Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Percayakah Anda bahwa Jamaah Islamiyah pelaku peledakan di depan Kedutaan Besar Australia? (10-17 September 2004) | ||
Ya | ||
52.99% | 541 | |
Tidak | ||
38.88% | 397 | |
Tidak tahu | ||
8.13% | 83 | |
Total | 100% | 1.021 |
Jamaah Islamiyah kembali dituding berada di belakang peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Adalah Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer yang mencurigai keterlibatan organisasi ini. Downer menambahkan bahwa serangan teroris itu ditujukan kepada rakyat Negeri Kanguru karena terjadi di luar Kedutaan Australia.
Tudingan Downer itu dinilai Wahyudin, Direktur Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, sebagai suatu hal yang wajar. ”Selama ini pun mereka yakin Jamaah Islamiyah sebagai pelakunya,” katanya. Tapi, kata Wahyudin, pernyataan itu terlalu prematur dan tidak perlu ditanggapi lebih jauh karena bisa makin menguntungkan pihak yang memiliki niat jelek.
Kepala Kepolisian RI, Jenderal Da’i Bachtiar, mengatakan bahwa dari ciri-ciri ledakan, peledakan bom di Kuningan sangat mirip dengan bom JW Marriott dan bom Bali, sehingga diduga pelakunya pun berasal dari kelompok yang sama. Selama ini, polisi terus mengejar sisa-sisa pelaku bom Bali dan bom Marriott yang belum tertangkap, terutama Azahari dan Noordin. Tapi polisi belum dapat memastikan siapa pelaku bom Kuningan yang sebenarnya.
Pada pertengahan minggu ini, kepolisian Indonesia telah mengeluarkan foto delapan orang yang dicurigai terlibat aksi peledakan bom Kuningan. Kepolisian juga menyebutkan dua nama, Hasan dan Jabir, dua orang yang diduga terlibat pengeboman di Kuningan. Da’i mengatakan pihaknya masih mengejar dua orang yang menjadi anak buah Noordin itu. ”Jika DNA-nya cocok dengan potongan tubuh (yang ditemukan di lokasi ledakan), kami duga mereka sebagai pelaku,” ujarnya.
Hasil jajak pendapat Tempo Interaktif menunjukkan bahwa sebagian besar responden yakin Jamaah Islamiyah berada di balik peledakan tersebut. Namun jumlah yang yakin ini lumayan seimbang dengan yang tidak yakin dan tidak tahu. Sebagian dari kelompok yang terakhir ini meminta agar Australia tidak sembarang menuduh. ”Jangan mengira-ngira. Lebih baik kita tunggu hasil penyelidikan aparat keamanan agar tidak terjadi salah duga,” ujar Delvi Toska, responden asal Cikampek, Jawa Barat.
Indikator Pekan Ini: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo Bambang Harymurti dalam kasus pencemaran nama baik Tomy Winata. Ia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menyiarkan berita bohong yang dengan sengaja menimbulkan keonaran dalam masyarakat, pencemaran nama baik, dan tindak pidana fitnah secara bersama-sama terhadap pengusaha Tomy Winata. Majelis hakim yang terdiri dari Suripto, Kusriyanto, dan Ridwan Mansyur menilai tulisan yang berjudul ”Ada Tomy di Tenabang?” di Majalah Tempo Edisi 3-9 Maret 2003 merupakan berita bohong. ”Berita Tempo tidak didasarkan fakta dan bukti yang benar,” kata ketua majelis hakim Suripto. Bambang dan penasihat hukumnya menyatakan banding. ”Ini satu kekalahan bukan saja buat Tempo, tetapi buat pers Indonesia,” kata Todung Mulya Lubis, penasihat hukum terdakwa. Tepatkah vonis satu tahun penjara terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti dalam kasus Tempo vs. Tomy Winata? Kami tunggu pendapat Anda di www.tempointeraktif.com Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 4 November 2006 PODCAST REKOMENDASI TEMPO Surat Pembaca Surat Dari Redaksi Angka Kutipan Dan Album Kartun Etalase Event Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |