Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Darah Daeng di Tubuh Datjing

Matjuwi Burarrwanga di Arnhem Land dan Mansjur Muhayang di Makassar terpisah selama puluhan tahun. Sejarawan Australia, Peter Spillet, berhasil mempertautkan dua bersaudara ini lewat pelayaran napak tilas.

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jip Land Rover tua itu melaju membelah hutan yang rimbun di suatu siang bulan Agustus lalu. Datjing Burarrwanga duduk di balik kemudi. Menyedot rokok dengan nikmat, dia menyimak suara Bob Marley yang melengking dari tape mobil: "One love, one heart. Let's get together and feel all right.. hear the children crying."

Tiba-tiba seorang anak menjerit. Bocah itu terjepit ketika jip yang penuh sesak itu terguncang-guncang di jalanan bergerinjal. Seluruh penumpang adalah anggota keluarga Datjing Burarrwanga, dari anak, istri, hingga cucu Datjing. "Gulumari, lokasi makam nenek buyut kami, tak jauh lagi. Pindahkan anak itu ke depan," ujar Datjing sambil terus tancap gas. Hari itu ia mengantarkan Tempo berziarah, walaupun sebenarnya hanya anggota keluarga yang boleh ke makam.

Makam Gunanong, nenek buyut Pak Datjing, terletak di tepi pantai Gulumari, sekitar 30 kilometer dari Galiwinku. Jalan tanah yang dilalui jip tua itu adalah satu-satunya "jalan tol" di Pulau Elcho. Memanjang seperti ular dari udara, pulau ini memiliki lebar 6 km dan memanjang sejauh 50 km lebih. Nisan di Gunanong terbuat dari batu padas mirip cobek berlubang dua. "Darah Makassar di tubuh saya ini mengalir dari Gunanong," ujar Datjing sambil membersihkan nisan dari timbunan pasir dan dedaunan.

Gunanong adalah hasil perkawinan Husein Daeng Rangka dengan Yalyarrambu, seorang wanita Aborigin. Catatan sejarah menunjukkan Husein adalah termasuk pelaut terakhir yang datang ke Arnhem Land. "Yalyarrambu dibawa ke Makassar. Dia mati dan dimakamkan di sana," kenang Matjuwi, ayah Datjing.

Matjuwi, 74 tahun, memilih tinggal di rumah dan tak ikut berziarah. Usia telah menggerogoti kesehatannya dan membutakan kedua matanya. Namun, ingatannya masih terang dalam mengingat anggota keluarganya di Makassar. "Bagaimana kabar Mansjur Muhayang? Saya rindu dengan dia," tutur Matjuwi, menanyakan adik tirinya yang tinggal di Makassar, kepada Tempo. Seorang cucunya bertugas menerjemahkan penuturan sang kakek. Berbeda dengan anak-anaknya, Matjuwi tidak fasih berbahasa Inggris.

Matjuwi datang ke Makassar pada tahun 1987. Bersama sejarawan Australia Peter Spillet, Matjuwi menapak tilas pelayaran Makassar-Arnhem Land pada tahun itu. Dan di Makassar, Matjuwi berhasil membuhul kembali tali persaudaraan yang lama tersputus dengan keluarga di Sulawesi. Di sana mereka sempat berziarah ke makam Husein Daeng Rangka atau dalam bahasa Aborigin mereka sebut "Yotjing" (atau terkadang dieja Ocing).

Mansjur Muhayang adalah cicit Yotjing yang juga menikah dengan wanita Makassar. "Saat itu Mansjur ikut pelayaran napak tilas ke Galiwinku dengan padewakang (perahu) Hati Marege pada tahun 1987," tutur Peter Spillet. Spillet menggambarkan pertemuan amat mengharukan, kedua lelaki itu menangis berpelukan.

Beberapa anak Matjuwi pernah melawat ke paman mereka, Mansjur Muhayang, di Makassar pada akhir 1990-an. Saat itu koreografer Australia, Andrish Saint-Clare, berniat menggagas pentas seni tentang pelayaran Makassar hingga saat mereka berlabuh di Arnhem Land.

Sebelum bertemu keluarganya di Makassar, Matjuwi hanya tahu pertalian keluarga mereka lewat kisah-kisah yang dituturkan Nona-panggilan Gunanong. "Nona adalah nama Makassar yang diberikan Yotjing pada Gunanong," Datjing menjelaskan. Datjing sendiri adalah nama Makassar dalam lafal Aborigin, kurang-lebih sama dengan Daeng Gassing alias daeng berbadan kekar.

Adalah Spillet dan Michael Cook, dosen di Batchelor College, Darwin, yang menggagas membawa Matjuwi ke Makassar. "Tanpa itu, banyak teka-teki tak akan terjawab," demikian Michael Cooke menulis dalam laporannya. Dalam bukunya, A Voyage to Marege, McKnight menulis bahwa Gunanong lahir dan meninggal di Makassar, dan tak pernah kembali ke Galiwinku. Padahal, nenek Matjuwi itu tak pernah berlayar ke sana. Dia lahir dan meninggal di Galiwinku saat Matjuwi berumur sekitar 10 tahun.

Datjing sendiri mengaku telah khatam silsilah keluarganya. Ayahnya tak pernah putus menceritakan kisah leluhur mereka melalui nyanyian hingga lukisan. Matjuwi memang salah satu pelukis Aborigin terkenal. Dengan lukisannya, ia menyambangi pameran di berbagai negara. Di antaranya Amerika, Kanada, dan Jepang.

Salah satu karyanya yang tersohor dipajang di Museum Art and Gallery Northern Territory, Darwin. Lukisan itu bercerita tentang penculikan bibinya oleh pelaut Makassar. "Bibiku tinggal di Makassar dan tak pernah pulang. Mereka keluargaku," Matjuwi menulis dalam sinopsis lukisannya.

Bakat melukis Matjuwi ini menular juga pada anggota keluarganya. Boleh dikata, hanya keluarga Burarrwanga yang punya tradisi melukis di Pulau Elcho. Lukisan mereka di kulit kayu, batang pohon, hingga kanvas itu terpajang di art center di Galiwinku, menunggu pembeli yang biasanya datang dari galeri di berbagai kota Australia.

Hal ini membuat keluarga Matjuwi lumayan berkecukupan. Rumah Datjing atau Matjuwi yang bersebelahan dilengkapi peralatan elektronik yang komplet. Ada televisi, video player, kulkas, hingga kompor gas. Hanya perabotan sofa yang tak ada di rumah mereka-karena mereka lebih suka duduk di lantai, sesuai dengan tradisi Aborigin.

Seperti sore itu. Sekembali dari makam Gunanong, semua anggota keluarga Matjuwi duduk di bawah pohon jamblang di belakang rumah Matjuwi. Mereka siap memulai upacara inisiasi bocah yang beranjak dewasa. Sekujur badan sang bocah akan dilukisi cat.

Matjuwi sendiri, yang kini menjadi kepala klan mereka, Gumatj-terdiri dari keluarga Burarrwanga dan Yunupinju-duduk di atas ranjang besi berkasur lusuh. Bertelanjang dada ditemani sekaleng Sprite dan sebungkus rokok, dia mulai mendengungkan kidung-kidung. Diiringi musik yidoki (alat musik tiup khas Aborigin) dan ketukan dua bilah kayu, bilmark, anggota keluarganya yang datang dari segala penjuru Arnhem Land mulai mengiringi Matjuwi. "Lagu-lagu ini berkisah tentang mitos, leluhur kami, termasuk Makassar," Datjing berbisik kepada Tempo.

Suasana berubah khusyuk dan mistis ketika ketukan bilmark bertambah intens dan suara nyanyian mulai mendengung. Cat merah dilumurkan ke dada dan punggung si bocah sembari para wanita berdiri dan menari mengelilingi mereka. Tiba-tiba seorang anggota keluarga Matjuwi menarik tangan wartawan Tempo: "Ayo ikut menari. Anda kini bagian dari kami. Orang Indonesia adalah keluarga kami."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus