Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akan Kubawa Kau Pulang, Sarah

Para sastrawan peserta Festival Winternachten 2005 di Karibia saling berbagi pengalaman. Kisah penyair Afrika Selatan, Diana Ferrus dan Sarah Bartmann, terasa benar mempertautkan manusia dan tanah airnya.

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada tahun 1810, Sarah Bartmann dari suku Hottenthot terbujuk untuk mengembara ke Inggris agar bisa menjadi seorang penyanyi. Perempuan usia 20 tahun dari Afrika Selatan itu dibawa oleh dua "pelindungnya" ke sana. Tapi mereka pula yang mencampakkan dia ke Piccadily Circus sebagai barang tontonan. Sarah diikutkan dalam pawai dan dihidangkan kepada masyarakat sebagai makhluk aneh. Empat tahun kemudian, wanita muda ini dijual kepada seorang pelatih binatang di Prancis.

Di Prancis, Sarah mengalami nasib yang sama buruknya. Entah ia hanya menjadi tontonan atau dipaksa melakukan perlakuan yang lebih hina, wanita yang rindu pulang itu meninggal pada 1815. Jenazahnya tidak dikubur, tetapi diselamatkan oleh seorang ilmuwan dalam masa Napoleon. Tulang-belulangnya diambil. Otak dan kelaminnya diawetkan dalam formalin. Kemudian semua itu dipamerkan dalam museum kemanusiaan di Paris dengan label manusia setengah jadi alias manusia setengah binatang.

Seorang penyair dari Cape Town, Diana Ferrus, yang sedang melakukan studi di Universitas Utrecht, Belanda, tentang masalah wanita, terusik oleh fakta itu. Diana, yang baru saja ditinggal selamanya oleh ibunya, amat rindu rumah pada saat itu. "Kalau aku saja begitu rindunya pada rumah, bagaimana dengan Sarah? Pastilah ia lebih kangen lagi kepada tanah airnya," ujar Diana. Sisa-sisa tubuh Sarah selama bertahun-tahun dijadikan benda pajangan bagi para turis dan tak boleh dibawa kembali ke tanah air. Undang-undang Prancis menetapkan, semua benda di dalam museum Prancis adalah milik negara Prancis, tak peduli dari mana pun asalnya.

Trenyuh oleh bayang-bayang kerinduan itu, pada 1998 Diana menulis sebuah puisi dalam bahasa Afrika. Puisi itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Tribute to Sarah Bartmann. Dalam sajak itu Diana berjanji untuk menjemput dan membawa Sarah pulang kembali.

Ia menyediakan tempat tidur, rumah, bahkan gemericik air, gunung, serta bunga-bunga yang sudah berkembang untuk kedatangan Venus dari Hottenthot itu:

I have come to wrench you away Away from the pocking eyes of the man-made monster Who lives in the dark with his racist clutches of imperialism Who dissects your body bit by bit Who likens your soul to that of satan And declared himself the ultimate God!

Rekan Diana, seorang pematung, tergerak oleh sajak itu lalu mencoba menduga wajah Sarah dengan membuat patungnya. Atas izin Diana Ferrus, foto patung disertai sajak Diana di atas ditayangkan di dalam website. Melalui Internet, sajak itu sampai ke hadapan senator Prancis Nicholas Abaut pada tahun 2001. Sekretarisnya menghubungi Diana, meminta izin apakah sajak itu bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Diana tak berkeberatan. Dengan diperkuat oleh sajak itu, Senator Nicholas Abaut maju ke dalam perdebatan Senat Prancis. Dia memperjuangkan agar Sarah dikembalikan ke negerinya.

"Pada saat debat itu berlangsung, 29 Januari 2002, kami semua berdoa, menunggu dengan deg-degan. Ketika perdebatan berakhir dengan kemenangan, kami bersorak gembira," tutur Diana. Sajak itu dimasukkan ke dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh Prancis. "Kontan, aku menjadi wanita yang terkenal di Afrika Selatan," kata Diana sambil tertawa. Ia memang seorang wanita yang ceria, banyak humor, dan energetik.

Demikianlah, sisa tubuh Sarah diboyong kembali ke Afrika Selatan. Dia dikebumikan di atas Bukit Gamtoos di bagian Timur Cape Town pada 9 Agustus 2002. Nisannya dihiasi dengan batu-batu kecil sebagaimana tradisi setempat, karena di situ nisan tidak dihiasi dengan tanaman bunga. "Sekarang Sarah telah tenang kembali dan aku puas," kata Diana. Penyair wanita ini mengaku sedang berusaha mencari dana agar setiap wanita yang ingin berziarah ke makam Sarah Bartmann dapat melaksanakan hajatnya dengan gratis. "Lokasi makam itu jauh di gunung, tak semua wanita akan mampu mencapainya. Padahal Sarah sudah menjadi semacam legenda pembebasan buat kami semua," Diana melanjutkan.

Sarah yang dijuluki Venus Hottenthot itu kemudian menjadi legenda. Dan Diana Ferrus adalah legenda yang hidup. Ia berhasil membuktikan bahwa sajak dapat menjadi kekuatan sosial yang luar biasa dan berhasil mengubah undang-undang di sebuah negara seperti Prancis. Pada akhir kunjungan Winternachten di Curacao, dalam debat yang dilaksanakan di teater "Luna Blau" (Bulan Biru), moderator menggarisbawahi peran puisi dalam kehidupan. Di hadapan penonton, ia sengaja bertanya pada Diana apa arti sebuah sajak dihubungkan dengan berbagai fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Diana tinggal menceritakan apa yang sudah terjadi. Penonton lantas berkeplok tangan seru. Dan puisi tiba-tiba menjadi pahlawan.

"Fenomena Sarah Bartmann dengan puisi yang lahir dari tangan Diana hanyalah sebuah contoh yang mungkin banyak tersembunyi di berbagai kawasan di bumi ini. Tidak hanya di Afrika Selatan, tetapi juga di Karibia, Suriname, dan Indonesia bahkan di Belanda sendiri," kata moderator itu. "Tinggal bagaimana upaya kita untuk memberdayakannya, dan membuatnya keluar dari persembunyian sebagai bukti betapa keterlibatan dan potensi sastra pada kehidupan."

Moderator itu tak langsung menjelaskan juga apa artinya Festival Para Pengarang seperti Winternachten. Saya sendiri benar-benar terpesona oleh cerita tentang Sarah Bartmann. Lalu, saya sapa Diana, apakah dia tidak pernah bertanya kepada dirinya mengapa semua itu bisa terjadi, dan mengapa dia yang terpilih. Diana menatap saya dengan senyuman yang berarti. "Ya, aku memang sering bertanya, kenapa aku, kenapa aku yang terpilih menjadi pemeran dalam peristiwa mengembalikan Sarah ke rumahnya itu, bukan orang lain," kata Diana.

Tetapi Diana memang pantas dan berhak atas perannya itu. Perempuan berusia 52 tahun dengan wajah kekanak-kanakan itu sudah memutuskan untuk tidak kawin. Tapi ia seorang yang amat mencintai anak-anak. "Aku seorang aktivis yang bekerja di bagian administrasi universitas. Aku juga menyambi kuliah karena aku tak perlu bayar uang kuliah," katanya sambil tersenyum. Ia mengaku di dalam tubuhnya tercampur darah Hottenthot serta darah Indonesia, serta sadar sekali bahwa nenek moyangnya adalah bekas budak.

Diana adalah seorang penyair yang bagus. Sajak-sajaknya tentang kebangkitan bangsanya bukan hanya pamflet, tetapi pesan kemanusiaan yang merdu dan mendalam. Saya merasa amat beruntung bertemu dia. Saya bicara tentang gerakan kesetaraan perempuan yang mulai ekstrem dan mencoba meniru tindakan-tindakan radikal sehingga tidak hanya membuat kesetaraan, tetapi juga perubahan posisi perempuan dari yang semula dikuasai kini menguasai. Dan Diana menanggapinya dengan tidak emosional. Sesuatu yang membuat saya semakin mengerti lagi, mengapa peran pembebasan Sarah itu jatuh pada Diana.

"Aku datang menjemput untuk membawamu pulang, akan kunyanyikan sebuah lagu untukmu, karena kau telah memberiku rasa damai, karena kau telah memberi kami semua kedamaian," ucap Diana dalam sajaknya yang telah diterjemahkan ke banyak bahasa itu.

Sajak itu sendiri tanpa Sarah Bartmann sudah kuat, membuat saya sendiri ingin cepat pulang kembali ke Indonesia, yang walau bagaimana adalah rumah saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus