Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dobrakan dalam Pingitan

Pingitan merenggut masa kecil Kartini. Membawanya menuju gagasan perlawanan.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTINI berlari menuju kamarnya, tak kuasa menahan air mata. Dia merayap ke kolong tempat tidur, menyendiri dalam kesedihan. Beberapa saat sebelumnya, dia masih berlutut di hadapan ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, agar diizinkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS, setingkat sekolah menengah) di Semarang. "Tidak," jawab sang ayah tegas.

Kala itu, awal 1892, Kartini yang baru saja lulus Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang Eropa) sedang galau. Di usianya yang belum genap 13 tahun, ia sudah diperintahkan ayahnya menjalani pingitan. Seketika dunia Kartini menyempit. Dia dilarang keluar dari kompleks rumahnya yang megah. Jangankan ke pendapa, serambi saja hanya sesekali diinjaknya. Itu pun sebentar. Hari-harinya yang menjemukan semakin sunyi tatkala Letsy Detmar, kawan sekolahnya dulu yang beberapa kali datang ke rumahnya, pulang ke Belanda.

Hampir saban pagi matanya berkaca-kaca ketika melihat kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, berangkat ke sekolah. Masih teringat jelas di benaknya betapa riang suasana di sekolah. "Berlalu sudah! Masa mudanya yang indah sudah berlalu!" tulis Kartini menggambarkan nasibnya dalam salah satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri kedua Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri dan Agama Hindia Belanda.

Kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar, aktivis feminis dari Belanda yang menjadi sahabat pena pertamanya, Kartini menceritakan betapa putus asa ia menjalani pingitan yang mengerikan. Beberapa kali dia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci. Otaknya terus mempertanyakan mengapa begitu rendah kedudukan wanita di tanah kelahirannya. Begitu pula soal beraneka tradisi feodal lainnya.

Perlahan Kartini menyadari keputusasaan dan tangisannya tiada berguna. Belakangan dia bersyukur karena pingitan tak menjadi penghalang untuk meneruskan kegemarannya sedari kecil: membaca. Di dalam "kurungan", dia melahap habis buku-buku modern kiriman RM Panji Sosrokartono, kakak kandungnya yang "lebih beruntung" karena dapat melanjutkan sekolah di HBS Semarang hingga Universitas Leiden, Belanda.

Kartini juga memanfaatkan kotak bacaan (leestrommel) langganan ayahnya, yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri. Bacaan-bacaan bertema sosial, politik, hingga sastra itu membantu Kartini menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Tanpa sadar segala bacaan itu telah mendidiknya—yang selama ini seakan-akan menjadi perempuan muda Jawa yang terbuang dari pendidikan—untuk berjuang mendobrak tradisi yang menindas kaum perempuan.

Pada tahun keempat menjalani pingitan, nasib Kartini sedikit membaik. Dua kakaknya yang menentang gagasan perlawanannya pergi dari rumah. Slamet Sosroningrat meninggalkan Jepara dan RA Soelastri dipersunting Patih Kendal Raden Ngabei Tjokroadisosro. Kartini memanfaatkan kepergian mereka untuk berkumpul dengan Roekmini dan Kardinah—yang juga sedang dipingit—di kamar peninggalan Soelastri.

Kepada kedua adiknya, Kartini mulai menerapkan gagasannya tentang persamaan derajat. Dia membebaskan mereka dari tradisi unggah-ungguh berlebihan. Sang adik, misalnya, tak boleh mendahuluinya kecuali dengan merangkak di tanah. Alhasil, ketiganya bersukacita dalam pergaulan tanpa kekakuan yang selama ini menyelimuti persaudaraan mereka. "Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Di antara kami tak ada tata cara lagi," ujar Kartini dalam suratnya kepada Stella. "Perasaan kami sendiri yang menentukan sampai mana batas-batas feodal itu boleh dijalankan!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus