Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang bilang, Sint Maarten adalah "the melting point"tempat luluhnya berbagai akar budaya dari seluruh dunia," kata pemandu wisata yang membawa kami mengelilingi St. Maarten, sebuah pulau di bilangan Karibia. "Pulau yang menampung penduduk yang berasal dari 60 bangsa dari seluruh dunia ini ibarat sebuah piring salad; semuanya terhidang bersama-sama namun tetap pada nuansa kultur masing-masing," Fariz, si pemandu itu, melanjutkan dengan amat PD, percaya diri.
Pernyataan bernada patriotik itu terasa benar sebagai dialog yang sudah dirancang dengan bagus oleh "dinas" pariwisata setempat. Fariz yang muda, ganteng, bagus postur badannya, dan terlatih vokalnya itu piawai dalam memberikan sudut pandang, bagaimana sebaiknya para turis menikmati keberagaman di perairan Karibia. Saya jadi teringat kepada satu pidato mantan Menteri Kebudayaan kita, I Gde Ardika. Dalam peresmian Badan Pekerja Kongres Kebudayaan tahun lalu, dia mengatakan Indonesia adalah sepiring gado-gado budaya, bukan piring salad. Gado-gado diracik dengan berbagai bahan dan menjadi satu rasa sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan salad, walau dalam satu wadah, tetap terpisah-pisah.
Perkara "salad dalam satu piring" ini kian kental terasa selama 14 hari melintasi bekas koloni Belanda. Curacao, St. Maarten, Aruba, dan Bonaire. Bersama sastrawan dari negeri-negeri lain yang turut dalam Festival Sastra Winternachten di KaribiaDiana Ferrus (Afrika Selatan), Clark Accord (Suriname), Gerrit Komrij (Belanda), Drisana Deborah Jack (St. Maarten), Myra Romer (Curacao), sama sekali tak terendus ada bau konflik antarsuku bangsa. Kulit hitam, kulit berwarna, dan kulit putih bercampur aduk dengan oke-oke saja.
Banyak wajah bernuansa Melayuyang mengakui bapaknya, ibunya, atau kakeknya dari Indonesiabergandengan dengan pasangan kulit putih. Mereka berserak tanpa menjadi komunitas-komunitas eksklusif yang saling bersitegang. Agama tak menjadi alat bertengkar. Saya kerap disapa oleh mereka yang terlihat kangen pada tanah "leluhurnya" Indonesia dengan satu-dua kata bahasa Jawa. Seorang arsitek yang mengaku berdarah Jawa memegang tangan saya erat-erat seusai pergelaran saya di St. Maarten. Dia memperkenalkan istrinya, seorang perempuan berdarah Cina.
Ada lagi yang mengaku anak angkat Adam Malik, bekas Wakil Presiden Indonesia. Ia kini menetap di Suriname dan sudah pensiun. Ia sengaja datang karena ingin mendengar pembacaan dalam bahasa Indonesia. Ada perempuan muda dengan mata seperti orang Bali, mengaku punya darah Bali. Dengan sangat rindunya dia menemani saya bicara lama. Saya tahu ada semacam getaran di dalam dadanya yang menyebabkan ia menjadi merasa dekat. Saya pernah mendengar kisah rindu para keturunan pekerja ladang tebu Suriname yang berasal dari Indonesia, tapi tetap tertegun. Ternyata kerinduan pada tanah leluhur itu diturunkan hingga terus mengalir di dalam darah. Hal yang sama terjadi pada Diana Ferrus, yang melihat orang-orang berkulit hitam di kawasan itu adalah saudaranya karena mereka anak-cucu budak-budak dari Afrika.
Berbeda dengan jalanan di Jakarta, di setiap daerah yang kami kunjungi tak tampak anak-anak muda bergelandangan. Penduduk pulau itu cuma sedikit. Kawula muda agaknya sibuk di sekolah. Tak ada pengemis, orang gila, atau pemabuk berceceran macam di New York. Yang ada adalah mobil yang meluncur kencang, penduduk yang tak terlalu hitam kulitnya, serta perempuan-perempuan gempal. Penduduk agak pelit mengobral senyum. Namun, kita tak dihinggapi perasaan tak aman di sepanjang jalan seperti di Durban, Johannesburg, atau Cape Town, kota-kota di Afrika Selatan.
Tak terlihat tanda-tanda kriminalitas atau diskriminasi ras. Petugas keamanan pun jarang sekali, kecuali di sebuah sekolah di Bonaireuntuk mencegah bentrokan antar-pelajar karena murid-murid ribuan jumlahnya. Pekerjaan-pekerjaan kasar praktis dimonopoli oleh kaum kulit berwarna. Warga kulit putih lebih banyak kerja di kantor atau menjadi guru.
Karena jadwal amat ketat, kami hanya sempat menyusuri daerah wisata. Saya nyaris menyimpulkan negeri itu kaya. Mories Romken, yang menangani masalah keuangan Winternachten, kemudian menjelaskan bahwa hampir semua usaha dagang yang tumbuh pesat itu bukan milik penduduk. Pembangunan sepintas lalu terasa gencar. Rumah-rumah mungil yang eksotik bertebaran di pantai dengan warna-warna pastel yang beragam. Kapal-kapal pesiar bergeletakan di St. Maarten. Orang Amerika, Belanda, Venezuela telah menanam modalnya di kepulauan bekas koloni Belanda itu karena berbagai kemudahan bisnis dan keringanan pajak.
Fariz, seorang guide di Bonaire yang mengaku ibunya dari Indonesia dan punya ayah orang Libanon membawa kami berkeliling pulau dengan mobil yang disopiri istrinya. Dengan indah dan lucu, ia menjelaskan atau mungkin juga membual bagaimana wilayah itu perlahan-lahan jatuh ke tangan bukan penduduk asli. Di masa lalu, Bonaire konon pulau gersang tanpa penghasilan. Seluruh kawasan berbatu, hanya ada apotek alam, tempat suku Indian mengambil reramuan untuk berbagai obat-obatan.
Pemerintah kemudian menjual wilayah itu kepada beberapa orang. Generasi kedua pemilik tanah itu berada dalam kesulitan karena pajak tanah amat tinggi. Lalu pemilik tanah itu membuat rumah-rumah untuk dijual kepada para pensiunan dari Belanda yang ingin menghabiskan uangnya di tempat yang lebih murah dan damai. Dalam waktu pendek, banyak sekali rumah berdiribisnis yang amat menguntungkan. Melihat keadaan itu, pemerintah lalu mengeluarkan undang-undang: seseorang hanya boleh satu kali menjual rumah. Tetapi para penjual rumah itu tak kehilangan akal, mereka menjual rumah dengan berbagai nama keluarganya.
Di Curacao, pulau terbesar di kawasan itu, hanya hotel kasino Otrobanda, tempat kami menginap milik penduduk asli. Jadi, masa depannya kira-kira mirip di Bali atau mungkin kawasan wisata lain di Indonesia. Penduduk perlahan-lahan tercabut dari tanahnya karena tanah-tanah itu kian mudah dilepas ke orang-orang berduityang notabene orang asingtatkala harga tanah makin mahal.
"Ada satu masalah lagi di sini, mengenai para karyawan," kata Mories kepada saya di Curacao, "Kau lihat di hotel kebanyakan karyawan kasarnya, seperti tukang bersih kamar, pelayan restoran? Semua berasal dari Kolombia. Itu karena penduduk di sini enggan melakukan pekerjaan kasar. Kenapa? Karena itu mengingatkan mereka kepada riwayat sedih di masa lalu sebagai budak yang diimpor dari Afrika."
Saya memahami apa yang dikatakan oleh Mories, karena hal yang sama terjadi di Bali. Tetapi bukan dalam hal pegawai hotel. Orang Bali masih mau menjadi pekerja hotel di masa kebangkitan hotel seperti ketika mulai dibangunnya Hotel Bali Beach. Orang Bali hanya merasa terlalu malu sekarang untuk menjadi tukang bakso, pekerja jalanan, dan sebagainya sehingga kesempatan kerja itu diisi oleh pekerja dari luar Bali. Setelah banyak pendatang gesit membuka warung dan tenda-tenda berjualan, orang-orang Bali kaget sendiri dan mulai merasa lahannya seperti direbut. Peminta-minta pun banyak bertransmigrasi ke Kuta. Kalau tidak segera diantisipasi dengan baik, bukan tak mungkin hal itu akan meledak menjadi masalah besar.
Tetapi hal itu tak terasa di wilayah Karibia yang kami jelajahi. Banyak tempat bersejarah yang mengingatkan pada masa-masa Belanda memanfaatkan perbudakandan itu berarti ada banyak cerita sedihnamun umumnya penduduk tak terkesan mendendam atau temperamental. Mereka tampak lebih tergiring ke arah pemberdayaan pariwisata yang kuncinya adalah keamanan. Dibandingkan dengan segala macam keberingasan yang setiap hari terbaca di koran-koran di Tanah Air, saya merasakan suasana yang amat santai dalam perjalanan.
"Bonaire adalah tempat yang membuat kita seperti ingin benar-benar beristirahat," kata Ton van de Langkruis, Direktur Artistik Winternachten, sebelum kami tiba di pulau itu. Kesantaian yang terlalu membuat Ton sempat grogi dua tahun lalu. Upaya memproyeksikan terjemahan karya-karya sastra yang dibacakan dalam bahasa aslinya ke layar, dengan mempergunakan LCD, bagi panitia setempat sesuatu yang baru. Mereka sama sekali tak siap dengan layar yang diperlukan. Akhirnya terpaksa taplak meja dimanfaatkan. Waktu hendak memasang, panitia kembali bingung, terpaksa Ton kembali turun tangan. "Hal-hal kecil dan mudah menjadi sulit karena mereka tidak terbiasa. Sekarang mereka sudah mulai tahu. Tapi kesantaiannya sebagai penduduk kota wisata tetap saja tak berubah," kata Ton melanjutkan.
Di keempat pulau yang kami kunjungi, keadaan hampir sama. Semuanya mengalir adem. Matahari bersinar sepanjang tahun. Orang-orang berkeliaran, tapi tidak begitu berpeluh karena udara tak begitu lembap. Malam hari, bar-bar dan kasino mulai hidup. Penduduk keluar, minum, mengobrol. Musik reggae berdengung keras. Dalam sebuah kafé di Curacao, ketika kami sedang mengganyang santap malam, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam pakaian pengantin. Rekannya berseru kepada kami sambil tertawa manis, "Wanita ini sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan, tapi dia tidak punya duit untuk membeli pakaian pengantin. Maka, dia jualan suvenir. Barangkali di antara Anda ada yang mau menyumbang."
Lalu ia mengedarkan jualannya. Bak penjual asongan, dia mengedarkan antara lain permen yang digantung di pundaknyasama sekali tanpa rasa malu. Beberapa di antara kami membeli. Dan dia tetap tersenyum manis kepada mereka yang tak membeli. Semuanya begitu wajarperistiwa yang pasti lahirnya terdorong oleh iklim wisata dengan manusia-manusia yang membawa berbagai tradisi. Saya merasakannya sebagai sangat Amerika. Amerikanisasi memang menghujat kawasan itu. Saya bahkan menduga, besar kemungkinan bila industri pariwisata terus tak terkendali, kawasan itu akan kehilangan identitas. Bukan hanya saya, Clark Accord dan Deborah Jack juga merasakan ancaman itu.
Industri pariwisata telah membuat kawasan ini menjadi "sarang" Amerika, seperti halnya Pantai Kuta di Bali yang lebih terasa bagai kampung Australia. Pantai-pantai di Bonaire dan Aruba pun berbau dolar. Bayangkan, uang euro, kalau dibelanjakan, kembaliannya dolar dengan kurs langsung dari penjual. Di Curacao, pegawai warung Internet tak sudi menerima euro. Dia menyarankan tamu-tamu warnet menukar euroke dalam gilda atau dolardi bank atau di salah satu kasino.
Pariwisata di keempat kawasan yang kami kunjungi bukan pariwisata budaya melainkan pariwisata alam, khususnya pantai. Namun, yang mengherankan, perhatian terhadap pembacaan karya sastra yang diselenggarakan di Winternachten sekali dalam dua tahun begitu bagus. Para pengunjung mendesak supaya dilakukan setiap tahun. Ton dan Mories hanya geleng-geleng kepala karena itu menyangkut duit besar, mengingat semua pergelaran termasuk kunjungan ke enam sekolah dengan total 17 kelas buat tiap-tiap pengarang semuanya dilakukan dengan gratis.
Para pengunjung pembacaan sastra kami umumnya orang-orang dewasa, cenderung orang tua. Di Fort Zoutman, Aruba, pergelaran sastra diselenggarakan di bawah langit terbuka dalam sebuah benteng. Suasananya hangat dan romantis. Hampir semua pengunjung wanita. Sebagaimana yang direncanakan oleh Ton, yang awalnya saya anggap hanya dalih "politis", penonton tak hanya menikmati isi yang disampaikan tiap pengarang, tetapi juga menikmati bahasa "daerah"-nya. "Terima kasih atas bahasa Indonesia yang indah itu," kata seorang pengunjung kepada saya. Sementara di pergelaran terakhir di Villa Maria, Curacao, seorang wanita yang sempat berkunjung ke Bali pada tahun 2001 mengatakan bahwa ia benar-benar menikmati bahasa Indonesia, meskipun apa yang ia dengar dalam pembacaan saya dengan apa yang ia dengar dulu dalam percakapan sehari-hari agak berbeda.
Papiamento adalah bahasa pertama kawasan itu, disusul bahasa Belanda dan Inggris, lalu bahasa Suriname dan bahasa Afrika bertemu dalam pergelaran kami. Pertemuan dengan masyarakat setempat (Cultural Center, St. Maarten; Fort Zoutman, Aruba; Fort Oranje, Bonaire; Teatro Luna Blau dan Villa Naria, Curacao) dengan memakai berbagai bahasa itu membuat kami seperti bagian dari kampanye wisata jugabagian dari isi mangkuk salad yang sedang dihidangkan di bekas daerah koloni Belanda itu. Tetapi karya-karya yang digelar sama sekali bukan karya-karya turistik, karena murni pemilihannya diserahkan kepada para pengarang sendiri. Toh mau tak mau peristiwa kesenian Winternachten yang juga berisi acara debat itu menjadi bagian dari unsur yang memberi bobot pada industri pariwisata setempat. Saya sendiri tidak berkeberatan kalau sastra juga diberdayakan sebagai bagian dari kampanye pariwisata, asal kualitasnya jangan diganggu.
Penyiar radio di Bonaire menanyakan apa kesan saya terhadap pulau itu. Tanpa ragu-ragu saya katakan, negeri itu memberi saya pembelajaran tentang bagaimana mempersenang turis dengan fasilitas yang benar-benar sudah terolah agar mereka ingin kembali lagi berkunjung. Pariwisata di Indonesia, yang menjual budaya, berusaha bersaing dengan mempermudah administrasi kunjungan. Antara lain, pemberian visa pada saat kedatangan. Empat daerah bekas koloni Belanda itu begitu ketat mengawasi orang masuk. Hampir setiap koper dibongkar, sepatu dan topi silakan dibuka, ikat pinggang harus ditanggalkan. Ternyata bukan kemudahan semata yang membuat wisatawan ingin mengunjungi sebuah negeri, tetapi fasilitas dan perasaan aman.
Penyiar radio digital itu tertawa. Saya tidak tahu apa itu tanda kebanggaan atau semacam rasa malu. Ia membenarkan, penduduk negerinya memang disiapkan untuk menerima pariwisata sebagai sumber pendapatan pemerintah yang terbesar. Untuk itu, pantai-pantai dibangun menjadi sarang-sarang wisatawan yang nyaman. Erosi budaya pasti tak terbendung melihat industri pariwisata yang maju begitu pesat. Tak lama lagi bisa jadi nasib kepulauan bekas koloni itu seperti Hawaii. Menjadi surga bagi turis, tetapi kehilangan masa lampaunya.
Di Teatro Luna Blau, Curacao, pada akhir perjalanan, saya terkejut ketika bertemu dengan sastrawan dan dramawan yang dengan patriotik mengatakan dia tetap memilih untuk menulis dalam bahasa Papiamento, karena ia benar-benar ingin menjadikan bahasanya itu sebagai bahasa hidup yang ia banggakan. Saya yakin patriotisme semacam itu tidak sedikit terselip di kawasan itu, walau memang tidak meletup. Satu contoh, ketika saya membacakan cerpen Kemerdekaan, semua menyambut dengan antusias. Saya rasa hasrat merdeka bukan hanya "penyakit" orang Indonesia, tetapi tuntutan nurani manusia di mana-mana.
Bila kebetulan di Indonesia hasrat merdeka bergelora dan sedikit kebablasan, tak berarti kawasan wisata Curacao, St. Maarten, Aruba, dan Bonaire tetap melempem. Tunggu saat tersulut saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo