Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyeberang Laut, Mempertemukan Rasa

Kelahiran Festival Winternachteninteraksi budaya antar-bekas koloni Belandapada 10 tahun silam ternyata berkaitan erat dengan setengah abad Indonesia merdeka.

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tengah malam telepon menjerit. Ketika saya angkat, terdengar sapa begitu dekat dan akrab. Dalam bahasa Indonesia yang fasih, seorang pria memperkenalkan dirinya sebagai Ton van de Langkruis dari Festival Winternachten, Belanda. Selanjutnya, dalam bahasa Inggris, ia menanyakan apakah saya bersedia mengikuti Festival Sastrawan di Afrika Selatan. Kontan saya jawab ya.

Afrika bagi saya masih gelap. Yang hidup di kepala saya hanya kemiskinan di Nigeria, perjuangan Nelson Mandela, Gurun Kalahari, dan orang Boosman dan film The God Must Be Crazy, serta gajah dan Tarzan. Kesempatan untuk menghampiri benua itu adalah sesuatu yang istimewa. Tatkala saya benar-benar menapakkan kaki di sana, seorang anggota panitia setempat yang menjemput di Durban menggoda sambil tertawa. "Maaf kalau kau kecewa karena semua yang ada dalam imajinasimu tak kau temukan di sini." Dan, betul.

Selama dua minggu kunjungan, saya tak melihat gajah dan Tarzan yang pakai cangcut. Yang ada justru pantai yang sudah terolah rapi untuk wisata di Durban. Penataan kota di Cape Town membuat saya merasa "malu" datang dari Jakarta yang semrawut. Saya menjadi kecewa merasa bahwa negeri saya jauh lebih miskin. Winternachten membuat saya melihat Afrika. Melihat di mana posisi saya sebagai seorang penulis yang merasa sudah banyak menulis buku, tapi harus memperkenalkan diri dari abjad pertama di belantara mancanegara. Tidak seperti Arudhati, penulis wanita asal India itu, yang hanya dengan satu buku sudah menjadi bintang di Festival Durban. Walhasil, Winternachten telah menolong saya bebas dari penyakit "macan kandang".

Itu peristiwa dua tahun lalu. Sekarang saya kembali mengikuti Winternachten untuk ketiga kalinya pada April lalu. Kami menjelajahi perairan Karibia: Curacao, St. Maarten, Aruba, dan Bonaire. Semuanya bekas daerah koloni Belanda. Bagaikan "The Seven Samurai", kami (Ton, Mories, Diana Ferrus, Deborah Clark, Gerrit Komrij, Clark Accord, Mira Romer) menyosialisasi sastra di bekas daerah koloni Belanda itu dengan empat malam pertunjukan besar dan 17 kali pembacaan karya-karya kami (puisi dan cerpen) di enam sekolah. Persis seperti yang dilakukan kelompok majalah sastra Horison di Tanah Air bersama Ford Foundation.

Sambil menikmati interaksi di dalam setiap pergelaransebagaimana yang dicanangkan oleh Winternachtensaya mulai diganggu oleh pertanyaan, kalau tidak bisa dikatakan kecurigaan: apakah saya tidak sedang melakukan kekeliruan? Kenapa saya ikut Winternachten? Apa sebenarnya yang ada di balik Winternachten? Apakah itu bukan bagian dari upaya kolonialisme baru lewat budaya? Kenapa saya membiarkan diri terlibat? Apalagi di Bandara Schiphol, Amsterdam, pada 11 April 2005, sebelum terbang ke Curacao, seorang wartawati televisi mewawancarai kami. Dia menodong untuk dijawab, mengapa saya bersedia mengikuti Winternachten.

Saat itu saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak bisa bilang tidak pada Winternachten. Terutama karena program itu membuat saya bisa berkomunikasi dengan masyarakat yang belum pernah membaca karangan saya. Saya malu menyebut saya menikmati perjalanan gratis dan uang sakunya, meskipun tak banyak kalau dibandingkan dengan membuat sinetron, misalnya. Sekaligus saya bisa mengeruk manfaat karena mendapatkan banyak masukan untuk bahan tulisan mendatangkilah yang amat klise. Terus-terang saya semakin merasa bersalah. Sebelum merdeka, kita diatur Belanda. Kenapa sesudah merdeka ternyata sama saja? Mengapa saya, yang memuja kemandirian, kok manut saja dipamer-pamerkan sebagai bekas orang jajahan?

Baru di hotel "Talk of The Town" Aruba, ada jawaban yang lumayan menenangkan, langsung dari Ton sendiri, direktur artistik yang membidani lahirnya Winternachten. Sambil menikmati sarapan pagi di restoran depan kolam renang, Ton menceritakan bagaimana Winternachten lahir 10 tahun lalu. Saat itu Indonesia hendak memestakan 50 tahun kemerdekaan. "Waktu itu sudah ada perdebatan seru," kata Ton, "apakah pemerintah Belanda akan ikut merayakan setengah abad kemerdekaan Indonesia."

Menurut Ton, banyak bekas prajurit Belanda yang dulu bertempur untuk menumpas perjuangan kemerdekaan Indonesia terbelah dalam dua garis pendapat yang bertentangan. Di satu pihak mereka merasa bahwa mereka sudah menjalankan sesuatu yang benar, karena bertempur demi negara. Di pihak lain justru merasa berdosa karena sudah membunuh orang-orang Indonesia yang mau merdeka. "Di media massa terjadi debat seru, namun pemerintah Belanda tampaknya tak mau ikut merayakan hari itu, karena kemerdekaan Indonesia bukan inisiatif Belanda," dia melanjutkan.

Ton pun mulai kasak-kusuk. Minta tolong pada Jan Blokker, penulis drama terkenal di Belanda, untuk membuat sebuah drama berjudul Soekarno. Drama itu kemudian dipentaskan, sambil juga memboyong beberapa pertunjukan dari Indonesia. Tak dinyana, peristiwa itu menjadi meriah dan mendapat sambutan bagus sehingga kemudian diteruskan setiap tahun dengan pasokan dana dari Menteri Kebudayaan. "Jadi, asalnya itu merupakan kegiatan Indonesia-Belanda," Ton meneruskan kisahnya.

Enam tahun Winternachten berlangsung di Den Haag (The Hague). Menginjak usia ketujuh, festival ini mulai meluaskan sayapnya. Acara dilangsungkan di Afrika Selatan (Durban dan Cape Town), Indonesia (Utan Kayu, Jakarta). Sejak 2003 masuk ke wilayah Karibia dan disebut sebagai program "Crossing the Seas". Dalam bahasa Papiamento, krusa laman. Maknanya, interaksi budaya dengan menyeberangi lautan antar-bekas koloni Belanda.

Winternachten di Den Haag tak hanya menyuguhkan puisi dan prosa dari penulisnya langsung. Ada juga musik, pemutaran film, dan berbagai kegiatan budaya. Di antaranya diskusi. Anak-anak sekolah pernah dilibatkan dalam workshop yang diakhiri dengan upaya penulisan puisi atau esai. Sayang para guru menurut Ton tak terlalu berminat. Mungkin mereka terlalu sibuk dengan jadwal sekolah. Namun, ada satu guru memberi kabar gembira: ia menyerukan usaha itu seyogianya terus dilangsungkan. Ton sebagai dalang artistik tampaknya terus berusaha melakukan pembaruan-pembaruan bentuk. Winternachten pernah menggelar seminar Islam liberal. Kendati sempat mendapat gangguan untuk digagalkan, acara ini tetap berlangsung dengan baik.

Pada tahun 2004, ada beberapa penulis diminta menulis "orakel", tentang masa depan. Waktu itu saya kebagian menulis tentang Asia. Tulisan itu kemudian dihimpun dalam satu buku peringatan. "Tahun depan saya berpikir hendak menggelar tema tentang apakah ada konsistensi berpikir merdeka di luar arus yang sedang melanda, di negara-negara asal para pengarang. Apakah tetap ada kehidupan berpikir bebas tanpa kompromi yang setia kepada hati nurani mereka," kata Ton. Untuk Indonesia, misalnya, ia ingin mengetahui apakah masalah emansipasi dan kebebasan wanita seperti yang diproklamasikan oleh Kartini masih hidup di kalangan kawula muda sekarang.

Tak semua pengarang Indonesia tahu apa itu Winternachten. Keikutsertaan di festival ini tak bisa dilamar. Winternachten sendiri yang memilih penulis yang mana yang hendak mereka undang. Sampai sekarang sudah banyak penulis Indonesia, generasi tua maupun muda, terlibat. Dalam melakukan pemilihan siapa yang akan diundang, Ton mengakui bahwa mereka menghadapi masalah antara penulis bagus dan penulis laris. Dari Belanda dan Suriname, predikat laris dan bagus dapat bergerak paralel, karena apresiasi membaca serta posisi seorang penulis dalam kehidupan sudah kuat, berkat pendidikan. Hal itu masih amat bertolak belakang di Indonesia. Belakangan ini khususnya semakin rancu antara buku laris dan buku bagus, karena tidak adanya kehidupan kritik yang bisa memberikan peta.

Saya sendiri tidak merasa sebagai penulis yang terpilih, tetapi penulis yang bersedia mengikuti Winternachten. Saya selalu teringat pengalaman di tahun 1985 tatkala mengikuti Festival Horisonte di Berlin. Waktu itu seorang penerbit mengatakan, sastra Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Jerman kurang laku bukan karena tidak bagus melainkan karena masyarakat tak punya referensi bahwa di Indonesia ada kehidupan sastra.

Winternachten bagi saya adalah sebuah celah untuk mengenalkan Indonesia. Setidaknya, dalam aspek lain dari apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mengenalkan negeri ini yang sedang terpuruk oleh tsunami, korupsi, ketakberdayaan hukum, dan krisis elite politik....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus