lahir dan 127 anak prematur di usia yang sama tapi tak mengalami asfiksia. Penelitian ini dilakukan pada 2015. Kualitas hidup anak, baik secara fisik, emosi, sosial, maupun sekolah, juga diukur. Hasilnya, mereka yang mengidap asfiksia mengalami perkembangan lebih lambat dibanding bayi prematur non-asfiksia. Secara fisik dan sosial, kualitas hidup mereka dua setengah kali lebih buruk ketimbang kelompok yang mengidap asfiksia.
Adapun kualitas hidup mereka diukur dengan beragam pertanyaan kepada orang tuanya. Untuk kualitas fisik, misalnya, Yuni menanyakan kemampuan berlari dan berjalan anak. Sedangkan kualitas sosial diukur dengan pertanyaan apakah sang anak bermain dengan teman-temannya dan diterima oleh mereka. "Ternyata kebanyakan anak yang mengalami asfiksia dijauhi teman-temannya," tutur Yuni.
Anak yang mengalami asfiksia, menurut Yuni, tak bisa mengimbangi permainan teman-temannya. Kekurangan fungsi fisik membuat mereka tak lincah bergerak dan berpikir seperti teman-temannya. "Akhirnya mereka diolok-olok."
Efek buruk asfiksia sebenarnya bisa dicegah sejak bayi dalam kandungan. Dokter spesialis anak Rinawati Rohsiswatmo mengibaratkan kelahiran bayi sebagai masa transisi kehidupan anak dari kandungan ke alam dunia. Ketika masih di dalam rahim, bayi sangat bergantung pada ibunya. Baik oksigen, nutrisi makanan, maupun darah dipasok sang ibu. Tapi, begitu dilahirkan, dia harus mandiri. Saat itu, dalam hitungan detik, jantung dan paru-paru harus bekerja sesegera mungkin untuk membuatnya tetap hidup.
Namun terdapat beberapa bayi yang tak bisa melewati masa transisi dengan sempurna. Menurut Rina, salah satunya karena "kondisi lingkungan" di rahim ibu yang tak sehat. Misalnya, ibu yang mengalami anemia membuat kiriman oksigen dan nutrisi makanan untuk janin tak maksimal. Walhasil, janin kekurangan oksigen. "Kalau lingkungan di dalam kandungan tak bagus, masa transisinya juga tak bagus," kata dokter yang berpraktek di Divisi Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.
Kemulusan masa transisi juga dipengaruhi umur kehamilan. Makin muda usia janin, makin tak siap organ tubuhnya untuk hidup mandiri di dunia. Dalam kelahiran prematur, paru-paru jabang bayi bisa jadi belum berkembang optimal, sehingga fungsinya juga tidak maksimal.
Faktor lain yang turut menjadi penyebab asfiksia adalah preeklampsia dan eklampsia, demam selama persalinan, melahirkan lama, bayi terlilit tali pusat, atau tali pusat yang pendek. Selain itu, adanya kelainan bawaan bayi, air ketuban bercampur dengan feses pertama bayi, dan persalinan dengan tindakan.
Untuk mencegah asfiksia saat keluar dari rahim, kata Rina, jabang bayi harus ditaruh di tempat yang hangat dan segera dikeringkan dengan handuk. Biasanya dengan cara ini bayi akan terbangun dan menangis. Tapi, kalau masih juga diam, bayi harus segera dibantu bernapas dengan alat.
Bila sudah telanjur mengalami asfiksia, diperlukan penanganan optimal. Menurut dokter spesialis anak Soedjatmiko, harus ada penanganan lebih lanjut pada dua tahun pertama usia anak. Pasalnya, pada masa itu otak tumbuh sangat pesat. "Sehingga diharapkan sisa otak yang masih baik bisa mengambil alih fungsi otak yang rusak," kata konsultan tumbuh kembang itu.
Agar terhindar dari semua itu, orang tua mesti mencukupi kebutuhan tumbuh kembang anak, antara lain memperhatikan kebutuhan nutrisinya. Adapun indikasi kecukupan nutrisi bisa dilihat dengan memantau berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala. Anak juga mesti dihindarkan dari penyakit. Salah satunya dengan imunisasi.
Perkembangan sang bayi juga mesti diamati. Misalnya dalam hal kemampuannya berbicara dan bersuara, pendengaran, penglihatan, kognitif, gerak kasar dan gerak halus, emosi, serta interaksi dengan orang lain. Soedjatmiko menyarankan orang-orang di sekitar anak mesti memberikan stimulasi untuk merangsang berbagai kemampuan tersebut. Rangsangan dilakukan setiap hari dengan cara mengajak bermain. "Untuk fungsi penglihatan, misalnya, ditunjukkan benda-benda kepada anak. Untuk fungsi pendengaran, anak diajak ngobrol, didengarkan macam-macam bunyi," tuturnya.
Soedjatmiko mewanti-wanti agar pemberian rangsangan itu tak hanya dilakukan oleh ibu. Anggota keluarga yang lain juga mesti berperan. Orang tua pun perlu rutin membawa anak ke dokter untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Pada tahun pertama, kunjungan ke dokter dilakukan tiap bulan. Kalau ditemukan kelainan, harus ditangani dokter yang sesuai dengan bidangnya. Kemudian, meski tak ada kelainan dalam satu tahun pertama, tahun berikutnya tetap harus dipantau paling tidak tiga bulan sekali.
Nur Alfiyah, Switzy Sabandar (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo