Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH Rusia memperketat penjualan minuman keras selama penyelenggaraan Piala Dunia 2018. Minuman keras dilarang dijual sehari sebelum dan saat pertandingan berlangsung. Kremlin tak ingin citra negaranya tercoreng akibat keributan gara-gara suporter mabuk yang berbuat onar. Negeri Tirai Besi itu memang tengah menjalankan kampanye untuk mengurangi dampak serius minuman keras terhadap warganya. Meski demikian, mengkonsumsi minuman beralkohol adalah bagian dari kebiasaan masyarakat Rusia. Dan mereka punya vodka, minuman keras yang selalu identik dengan Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOTOL-botol minuman keras beraneka merek dan ukuran terpajang rapi di rak bertingkat enam di dalam toko di dekat Stasiun Partizanskaya, distrik Ismailovo, Moskow. Vodka, minuman beralkohol khas Rusia, mendominasi rak-rak itu. Harganya beragam, 400-1.000 rubel (Rp 92-230 ribu) untuk satu botol berisi 750 mililiter minuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang perempuan berambut pirang yang menjaga etalase dengan ramah menerangkan beberapa jenis vodka yang dinilainya memiliki kualitas bagus. Semua minuman keras itu memiliki kadar alkohol mencapai 40 persen. "Kalau sekarang, Anda bisa membelinya," katanya kepada Tempo, 15 Juni lalu.
Hari itu, vodka dan minuman keras jenis lain mudah didapat. Dua botol vodka premium berkapasitas 750 mililiter dihargai 1.600 rubel atau sekitar Rp 360 ribu. Namun kondisi ini berbeda dengan selama dua hari sebelumnya, saat mereka tak bisa meladeni pengunjung yang ingin membeli minuman keras. "Ada larangan menjual minuman keras pada hari pertandingan Piala Dunia," ujarnya.
Kondisi serupa didapati di Yekaterinburg, kota yang berada sekitar 1.700 kilometer sebelah timur Moskow. Pelayan restoran, Donna Olivia, menggeleng cepat ketika seorang tamunya bertanya mengenai menu minuman anggur, Sabtu dua pekan lalu. Sambil tersenyum, pelayan perempuan itu mengatakan restoran tidak menyediakan minuman beralkohol apa pun hari itu. "Kami tidak menjualnya menjelang hari pertandingan sepak bola," katanya.
Pada Sabtu itu, atau sehari menjelang laga terakhir di Stadion Ekaterinburg Arena antara Senegal dan Jepang, bartender Donna Olivia menutup rapat lemari minuman kerasnya. Pada hari pertandingan, sebagian besar toko minuman keras di sekitar stadion bahkan tutup sementara. Lembar pengumuman jam operasi toko tertempel di pintu-pintunya.
Minuman keras memang diperjualbelikan secara legal di Rusia. Namun aturannya ketat. Konsumen bisa mendapatkannya selama si penjual yakin bahwa mereka telah dewasa atau bisa menunjukkan identitas untuk membuktikan sudah berusia di atas 18 tahun. Stiker atau pengumuman yang menyebutkan "tidak menjual minuman beralkohol kepada konsumen berusia di bawah 18 tahun" juga banyak tertempel di etalase ataupun meja kasir.
Selama penyelenggaraan Piala Dunia, celah pembelian minuman keras dipersempit. Wakil Kepala Keamanan Wilayah Moskow, Kirill Malyshkin, mengatakan pemerintah telah menetapkan pedoman khusus mengenai larangan mengkonsumsi minuman beralkohol. "Penjualan dan konsumsi dilarang sehari sebelum dan saat pertandingan," katanya seperti dilaporkan Interfax.
Aturan itu diterbitkan demi kenyamanan dan keamanan para penggemar sepak bola selama sebulan menikmati Piala Dunia. Ketentuan itu boleh dibilang menjadi berita buruk bagi penggemar sepak bola yang ingin menikmati pertandingan sembari menyesap segelas atau dua gelas bir.
Di luar penyelenggaraan Piala Dunia, pengetatan konsumsi minuman beralkohol ini adalah lanjutan kebijakan pemerintah Rusia untuk memperbaiki kualitas hidup penduduknya. Pada 2009, Presiden Dmitry Medvedev memulai kampanye untuk menekan tingkat konsumsi minuman keras, sesuatu yang dinilai banyak orang sebagai "hal yang mustahil" kala itu.
Medvedev menyebut alkoholisme sebagai "bencana nasional". Dia mengaku terkejut atas adanya laporan yang menyebutkan rata-rata konsumsi alkohol murni di Rusia mencapai 18 liter per orang dalam setahun. "Jika tak ada satu pun yang memulai perubahan, tak akan ada yang terjadi," ucapnya dalam pidato di depan para pejabat senior pemerintah di Sochi, seperti ditulis Reuters.
Pada 2005, Rusia sebenarnya sudah melarang penjualan dan iklan minuman beralkohol di stadion olahraga. Iklan minuman keras di media massa juga dilarang sejak 2012. Selama ini orang Rusia dikenal "terlalu akrab" dengan minuman keras. Tingkat konsumsi alkohol di negara ini tergolong yang tertinggi di dunia. Walhasil, harapan hidup warga Rusia termasuk yang terendah sejagat.
Seperti dilaporkan Associated Press, riset yang dilakukan di sejumlah kota di Rusia menunjukkan eratnya relasi antara konsumsi alkohol dan risiko kematian dini. Risiko kematian yang terkait dengan dampak alkohol pada pria sebelum usia 55 tahun mencapai 35 persen. Padahal angka harapan hidup pria saat itu hingga 64 tahun.
Laporan studi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan tingkat konsumsi alkohol murni di Rusia mencapai 15 liter per orang pada 2010. Lima tahun kemudian, angka itu turun menjadi 14,5 liter.
Lembaga layanan konsumen pemerintah, Rospotrebnadzor, seperti ditulis The Moscow Times, juga menyatakan tingkat konsumsi alkohol di Rusia menurun. Pada 2009, orang Rusia rata-rata mengkonsumsi 15 liter cairan setara dengan alkohol murni. Sedangkan pada 2016, jumlah cairan yang ditenggak sekitar 10 liter per kapita.
Menurut Rospotrebnadzor, penurunan itu dipengaruhi penetapan harga minimal minuman beralkohol serta pembatasan iklan dan penjualan alkohol. Badan Statistik Rusia (Rosstat) menyebutkan rata-rata konsumsi alkohol murni sudah berkisar 6,6 liter per kapita pada 2017.
Kementerian Kesehatan Rusia menyatakan konsumsi alkohol memang menurun drastis dalam lima tahun terakhir. "Penurunan konsumsi alkohol per kapita mencapai 80 persen," ujar Menteri Kesehatan Veronika Skvortsova seperti ditulis Kommersant, Januari lalu. "Sekitar 40 persen orang Rusia dalam periode itu juga lebih aktif berolahraga."
Dampak minuman keras juga mencoreng sejarah sepak bola di negeri itu. Banyak suporter mabuk yang bikin onar. Salah satu catatan terburuknya adalah ketika kelompok suporter Rusia dan Inggris terlibat perkelahian berdarah, dipicu kombinasi minuman keras dan persaingan, di Marseille saat penyelenggaraan Euro 2016 di Prancis. Belasan orang terluka. Kerusuhan kembali terjadi di Lille. Selain terancam dikeluarkan dari turnamen, Rusia didenda 150 ribu euro.
Tak ingin kerusuhan serupa terulang dalam Piala Dunia 2018, Kremlin menerapkan pembatasan alkohol. Aturan serupa pernah ditegakkan saat Piala Konfederasi digelar di Sochi, tahun lalu. Hanya, saat itu alkohol dilarang beredar dalam radius 500 meter dari stadion dan tempat latihan sejumlah tim. Penjualan minuman beralkohol apa pun dalam kemasan gelas juga dilarang.
Kota-kota tuan rumah pertandingan Piala Dunia pun melakukan penyesuaian sendiri. Di Moskow, toko yang berada dalam radius 2 kilometer dari stadion atau stasiun kereta bawah tanah dilarang menjual minuman keras pada hari pertandingan. Peraturan ini mengikat hampir semua toko di kota itu, mengingat rata-rata jarak antarstasiun kurang dari 2 kilometer.
Di Kota Nizhny Novgorod dan Samara, minuman keras tak dijual 24 jam menjelang dan pada hari pertandingan. Bahkan, sebelum laga perdana Inggris di kota itu, beredar banyak foto yang menunjukkan rak-rak minuman keras di supermarket diberi pita pembatas untuk mencegah orang mengambilnya.
Aturan serupa diberlakukan di Yekaterinburg. Meski demikian, sejumlah toko yang jauh dari stadion masih bisa menjual minuman keras dengan waktu terbatas. Ada toko yang baru menutup penjualan enam jam sebelum pertandingan dimulai.
Pembatasan minuman keras ini lebih ketat daripada aturan penggunaan zat yang tergolong narkotik dan obat atau bahan berbahaya. Para suporter boleh membawa mariyuana, kokain, atau heroin ke stadion jika mereka bisa menunjukkan dokumen medis yang membuktikan bahan-bahan itu dikonsumsi hanya untuk pengobatan.
Tindak pencegahan lain adalah pemeriksaan individu. Setiap orang yang hendak masuk ke kawasan stadion atau Fan Fest-arena para suporter menonton siaran laga lewat layar lebar-pada hari pertandingan digeledah ketat. Selain memeriksa barang dengan mesin pemindai, petugas meminta para pengunjung membuka setiap botol berisi cairan dan mengujinya.
Demi kemudahan dan kelancaran arus penonton yang membeludak di depan gerbang pemeriksaan, petugas langsung meminta semua cairan dibuang ke bak penampungan. Hal ini bertujuan mencegah penonton menyelundupkan cairan yang sudah dicampur dengan alkohol ke dalam stadion ataupun Fan Fest.
Meski pemeriksaan sudah diperketat, petugas stadion kebobolan saat sekelompok suporter Kolombia menyelundupkan minuman keras di dalam tabung teropong. Kejadian itu diketahui setelah beredar foto-foto mereka menonton pertandingan Kolombia versus Jepang di Mordovia Arena, 19 Juni lalu.
Salah satu suporter dalam grup itu dikenali sebagai Luiz Felipe Gomez, manajer maskapai Kolombia, Avianca Cargo. Perusahaannya ternyata tak bisa menerima ulah Gomez dan langsung memecatnya. Gara-gara insiden itu, Kementerian Luar Negeri Kolombia mengeluarkan peringatan agar warganya menjaga perilaku selama menonton pertandingan Piala Dunia.
Sebenarnya ada Budweiser dan bir lokal Klinskoye yang dijual di area stadion dan Fan Fest. Dua merek bir itu merupakan sponsor Piala Dunia 2018. Namun minuman seharga 450 rubel (sekitar Rp 100 ribu) per kaleng berkapasitas 450 militer itu tak mengandung alkohol. Hanya, rasanya agak pahit seperti bir beralkohol. Slogan berbunyi "Minumlah dengan cerdas agar bisa merayakan hari esok" pun dipasang di mana-mana sebagai peringatan bahaya mabuk-mabukan.
Tak hanya di kota, penjualan minuman keras di kereta antarkota dan jarak jauh pun dibatasi. Hal ini dilakukan karena kereta menjadi moda transportasi dengan harga terjangkau yang diandalkan para suporter untuk berpindah kota. Kementerian Transportasi Rusia melarang penjualan minuman keras dengan kadar alkohol melebihi 16,5 persen di kereta jarak jauh.
Rusia tampaknya tak ingin ada insiden keributan gara-gara orang mabuk di dalam kereta yang banyak melintasi kawasan terpencil itu. Di kereta jarak jauh itu berkumpul para fan dari berbagai negara dengan segala macam rivalitas mereka. Untuk membantu keamanan perjalanan, banyak polisi bersenjata ditempatkan di rangkaian kereta.
Pembatasan minuman beralkohol ini tampak saat Tempo menumpang kereta Trans-Siberia dari Moskow ke Yekaterinburg pada 19 Juni lalu. Bir memang masih bisa dibeli dan dinikmati di gerbong restoran. Namun tak ada minuman beralkohol yang lebih "nendang" dibanding bir yang dipajang di rak restoran.
Adapun di meja tempat camilan dijajakan di setiap gerbong tak terlihat kaleng ataupun botol bir. Pramugara mengisinya hanya dengan minuman bersoda berbagai merek, biskuit, permen, dan cokelat. Perjalanan selama 26 jam menuju Yekaterinburg itu berlangsung aman tanpa keributan.
Padahal sehari sebelumnya, 18 Juni 2018, polisi Rusia sempat menahan dua suporter Inggris yang mabuk di kereta yang menuju Volgograd. Di kota itulah tim nasional Inggris memainkan laga perdana di Piala Dunia menghadapi Tunisia. Menurut laporan polisi, seperti dilansir Komsomolskaya Pravda, satu di antaranya terluka di bagian tangan setelah memecahkan kaca pintu kabinnya. Dia dirawat di rumah sakit di Kota Yelets, sekitar 700 kilometer dari Volgograd.
Suporter kedua menolak mematuhi perintah polisi dan mencoba keluar dari kereta setelah mengetahui rekannya terluka. Para fan Inggris lain mencoba menghentikan dia, tapi upaya itu malah berujung pada "keributan di antara mereka sendiri". Laporan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan dua suporter mabuk tersebut tidak merespons perintah polisi yang bertugas di kereta. Keduanya dipidana dengan tuduhan mabuk dan membuat keributan di area publik.
Meski minuman keras boleh diperjualbelikan di Rusia, mabuk di tempat umum adalah tindakan ilegal. Hukuman bagi pelanggar aturan ini adalah 15 hari penjara atau denda 1.500 rubel (sekitar Rp 338 ribu). Mereka yang membuat onar gara-gara mabuk juga bisa mendapat hukuman 15 hari penjara atau denda 2.500 rubel (sekitar Rp 560 ribu).
Larangan mengkonsumsi alkohol itu berdampak positif. Para penonton bisa menyaksikan Piala Dunia, di stadion ataupun di Fan Fest, dengan nyaman. Meski pertandingan kerap membuat tensi naik, mereka bisa pulang dengan akur.
Gabriel Wahyu Titiyoga (yekaterinburg)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo