Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seribu Kilometer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Jakarta ke Banyuwangi, Jawa Timur, mereka akan menempuh seribu kilometer agar bisa menyentuh pantai G-Land. Sam (kependekan dari Samudra Biru) telah bersepakat dengan sang ibu, Uci, untuk mengadakan perjalanan panjang melalui darat, bernyanyi bersama, makan enak di setiap perhentian, dan, yang paling utama, bertemu dengan Kailani Johnson, surfer profesional yang tubuhnya bergerak seperti ombak. Sang ayah, Irfan (Ibnu Jamil), setuju saja dengan acara ibu-anak ini. Mereka akan memulai perjalanan dari Jakarta sembari menghadiri perayaan hari ulang tahun eyang putri di Jakarta (Laksmi Notokusumo).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi rencana asyik itu terganggu. Ketika keluarga Irfan yang menetap di Rote nun di Nusa Tenggara Timur menjenguk keluarga besar mereka di Jakarta, sebuah insiden terjadi. Pada hari ulang tahun Grandma-demikian para cucu menyebut beliau-ternyata sepupu Sam yang sudah lama tak ditemuinya sudah berubah menjadi anak kota yang angkuh. Sementara para orang tua saling bergesek tak nyaman, anak-anak malah bertengkar dengan tema kota versus desa.
Para ibu gelisah. Solusinya: Happy dipaksa ikut sepupunya menempuh seribu kilometer agar bisa dekat kembali dengan Sam. Sogokan ala ibu-ibu kota? Happy boleh nonton konser.
Sejak awal, jelas sineas film ini bercita-cita membuat dua tema: film anak dan keluarga serta film perjalanan (road-movie). Untuk yang pertama, duo sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana sudah pernah berhasil menyajikan Petualangan Sherina (2000) dan Laskar Pelangi (2008). Film perjalanan pun sudah pernah mereka produksi berjudul Tiga Hari untuk Selamanya.
Film anak-anak yang menjadi "kemudi" cerita dalam sebuah perjalanan panjang adalah satu jenis kerumitan lain.
Sam dan Happy memiliki kepribadian yang berlawanan: Sam gemar alam dan pantai, mandiri, serta tomboi; sementara Happy adalah anak urban yang merasa harus masuk anggota glam-girl, selalu berbahasa Inggris, dan rajin berdandan. Maka konflik sepupu yang panas-dingin dan festival cemberut-cemberutan kedua cewek cantik ini sudah diselenggarakan sejak awal. Meski ini film keluarga, tentu Riri Riza sadar penonton tak mau terus-menerus mengurus dua anak yang ngambek. Maka, di antara itu, kita akan menemui serangkaian comical relief semacam Dodit Mulyanto yang berperan sebagai Mukhidi, si penunggu hotel yang hobi berbicara kencang seolah-olah lawan bicaranya tuli, dan anak lelakinya, Wahyu, yang ditantang berkelahi oleh Sam (catatan: alangkah senangnya melihat ada anak perempuan yang berani dan menang melawan anak lelaki).
Comical relief lainnya adalah tokoh Dani, orang asing yang katanya lama di Papua, yang ke mana-mana membawa ukulele dan menganggap memainkannya sembari bernyanyi dan bercerita adalah solusi yang bisa mengatasi masalah dunia. Lantas, ada si pencari bakat, Mama Mela (Ligwina Hananto), dengan dedek-dedek-nya yang juga kebetulan bertemu di jalan dan secara tak sengaja terlibat dalam salah satu puncak drama pertengkaran Sam versus Happy.
Bagian ini terasa mengasyikkan karena babak awal film ini berjalan agak lambat dengan perkenalan tokoh dan problem. Ritme baru terasa cepat dan gesit ketika mobil sudah mulai menyusuri berbagai titik Indonesia yang baru terasa bagi penonton Indonesia bahwa negeri ini memang terdiri atas ratusan mutiara yang indah.
Film ini tetap sebuah drama. Pertengkaran demi pertengkaran dan berbagai kejadian kemudian membuat cita-cita Sam untuk mendarat di G-Land-pantai yang ombaknya tertinggi di dunia-makin punah.
Dengan musik ringan yang dinyanyikan kelompok RAN dan kedua pemeran utama, perjalanan seribu kilometer itu terasa menyenangkan. Semua pemain anak, baik Maisha Kanna, Lil'li Latisha, maupun M. Adhiyat, tampil bagus.
Tentu saja ada beberapa hal kecil yang mengganjal saya, misalnya: pertama, ada apa sih antara Uci dan abangnya sampai harus saling dingin dan tiba-tiba kita disuguhi adegan mereka saling bermaafan? Hal lain, karena tidak semua penonton jago surfing, mungkin dahsyatnya Nona Kailani Johnson perlu sedikit diberi intro (bukan sekadar satu kalimat: dia surfer idola Sam) agar kita paham mengapa penting betul si kecil Sam harus menempuh perjalanan sejauh itu. Ketiga, saya berharap cerita ibu-anak dibuat lebih kental karena jelas Marsha Timothy diletakkan di sana untuk ledakan berikut setelah gebrakannya dalam film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017). Ledakan itu tak terjadi karena skenario memutuskan fokus harus pada drama sepupu.
Tapi itu semua tak mengapa, karena menyaksikan film ini tetap asyik lantaran kita seolah-olah ikut bersama mereka di kursi belakang menyusuri Indonesia yang berbeda: yang menyegarkan dan jauh dari kegilaan kota besar.
Yang mungkin mengganggu dan menyengat mata saya adalah serangkaian sponsor built-in yang agak "nyata" dibanding film-film Riri Riza dan Mira Lesmana sebelumnya. Ini agak di luar kebiasaan duo sineas yang saya kagumi ini karena, pada film-film produksi mereka, rekaman sponsor itu biasanya lebih halus.
Selebihnya, tekad saya sesudah menyaksikan film ini: mungkin sudah saatnya kita membuang laptop, menggandeng anak, dan menyusuri seribu kilometer menuju pantai terindah milik negeri ini.
Leila S. Chudori
Kulari Ke Pantai
Sutradara: Riri Riza
Skenario: Gina S. Noer, Mira Lesmana, Riri Riza, Arie Keriting
Pemain: Marsha Timothy, Lukman Sardi, Maisha Kanna, Lil'li Latisha, Ibnu Jamil
Produksi: Miles Films bekerja sama dengan Ideosource Entertainment, Base, dan Go-Studio
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo