Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi inilah Arnhem Land, tanah air suku Aborigin. Terpatri di semenanjung utara Benua Australia, kawasan itu terlihat seperti oasis tropikal dari balik jendela Cessna—pesawat mungil dengan 12 tempat duduk—yang tengah menerbangkan Tempo ke Pulau Elcho. Terumbu karang menerawang di perairan dangkal dengan warna air yang kian biru di laut dalam. Tak ada buih ombak, entah kenapa. Mungkin ombak telah pecah di tengah laut, hingga riaknya sudah pupur begitu menyapu pasir pantai. Hutan tropis dan dataran sabana sedikit kabur oleh kristal embun yang menguap di bawah matahari bulan Agustus.
Inilah Arnhem Land, tanah tempat dongeng-dongeng warisan para daeng pelaut dari Makassar berabad lampau masih dituturkan dengan setia oleh kaum tua-tua kepada generasi muda Aborigin. Di bawah sana, panorama alam sungguh mengajuk hati untuk mendekat. Sesekali jalan tanah merah yang meliuk menyembul di antara rimbun pepohonan. Dan sederet tebing cokelat tiba-tiba mengingatkan kita pada pemandangan di kartu-kartu pos.
”Indah tidak tanah kelahiranku?” ujar Charles Yunupinju kepada wartawan mingguan ini. Di antara enam penumpang, lelaki Aborigin ini satu-satunya penumpang yang bisa duduk manis selama dua jam penerbangan Darwin-Pulau Elcho. Lima penumpang lain, termasuk Tempo, serasa ingin meloncat dari jendela dan segera menyatu dengan panorama alam yang memanggil-manggil dari bawah sana. Sesaat kemudian, pesawat menjejak landasan kecil di Pulau Elcho. Ini salah satu pulau dari gugusan pulau kecil di lingkungan Arnhem Land di Negara Bagian Northern Territory.
Dari tanah ini, satu pertalian sejarah dan budaya dapat ditarik melintasi benua dan samudra menuju Makassar, nun jauh di Sulawesi Selatan. Alkisah, pelaut-pelaut Makassar membuang sauh di sana pada berabad-abad silam. Marege, demikian para daeng (panggilan lelaki dari Makassar) menyebut Arnhem Land. Pada musim tertentu, mereka meninggalkan Sulawesi dengan padewakang (perahu layar khas Makassar—Red.) untuk mencari teripang.
Teripang yang mereka ambil dari perairan dangkal di Arnhem konon besarnya mencapai ukuran paha orang dewasa dan berkualitas wahid untuk diekspor ke Cina. Alhasil, daeng-daeng pelaut ini bisa tinggal berbulan-bulan di pesisir. Mereka membangun perkampungan, hidup rukun bersama warga Aborigin. Sebagian menikah dengan wanita setempat dan memperanakkan keturunan Makassar-Aborigin. Darah campuran itu masih bertahan sampai sekarang (lihat Darah Daeng di Tubuh Datjing).
Menurut catatan sejarah, padewakang terakhir berlayar ke sana pada 1907. ”Saat itu pemerintah kolonial Inggris di selatan mulai merecoki mereka dengan menarik pajak kepada setiap kapal yang masuk perairan Australia,” ujar Peter Spillet, sejarawan Australia (lihat 26 Hari Melintasi Benua). Maka rombongan daeng pelaut pun mulai berhenti melawat ke Tanah Arnhem. Pantai-pantai yang sunyi di pesisir utara kini seolah menjadi saksi bisu pertalian erat dua suku yang dipisahkan oleh jarak ribuan kilometer.
Tapi, di Pulau Elcho, legenda Makassar itu masih tertanam kuat. Terletak di pucuk utara Arnhem, pulau kecil berjarak 550 kilometer dari Darwin ini mirip ulat hijau yang berbaring malas di tengah laut. Galiwinku, ibu kota Elcho, mirip desa dengan sekitar seratus rumah. Pulau itu memiliki belasan desa. Jumlah penduduk seluruhnya sekitar 1.500 orang—mereka menyebut diri Yolngu, kaum Aborigin dari Arnhem Land.
”Datanglah ke Galiwinku. Di sana ada keturunan langsung orang Makassar yang masih hidup,” pesan Peter Spillet kepada Tempo. Selain Spillet, sedikit sekali warga Australia yang berkunjung ke pulau ini. Beverly Mercer, misalnya. Konselor Kebudayaan Australian Indonesian Institute (lembaga yang menjadi tuan rumah kunjungan Tempo ke Australia pada Agustus lalu) itu belum pernah bertandang ke Arnhem atau Galiwinku. Informasi tentang kawasan ini pun amat minim, terutama soal transportasi.
Selain alamnya masih perawan, warga Aborigin yang tinggal di sana pun konon cenderung masih garang terhadap pendatang. ”Anda benar-benar yakin mau ke sana?” Elizabeth O’Neill, Atase Pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta, sempat ragu saat mendengar niat Tempo mengunjungi Arnhem Land. Kawasan ini memang tidak mudah dimasuki. Dibutuhkan izin masuk—dan prosesnya bisa makan waktu satu bulan. Itu pun setelah mendapat restu dari komunitas Aborigin setempat. Tanpa itu, jangan harap bisa turun dari pintu pesawat.
Untungnya, Charles Yunupinju, yang kebetulan ”Camat” (dia pemimpin Galiwinku Community Incorporated) Pulau Elcho, memberikan izin masuk setelah dikontak Tempo lewat telepon. Kebetulan pula wartawan mingguan ini naik satu pesawat dengan Yunupinju dari Darwin. ”Tak perlu ragu. Orang Aborigin di sana amat ramah dengan orang Indonesia. Mereka akan menyebut Anda macassara,” Spillet memastikan.
Benar saja. Di setiap pojok jalan hingga ambang rumah, mereka tak pernah luput menyapa sambil menebar senyum. ”Ah, mainmark (sapaan yang artinya hidup atau selamat—Red.) macassara, yappa! (Halo—Red.),” seorang ibu berkulit legam yang tengah makan angin di bangku lusuh di depan rumahnya memberikan salam kepada Tempo.
Pertalian erat nenek moyang mereka dengan pelaut Makassar rupanya masih langgeng. Para sesepuh klan mengisahkan legenda-legenda leluhur mereka dari negeri seberang itu lewat kidung, dongeng, tarian, torehan di kulit pohon, dan warna kulit. ”Anda tahu kenapa kulit saya cokelat tua? Ini pemberian leluhur saya, macassara,” ujar Don Winimba dengan bangga. Salah satu penduduk Galiwinku ini mengaku neneknya kawin dengan pelaut Makassar.
Jejak Makassar juga banyak tertanam dalam bahasa sehari-hari. Kata ”Takarena” (bahasa Makassar yang berarti ”tempat tetirah”) masih dipakai hingga kini. Takarena adalah sebuah teluk yang tenang di seputar Galiwinku. ”Di teluk itu ada sebuah mata air tempat pelaut Makassar mengambil persediaan air tawar,” ujar Jessica de Largyhealy. Wanita ini adalah penggagas Knowledge Center di Galiwinku untuk mencari pertautan sejarah Makassar-Aborigin.
Selain ada Takarena, di Galiwinku terdapat Kampung Marungga dan Lamuru Point—nama-nama tempat yang berbau Makassar. Beberapa kata yang dibawa para pelaut Makassar diadaptasi dalam bahasa sehari-hari warga Aborigin. ”Saya tak punya ’rupiah’ untuk mengunjungi keluarga di Makassar,” ujar Matjuwi Burarrwanga. Kakek buyutnya adalah pelaut Makassar bernama Husaen Daeng Rangka (lihat Darah Daeng di Tubuh Datjing).
Rupiah yang dimaksud Matjuwi adalah uang. Keluarga Matjuwi tertawa geli ketika Tempo mencocokkan beberapa kata. Di antaranya bajo (baju), sendhok (sendok), berrata (beras), dharipang (teripang), galiwang (klewang), padang (pedang), dan dhambaku (tembakau). ”Nah, itu pohon jamblang,” ujar Datjing Burarrwanga, anak tertua Matjuwi, sambil menunjuk pohon asam di halaman rumah mereka. Pelaut Makassar dulu membawa bibit pohon asam ke tanah Marege sebagai bumbu masak. Biji-biji pohon asam itu kini beranak-pinak hingga ke halaman rumah Matjuwi.
Selama 40 ribu tahun usia peradaban Aborigin di Benua Australia, pelaut Makassar pencari teripang adalah orang luar yang rajin menyambangi mereka. Memang mereka bukan yang pertama. Menurut Jennifer Isaacs dalam bukunya Australian Dreaming: 40.000 Years of Aboriginal History, ada orang-orang Baiini—yang konon juga dari Kepulauan Indonesia—yang masuk ke Arnhem Land sebelum para pelaut Makassar. ”Tapi jumlah mereka tak sebanyak orang Makassar,” tulis Isaacs dalam bukunya. Setelah perginya orang-orang Baiini, puluhan perahu layar Makassar datang setiap tahun.
Ada perdebatan tentang kapan tepatnya pelaut Makassar ini datang ke Arnhem. C. Campbell McKnight dalam catatan antropologisnya memperkirakan abad ke-17 atau ke-18. Saat itu ada pertemuan antara pelaut Inggris, Kapten Matthew Findlers, dan Daeng Pobasso, pada 1803. Isaacs serta Spillet punya pendapat lain. Pelaut Makassar telah berlayar ke Arnhem jauh sebelum itu. Versi Jennifer Isaacs adalah tahun 1650 berdasarkan temuan arkeologis. Sedangkan Spillet menduga mereka tiba satu abad sebelumnya. ”Dari prasasti di fondasi benteng Somba Opu yang dibangun pada 1550 di Makassar, saya menemukan gambar padewakang dan teripang besar,” ujar Spillet.
Yang pasti, setiap kali angin utara mengawali musimnya pada bulan Desember, para daeng pelaut itu berbondong-bondong berlayar ke Arnhem. Jumlahnya 30-60 perahu. Setiap perahu diawaki kurang-lebih 30 orang. Setelah buang sauh, para perantau dari Makassar ini mengeluarkan lepa-lepa, kano dari batang pohon yang ditatah sebagai sekoci untuk ke pantai. ”Lepa-lepa yang kini digunakan masyarakat Aborigin benar-benar pengaruh dari pelaut Makassar. Sebelumnya, mereka hanya mengenal perahu dari kulit kayu,” ujar Joanna Barrkman, kurator Museum and Art Gallery of the Northern Territory (MAGNT).
Dengan bantuan orang Aborigin, lepa-lepa juga digunakan untuk mengumpulkan teripang dari dasar laut. Teripang direbus dalam periuk-periuk tanah, lalu dibelah. ”Sisa-sisa periuk ini masih banyak ditemukan di pantai-pantai Arnhem,” tulis Jennifer Isaacs dalam bukunya. Para daeng ini juga membangun rumah-rumah asap guna memproses teripang sebelum membawanya pulang ke Makassar untuk diekspor ke Cina.
Pelaut Makassar biasanya tinggal sekitar lima bulan di Arnhem saban musim lawatan. Pada masa inilah terjalin interaksi yang intens dengan warga Aborigin. Selain mengawini wanita-wanita Aborigin, mereka terkadang membawa lelaki Aborigin ke Makassar untuk bekerja di sana. Sebagian tak pernah kembali lagi. Dan kalaupun kembali, mereka tak lupa menorehkan pengalaman di rantau pada dinding batu (rock painting) di gua-gua (lihat Requiem di Saat Pulang).
”Di Groote Eylant ada yang menggambar padewakang dengan amat detail,” ujar George Chaloupka, pakar rock painting dari MAGNT, ”Ada juga gambar wanita Makassar memakai sarung, serta pertemuan mereka (para perantau Aborigin—Red.) dengan monyet-monyet.” Pertalian dengan Makassar bisa pula ditemukan di Yirkalla, Gove, Millingimbi, Maningrida, Port Essington, serta Pulau Kiwi (di luar Arnhem). Menurut catatan Spillet, ada sekitar 96 titik yang didatangi pelaut Makassar di sepanjang pesisir Arnhem.
Sejatinya, lawatan-lawatan pertama ke Arnhem Land bukan hal yang mudah bagi para pelaut Makassar. Raga, bahasa, dan budaya yang tak dimengerti satu sama lain terkadang menimbulkan pertumpahan darah. Richard Ghanduwuy Ganawurra, penduduk Galiwinku, masih ingat cerita kakeknya tentang dua awak kapal yang berlabuh di Takarena dibantai Aborigin. Itu hanya karena pelaut Makassar ini mengambil tali yang biasa dipakai untuk upacara adat Aborigin di pantai buat memancing ikan. Peristiwa itu terjadi sekitar akhir abad ke-19.
”Semua dibantai, kapal dibakar, dan keluarga kakek saya hanya menyelamatkan seorang bocah dan memeliharanya,” Ghanduwuy mengenang sambil membawa Tempo ke lokasi tempat pelaut Makassar dibantai itu, berupa dua tonggak kayu tua, di tepi pantai.
Toh, legenda hitam itu tenggelam di antara kenangan manis Makassar yang terukur dalam suasana damai. ”Mereka memperlakukan leluhur kami seperti saudara, memberikan bajo, dhambaku, pedang, galiwang, serta beras. Ini berbeda dengan Cook (maksudnya Kapten James Cook), yang memperlakukan kami seperti monyet,” tutur Datjing.
Menurut Datjing pula, hal itulah yang membuat mereka kurang ramah terhadap pendatang kulit putih. Tapi tidak semua anak suku Aborigin bersikap demikian. Di Pulau Elcho, misalnya, mereka hidup rukun dengan penetap kulit putih. Apalagi kesejahteraan hidup mereka di Arnhem Land lumayan terjamin. Ada rumah yang layak dan santunan bulanan dari pemerintah Australia.
”Warga Aborigin di sini jauh lebih ramah ketimbang kaum Aborigin di kota-kota besar Australia,” ujar Michael Newton, wakil pemerintahan Australia yang sudah empat tahun tinggal di Pulau Elcho. Newton juga betah karena bisa menikmati dengan cuma-cuma anugerah alam yang berlimpah ruah: keindahan panorama di sekujur Arnhem Land.
Sesak rasanya hati ketika pesawat Cessna mungil itu lepas landas meninggalkan Galiwinku, membawa Tempo kembali ke Darwin. ”Mainmark Aborigin!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo