Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika pabrik sepatu Reebok dan Nike membalas demonstrasi dan aksi mogok yang dilancarkan karyawan dengan pemecatan, buruh tak berdaya. Di negeri ini selalu tersedia tenaga yang melimpah dan dengan senang hati menggantikan posisi para pemogok yang "nakal." Lalu, tatkala kedua perusahaan itu memutuskan mengalihkan pusat produksinya ke Vietnam dan Cina—dua negara sosialis yang relatif lebih "aman" dibanding Indonesia—tak ada yang bisa dilakukan para buruh untuk mencegahnya.
Buruh Indonesia, terutama di bawah perusahaan asing atau sub-kontrak, dalam posisi serba salah. Tapi, apa salahnya?
"Demonstrasi bukannya tidak efektif, tapi yang lebih penting sekarang adalah mengorganisasi diri." Kata-kata Fauzi Abdullah, 53 tahun, seorang aktivis yang telah dua dasawarsa menggeluti perburuhan di negeri ini, nyaris tak terdengar. Berbeda dengan penampilannya yang angker berewokan, berkulit hitam, dan berambut keriting penuh uban, Fauzi adalah seorang yang lemah lembut dalam bertutur kata.
Suara Fauzi Abdullah sama dengan penampilannya yang low profile. Para aktivis sezamannya kerap menangkap kelakuan Fauzi yang agak ganjil: manakala demo digelar dan mikrofon diserahkan ke tangan pemimpin, Fauzi biasanya menghilang. Di antara para aktivis dan alumni Lembaga Bantuan Hukum, bekas dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini mungkin sosok yang paling tak dikenal tapi mencatat reputasi bagus dalam membangkitkan kesadaran buruh di era 1980-an.
Waktu itu, dalam suasana represif Orde Baru, pola perjuangan non-konfrontatif yang digelar Fauzi terbukti efektif—kendati dalam skala terbatas. "Unjuk rasa dinilai tidak menanamkan kesadaran secara mendalam. Satu-dua kali demo terus habis," kata Mulyana W. Kusuma, pendiri Komite Independen Pemantau Pemilu, yang dulu pernah bersama-sama Fauzi di Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Ketika itu Laksamana Sudomo, tokoh yang selalu siap menjadi bemper Pak Harto, menjadi Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan kemudian menjadi Menteri Tenaga Kerja. Karena Sudomo-lah intervensi militer dihalalkan bila ada konflik antara manajemen dan buruh.
Waktu bergulir, dunia berubah, beberapa nama yang dibesarkan dalam aksi-aksi buruh telah muncul di panggung politik, tapi Fauzi nyaris tak tersentuh. Sosok lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1980 ini tetap dengan kegigihannya yang kuno: menekan risiko korban di kalangan buruh sekecil mungkin. Ia memang menilai fase penyadaran buruh akan hak-haknya, yang dimulai pada 1980-an, telah berhasil. Namun, persoalan yang dihadapi semakin kompleks. Di samping soal upah dan kesejahteraan, lemahnya kekuatan tawar-menawar buruh Indonesia di hadapan para investor asing telah menumbuhkan rasa takut. Pemutusan hubungan kerja bisa terjadi setiap saat.
Satu-satunya jalan keluar, menurut orang yang pernah setahun mencicipi kuliah di Institut Pertanian Bogor ini, adalah memperkuat serikat buruh. Dan itu mustahil diperoleh jika ekonomi muram dan angka pengangguran melambung tinggi. Untuk sementara, demo hanya ikut mempermuram ekonomi.
Tiada hari tanpa bersentuhan dengan buruh bagi Fauzi. Dulu Jus Soema Dipradja, tokoh pers yang pernah bekerja di Kompas dan Indonesia Raya, mengenal Fauzi sebagai orang yang sanggup mengobrol dengan "anak-anak" (buruh) selama 24 jam non-stop. Masih dengan nada sama, Mulyana W. Kusuma menjulukinya spesialis grass root. Fauzi telah jatuh cinta pada perburuhan sejak ia menjadi tenaga honorer di LBH pada 1980. Tapi, dengan alasan ia bukan sarjana hukum, LBH melarangnya menangani kasus-kasus buruh secara langsung. Bukannya mundur, ia justru "potong kompas", mengunjungi rumah para buruh yang bermasalah dengan perusahaannya. Di rumah mereka, ia berdiskusi, belajar, kemudian menawarkan jalan keluar. Tiga tahun berselang, ia resmi bergabung dengan LBH (1980-1983).
Kini Fauzi telah berdiri sendiri. Ia memimpin Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) di Bogor dan menjadi evaluator di Remdec, satu lembaga yang melakukan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan LSM. Fauzi sangat sibuk. Pekan lalu, ia menerima sejumlah karyawan buruh pabrik biskuit di Kapuk, Jakarta Utara. Perusahaan mereka yang berskala lokal relatif lebih stabil dibanding perusahaan asing, dan tenaga kerjanya pun kecil, 150 orang. Tapi tekad buat mengembangkan serikat buruh bulat sudah. Sementara itu, di kesempatan lainnya ia sudah berada di Bandung untuk melakukan hal serupa tapi tak sama: meningkatkan kemampuan negosiasi serikat-serikat buruh ketika berhadapan dengan perusahaan. Dan pada kesempatan lainnya, ia terlihat sedang membicarakan format jurnal perburuhan yang bakal dikeluarkan LSM-nya.
Fauzi yang keturunan Arab ini lahir di Bogor, 15 November 1949. Mulanya Fauzi—anak ketiga dari 13 bersaudara—diharapkan menjadi pedagang. Tapi, begitu ia memantapkan langkahnya ke bidang advokasi perburuhan, tidak ada sanak keluarganya yang menghalang-halangi. Duit yang masuk ke saku sangat sedikit, tapi itulah konsekuensi keterlibatannya yang panjang dengan dunia kaum buruh. Apa boleh buat, gara-gara takut menyengsarakan keluarga kelak, ia jadi tak berani memikirkan hidup berumah tangga. Hingga di usianya yang 49 tahun, Fauzi tetap membujang. Namun, pada tahun 2000 ia mengakhiri ketakutan itu dan melamar seorang gadis aktivis perburuhan yang sudah lama dikenalnya, Dwi Purwanti. Pasangan ini dikaruniai seorang putri yang sekarang berusia setahun, Raihan Fauzi.
Pernikahan ini rupanya tak mengubah gaya hidup Fauzi. Ia mengaku tidak memikirkan penampilannya yang sering suram, begitu bersahaja. Mengapa begitu? Fauzi mengatakan, apa yang dikenakannya itu bukan pantulan kesederhanaannya. Ia mengaku tak keberatan mengenakan kemeja atau kaus yang bagus, seandainya itu miliknya. Namun, diakuinya pula bahwa kakinya sering lecet-lecet jika memakai sepatu kulit. Maka, ketika menerima TEMPO, ia mengenakan kaus oblong putih, celana warna gelap, dan bersandal. Memang itulah Fauzi, yang menghabiskan dua dekade hidupnya untuk perjuangan buruh sekaligus menghindari lampu sorot dan popularitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo