Rapalkan segala haram itu. Jangan menyentuh alkohol. Jangan pula menjajal maksiat. Bungkuslah segenap aurat dengan pantas. Hindarkan berdua-duaan dengan mereka yang bukan muhrim Anda. Jauhkanlah niat mencuri karena tangan yang lancang bisa dipenggal. Rapalkanlah semua itu sebelum menjejak Kelantan dan Terengganu, yang terserak di timur laut dan pantai timur Malaysia.
Inilah wilayah kekuasaan Partai Islam Se-Malaysia (PAS), tempat para tuan guru menegakkan hukum syariat Islam untuk panduan kehidupan warga sehari-hari. Kelantan jatuh ke pangkuan PAS pada 1990. Sembilan tahun kemudian, Terengganu menyusul. TEMPO mendatangi wilayah itu pada beberapa waktu dahulu. Dan astaga, bagi anak-anak muda pencinta budaya Barat, Kota Bharu—ibu negeri Kelantan—barangkali terasa garing betul sebagai lokasi gaul.
Ke mana pun kita berkeliling, tak ada wanita berbusana seksi. Sebagai gantinya, jilbab dan baju kurung di mana-mana. Perempuan nonmuslim tak perlu memakai kerudung—bukan berarti bisa mondar-mandir dengan kemben mini ala Mariah Carey atau Britney Spears. Segala klub malam juga tak bisa beroperasi. Dan bagi penggemar bisnis "jalan hawa" alias pelacuran, silakan menyeberang ke perbatasan Thailand. Di Kelantan dan Terengganu bisnis ini masih ada di sana-sini, tapi dijalankan dengan kehati-hatian setingkat "gerakan politik terlarang". Serba sembunyi-sembunyi dan mesti berani membayar tinggi.
Berabad-abad menyandang gelar "Serambi Mekah", negeri yang terletak di timur laut Malaysia ini memang kental oleh warna religius. Kelantan pernah menjadi pusat studi agama Islam yang ternama. Banyak orang dari luar, termasuk Sumatera, pernah berduyun-duyun ke Kota Bharu. Salah satu pondok tertua yang amat terkenal di Malaysia didirikan oleh Tok Guru Haji Muhammad Yusof atau Tok Kenali, yang lulusan pendidikan di Mekah, Arab Saudi. Muridnya tersebar di berbagai penjuru Malaysia hingga Indonesia dan Thailand Selatan. Bahkan beberapa alumninya menjadi ulama di Mekah.
Di Kota Bharu, hampir semua tempat umum memisahkan laki-laki dan perempuan. Agama betul-betul ditegakkan sebagai sakaguru kehidupan sehari-hari. Coba perhatikan situasi setelah azan berbunyi. Orang berduyun-duyun ke masjid terdekat untuk bersalat. Pendek kata, situasi Kota Bharu membuat orang segera mafhum bahwa PAS-lah yang berkuasa di sini. Bahkan pasar terbesar di kota itu dinamai Siti Khadijah—ini nama istri Nabi Muhammad.
Harus diakui, Islam sudah mendarah daging di Kelantan. Juga di beberapa negara bagian yang berbatasan. Terengganu, Perlis, dan Kedah. Menyusul Kelantan, Terengganu pun lepas dari tangan Barisan Nasional dan masuk ke jaring PAS pada 1999. Lima tahun silam, syariat Islam juga mulai diterapkan di negara bagian ini. Tak mengherankan bila partai penguasa, UMNO, dan Koalisi Barisan Nasional sempat puyeng bila PAS terus bertekad mencaplok Kedah dan Perlis.
Mengapa PAS bisa menanamkan pengaruh dengan subur di kawasan ini? Kelantan dan Terengganu, yang berbatasan dengan kawasan muslim Thailand di selatan, punya penduduk mayoritas muslim. Sekitar 95 persen warga Kelantan adalah muslim Melayu, Terengganu sekitar 90 persen. Bandingkan dengan komposisi penduduk Malaysia yang 50 persen Melayu, 33 persen keturunan Cina, dan 9 persen keturunan India.
Kedua kawasan ini juga lebih lama diwarnai sejarah Islam ketimbang wilayah lain di Malaysia. Beberapa ikon menunjukkan tuanya jejak Islam di sana. Koin dengan tulisan Arab "Berserah kepada Allah" dan "Kelantan" pada kedua sisi mata uang sudah beredar di sana sejak 577 Hijriah atau 1180 Masehi. Di Terengganu, ditemukan batu yang menunjukkan masuknya Islam ke Semenanjung Malaya pada 702 Hijriah, berarti 1303.
Kedatangan Islam di sana kemudian mengubah perspektif dan pemikiran masyarakat setempat yang tadinya memeluk agama Buddha, Hindu, atau animisme. Mereka tak lagi terbelenggu dalam sistem kasta keagamaan. Tak mengherankan bila Islam diterima dengan baik, baik di tingkat elite kesultanan maupun kalangan masyarakat bawah.
Sejak itu, para ulama mulai mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat. Mereka tak hanya menjadi guru agama di pondok-pondok pesantren, tetapi juga sebagai penasihat keluarga di desa, bahkan penasihat masyarakat. Pendidikan Islam dan pola kehidupan di pondok juga mempengaruhi sikap keseharian dan pemikiran politik mereka.
Masuk akal bahwa para ulamalah yang tampil di gugus depan sebagai pemandu dan pelindung warga tatkala Barat memasuki berbagai negeri pada akhir 1800-an dan awal 1900-an. Bersama-sama, mereka menentang pemaksaan sistem pendidikan dan sosial yang dibawa penjajah. Terutama Inggris, yang berusaha memecah belah komunitas yang satu dengan yang lain.
Militansi Islam di kedua negeri ini boleh dikata lebih tinggi daripada daerah-daerah lain di Malaysia. Para pengamat sejarah menilai, hal ini disebabkan peta penjajahan di masa dulu. Ketika penjajah Barat merangsek ke daerah-daerah di Semenanjung Malaka, Terengganu, Kelantan, Perlih, dan Kedah telah masuk ke dalam kekuasaan negeri-negeri Asia—Bugis dari Sulawesi ataupun Siam alias Thailand. Penjajah Barat ini rupanya tidak begitu memaksakan sistem baru dan lebih berkonsentrasi pada soal setoran ke pusat penjajahan. Pada 1909, Siam menyerahkan Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Perlis ke Inggris. Alhasil, daerah-daerah ini tidak sampai hitungan abad berada di bawah kekuasaan Inggris. Sedangkan kawasan lain lebih lama mengalami penguasaan Barat seperti Belanda, yang menguasai Johor dan Malaka pada awal abad ke-17.
Berabad-abad Kelantan dan Terengganu memelihara warna Islamnya. Dan semangat memelihara identitas pula, antara lain, yang membikin Kelantan dan Terengganu turut menolak pembentukan Uni Melayu pada 1946 karena khawatir tersingkir oleh warga Cina atau India. Baru ketika organisasi warga Melayu, UMNO, terbentuk, tercapailah kesepakatan pembentukan Federasi Malaysia pada 1957. Tetapi konflik antaretnis belum berakhir. Kerusuhan antara puak Cina dan Melayu kembali mengoyak Malaysia pada 1969, yang membuat parlemen sempat terhenti selama puluhan bulan.
Kelantan kemudian memilih partai yang serius melindungi mereka, PAS. Tetapi ada hal lain yang membuat PAS memenangi hati rakyat, yakni konsep "kesahajaan dan kebersihan" para ulama yang menjadi pemimpin mereka. PAS, yang telah berkuasa sejak 1959 hingga 1979, jatuh gara-gara para pemimpinnya dianggap menyeleweng. Namun pada 1990 seorang ulama terkemuka, Tok Guru Nik Abdul Aziz Nik Mat, berhasil membawa PAS menang kembali melalui keteladanannya sebagai ulama yang terpuji.
Rumah Tok Guru Nik Aziz di kawasan Pulau Melaka, misalnya, amat sederhana dan boleh ditempati pula oleh para muridnya. Dia mengabaikan fasilitas rumah dan kekayaan dinas Menteri Besar Kelantan. Selain itu, setiap malam Jumat dan sehabis subuh, dia menyemaikan ilmu agama kepada siapa pun yang datang ke masjid di pekarangan rumahnya. Masyarakat Kelantan yang juga sederhana mengapresiasi sikap tersebut. Hal yang sama juga mulai diikuti oleh pemimpin PAS di Terengganu, Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang.
Kesahajaan memang menjadi senjata pamungkas para pemimpin setempat. Ini juga terpancar dari wajah Kota Bharu ataupun Kuala Terengganu yang jauh dari ingar-bingar kehidupan kota besar. "Yang kami perdengarkan adalah suara kedamaian." Mungkin begitulah kampanye PAS yang akhirnya memikat suara rakyat Kelantan dan Terengganu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini