Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perpu Anti-Diskriminasi
Majalah TEMPO Edisi 9-15 Februari 2004 menurunkan laporan dan fotografi yang menarik dari masyarakat Tionghoa dalam feature Ketika Dewa Turun ke Bumi (halaman 82-83). Sayang, dalam Pemilu 2004, sebagian dari mereka tidak dapat ikut memilih karena tidak dapat menunjukkan bukti kewarganegaraan sebagai syarat ikut memilih. Sebab, mereka tidak mampu membayar biaya pengurusan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) sampai sebesar Rp 7 juta.
Padahal Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa turut serta dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada 22 Juni 1999. Dan dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi RI pasal 28-D (4) bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Nah, bagaimana sekarang dengan nasib sebagian warga negara Indonesia yang terancam kehilangan hak pilihnya karena tidak mampu mengurus surat bukti kewarganegaraan RI serta tidak mampu membayar biaya SBKRI?
Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan memberikan jalan keluar. Tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia adalah :
- Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
- Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Daerah.
Dalam hal perpu, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Pasal 3 ayat 4 menyebutkan bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh presiden dalam hal-ihwal kegentingan yang memaksa.
Warga negara Indonesia yang terancam kehilangan hak pilihnya karena terhambat oleh peraturan lebih rendah yang bersifat diskriminatif jelas merupakan ihwal kegentingan yang memaksa, sehingga presiden berhak mengeluarkan perpu yang membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap sebagian rakyat Indonesia.
SBKRI yang menjadi sumber pungutan liar dan pemerasan adalah bentuk diskriminasi rasial yang perlu segera dihapuskan. Apalagi keberadaannya menghalangi hak dasar setiap warga negara untuk turut memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang jujur dan adil.
I.H. Kendengan
Taman Alfa Indah Blok A-15/15
Joglo, Jakarta Barat
Acara Televisi Kita
Siapa pun tahu bahwa berbagai siaran atau program acara dunia pertelevisian memiliki dampak bagi perkembangan jiwa dan kepribadian pemirsanya. Cukup disayangkan, berbagai program acara dunia pertelevisian kita akhir-akhir ini jauh sekali dengan nuansa proses peningkatan pembelajaran dan pencerahan yang berbasiskan peningkatan keilmuan dan keimanan. Saya lebih suka menyebut bahwa berbagai program acara siaran televisi kita lebih cenderung sebagai ajang program pembodohan dan penololan umat.
Betapa tidak, kita bisa melihat betapa tidak bermutunya berbagai program acara dunia pertelevisian kita: "Kesurupan", "Bantuan Gaib", "Percaya Tidak Percaya", "Misteri Alam Gaib", dan sebagainya. Belum lagi penayangan goyangan dahsyat "pantat" para artis musik dangdut yang begitu mesum dan vulgernya, yang bisa membuat pemirsa mabuk kepayang. Ditambah lagi tren dunia pertelevisian kita meliput wawancara langsung dengan pasangan muda-mudi (pelaku adegan mesum) tentang bagaimana trik dan teknik "main" (maaf, bersetubuh) di dalam mobil atau kumpul kebo para mahasiswa di kamar kos. Acara lain yang tidak kalah jeleknya adalah penayangan cara membuat tato di bokong dan payudara wanita serta pemasangan tindik (anting-anting) di hidung, pusat, dan lidah, yang tentu memperburuk wajah program acara dunia pertelevisian kita.
Acara cerdas cermat dan berbagai program yang mengandung pengetahuan yang sering ditayangkan dunia pertelevisian beberapa tahun lalu kini tidak ada lagi dan telah diganti dengan film Tuyul dan Mbak Yul dan sejenisnya.
Seandainya wajah dunia pertelevisian kita tidak berubah, saya yakin bangsa kita tidak pernah bisa berubah untuk mengatasi berbagai ketertinggalannya dari negara lain yang telah jauh lebih maju. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya nasib anak bangsa ini jika otak dan kalbunya hanya dijejali informasi busuk dan basi yang tidak ada relevansinya dengan proses pembelajaran dan pencerahan sebagai modal utama peningkatan sumber daya kita. Bangsa lain berlomba mencari pengetahuan lewat penjelajahan dunia maya (Internet) dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru untuk hidup dan tinggal di Planet Mars, sedangkan kita sendiri masih asyik hidup terlena di dunia takhayul (misteri) yang senantiasa akrab dengan uap dupa kemenyan, sesajen, jampi-jampi, jeruk purut, kembang tujuh warna, air tujuh telaga, dan sebagainya.
Tidak berlebihan jika saat ini bangsa kita dapat digolongkan sebagai bangsa yang tidak sadar diri alias "kesurupan". Berbagai belahan dunia lain telah berlomba mengadakan perubahan yang signifikan, sementara kita masih saja tidak berubah dengan berbagai keterbelakangan dan keterpurukan.
Sehubungan dengan proses pembelajaran dan pencerahan sumber daya manusia kita kelak, saya ingat Alvin Toffler pernah berkata, "Mereka yang buta huruf (illiterate) pada abad ke-21 bukanlah orang yang tidak bisa membaca dan menulis, melainkan mereka yang tidak bisa belajar, melupakan ajaran-ajaran masa lalu, dan kembali belajar."
Erwin Siregar, S.H.
Jalan Kapten Muslim 38-C
Medan
Hotel Ciputra Jakarta
Saya dan teman mengalami perlakuan tak adil dan tak menyenangkan dari pihak manajemen Hotel Ciputra, Jakarta. Kejadian ini bermula dari ditabraknya mobil saya oleh mobil dari Hotel Ciputra pada pagi hari, 17 Februari 2004, di Jalan Arjuna Selatan, Jakarta Barat, tidak jauh dari Kampus Universitas Indonusa Esa Unggul. Pihak hotel menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa ini dan akan membayar kerugiannya. Tapi apa yang terjadi? Ketika kami datang ke hotel pada 19 Februari 2004 untuk mengambil ganti rugi berupa voucher taksi seperti yang dijanjikan oleh beberapa orang manajer hotel tersebut karena untuk sementera waktu mobil saya tidak bisa dipakai, kami mendapatkan perlakuan yang menjurus ke penghinaan dari pihak hotel, terutama dari seorang ekspatriat yang menjadi manajer di sana. Dengan arogan dan sombongnya, si ekspat ini membuka dompetnya dan menyodorkan sejumlah uang sambil menantang kami, "Berapa sih yang kamu butuhkan? Nih, kamu ambil." Beberapa orang karyawan hotel langsung mengerubungi kami setelah salah seorang manajer tersebut mendorong teman saya.
Jelas saya sangat tersinggung. Kami datang bukan untuk mengemis, melainkan menuntut ganti rugi yang menjadi hak kami. Banyak yang menyaksikan peristiwa ini, terutama tamu-tamu hotel, karena keributan ini terjadi di lobi hotel. Sedangkan orang yang menjanjikan voucher malah tidak ada di hotel alias sudah pulang. Sungguh sangat disayangkan, citra sebuah hotel yang menyandang nama besar Ciputra dirusak begitu saja, padahal ini hanyalah sebuah persoalan kecil dan penggantian yang hanya berupa voucher taksi. Dan apakah perlu orang sebanyak itu, lebih-kurang lima orang, hanya untuk menghadapi kami berdua?
Christina
Jakarta
Jeritan Karyawan Aqua
Saya menulis surat pembaca ini tidak dengan maksud menjelekkan tempat saya pernah bekerja, tapi hanya semata-mata agar kasus saya cepat dituntaskan dan tidak pernah berulang.
Saya diberhentikan sebagai karyawan PT Aqua Golden Mississippi Tbk. terhitung sejak 25 Oktober 2002 dengan prosedur pemberhentian yang sangat janggal dan tidak mengindahkan kepatutan. Misalnya, saya tidak pernah mendapat surat keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK). Saya dipecat dengan alasan dianggap melakukan pelanggaran berat karena merusakkan mesin SBO 4/6 di Pabrik Produksi Aqua di Mekarsari, Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Padahal, sesuai dengan keahlian dan jabatan saya, proses perbaikan telah saya lakukan semaksimal mungkin dan telah mendapat arahan dari atasan tempat saya bekerja. Kerusakan mesin SBO 4/6 sendiri sudah terdeteksi lama, tapi mengalami kerusakan berat pada 18 Oktober 2002. Kerusakan ini sudah saya perbaiki bersama dua rekan kerja dan mendapat pengawasan langsung dari kepala bagian teknik, sehingga mesin yang saya perbaiki sudah bisa beroperasi kembali sebagaimana semula.
Hanya, pada 23 Oktober 2002, saya "dipaksa" menandatangani berita acara yang memojokkan saya, yaitu saya dituduh merusak mesin tersebut, tanpa diberi kesempatan melakukan pembelaan. Tindakan perusahaan terus berlanjut dengan mengeluarkan skorsing sampai bulan April 2003. Selama skorsing, saya "hanya" mendapat 75 persen penghasilan. Dan lebih tragisnya, sejak Mei 2003 hingga sekarang, PT Aqua Golden Mississippi tidak memenuhi kewajibannya kepada saya selaku karyawan setiap bulannya.
Sebagai rakyat kecil yang melek hukum, saya mengadukan tindakan perusahaan yang semena-mena ini ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sukabumi. Saya sendiri sadar, kekuatan perusahaan besar seperti PT Aqua Golden Mississippi tentu bisa mengalahkan perjuangan rakyat jelata seperti saya. Buktinya, selaku mediator, Dinas Tenaga Kerja Sukabumi gagal menyelesaikan kasus saya. Imbauan lembaga ini melalui surat nomor 565/1082.linwas tertanggal 6 Oktober 2003 agar PT Aqua Golden Mississippi memenuhi hak-hak saya sebagai karyawan sebelum adanya putusan PHK justru dianggap "angin lalu" dan tidak diindahkan sama sekali oleh PT Aqua Golden Mississippi. Padahal berkas kasus saya oleh Balai Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Daerah (BPPKD) Jawa Barat dikembalikan lagi ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kabupaten Sukabumi, sesuai dengan surat BPPKD Jawa Barat nomor 565/B.228/BPPKD tertanggal 27 Agustus 2003, karena dianjurkan bipartite ulang. Namun hingga kini, baik upaya bipartite yang diusulkan oleh BPPKD Jawa Barat maupun pemenuhan hak setiap bulan sebagai karyawan yang diputuskan oleh dinas ketenagakerjaan tidak pernah digubris oleh PT Aqua Golden Mississippi.
Saya hanya ingin hak-hak saya sebagai karyawan tidak diabaikan oleh PT Aqua Mississippi. Kinerja saya selama 9 tahun 6 bulan tanpa cacat di PT Aqua Golden Mississippi tidak pernah sekali pun dijadikan bahan pertimbangan perusahaan.
Dalam situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini, keputusan pemberhentian saya sebagai karyawan dengan semena-mena tentu sangat memilukan. Dengan tanggungan dua anak yang masih berusia balita, keputusan pemberhentian oleh PT Aqua Golden Mississippi secara sepihak dan tidak sesuai dengan aturan yang ada merupakan senjata "pamungkas" untuk membunuh kehidupan saya sekeluarga. Saya kesulitan menghidupi status kepegawaian saya di PT Aqua Golden Mississippi. Sudi kiranya Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea memperhatikan nasib saya.
Ir. Yohannes M. Prayogi
Jalan Taman Udayana IX-32
RT 01/01, Babakan Panjang
Bogor, Jawa Barat
Pemberantasan Kayu Gelap
Terus terang saya sangat jarang membaca isi berita koran sampai dua kali berturut-turut, kecuali beritanya menurut saya sangat istimewa. Tapi satu berita di harian Kalteng Pos (salah satu harian di Kalimantan Tengah) pada Selasa, 9 Maret 2004, dengan judul Komisi II DPR RI Ancam Laporkan Kapolda ke Kapolri, membuat saya membacanya sampai dua kali.
Setelah itu, saya sangat memahami maksud dari berita tersebut, yakni Prof. Dr. J.E. Sahetapy, yang juga anggota Komisi II DPR RI, mengatakan, apabila tidak bisa menuntaskan kasus illegal logging di wilayahnya, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, Brigadir Jenderal Ramli Darwis, akan dilaporkan ke Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Perlu Bapak Sahetapy ketahui, laporan serupa sudah sangat sering sampai ke Kapolri, tapi sampai detik ini kasus penebangan liar di Kalimantan Tengah tidak pernah ditangani sampai tuntas. Sebab, yang tertangkap hanya cukong kelas teri, sedangkan cukong kelas kakap tidak pernah tersentuh.
Apakah Bapak Sahetapy yakin, dengan melaporkan Brigadir Jenderal Ramli Darwis ke Kapolri, kasus penebangan liar di Bumi Tambun Bungai ini berhenti? Kalau tidak berhenti, tindakan apa yang akan Bapak Sahetapy ambil? Semoga pernyataan Bapak Sahetapy tidak hanya untuk menyenangkan masyarakat Kalimantan Tengah.
Secara pribadi, saya sangat setuju dengan kiat Bapak Sahetapy untuk memberantas illegal logging, yakni dengan menutup atau menjaga mulut-mulut sungai yang bermuara ke laut lepas. Di Kalimantan Tengah, ada tidak lebih dari lima muara sungai tempat keluarnya kayu ilegal. Tapi pertanyaannya: aparat dari instansi pemerintah mana yang diyakini mampu menjaga agar kayu ilegal yang ada tidak bisa keluar dari muara sungai tersebut? Kenyataannya, muara sungai tempat keluarnya kayu-kayu ilegal tersebut sudah dijaga oleh aparat polisi dan kehutanan, tapi sampai saat ini sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah terdengar, ada kayu ilegal yang tertangkap oleh petugas yang ada.
Sampai detik ini, masih banyak cukong kayu ilegal yang membawa kayu keluar dari Kalimantan Tengah. Apakah kayu yang mereka bawa tersebut sudah dilengkapi dengan dokumen yang benar atau surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH)?
Kalau kayu yang mereka bawa tersebut sudah dilengkapi dengan dokumen yang sah, mengapa pendapatan asli daerah asal kayu yang ada masih rendah? Sebagai seorang putra daerah Kalimantan Tengah, saya sangat mengharapkan Bapak Sahetapy, yang notabene adalah wakil rakyat, mampu menghentikan atau setidaknya meminimalkan keluarnya kayu secara ilegal dari tanah leluhur kami ini. Kami tunggu gebrakan Anda, Profesor.
Sadagor Binti
Jalan Yos Sudarso 100, Palangkaraya,
Kalimantan Tengah
Kartu Kredit Manulife
Pada 10 Maret 2004, saya mendapat tawaran untuk mendapatkan kartu kredit dari Manulife Indonesia, yang menerbitkan Manulife Card bekerja sama dengan PT GE Finance Indonesia. Saya sebagai nasabah yang tidak membutuhkan kartu tersebut merasa dipaksa untuk membuat kartu kredit.
Bila tidak mengirim faks atau menghubungi telepon yang sangat sulit dihubungi sampai 26 Maret 2004, saya dianggap menyetujui penerbitan kartu kredit Manulife Card atas nama saya tanpa harus mengisi formulir aplikasi dan tanda tangan saya, sebagaimana tertulis dalam surat pengantar dari Manulife Indonesia yang ditandatangani oleh John David Harrison. Adapun kutipan surat tersebut sebagai berikut, "Bila Anda tidak mengisi kolom yang tersedia di atas dan tidak mengirim fax atau menghubungi kami sampai dengan tanggal 26 Maret 2004, maka kami menganggap Anda menyetujui pemrosesan Manulife Card atas nama Anda."
Karena saya tidak memerlukan kartu kredit, pada 12 Maret 2004 sekitar pukul 13.00 WIB, saya mencoba menghubungi nomor telepon 021-3901354 sebagaimana yang tercantum di surat tersebut, tapi telepon tersebut selalu sibuk; jika masuk pun, tidak pernah diangkat. Setelah saya mencoba dan terus mencoba hingga kurang-lebih satu jam, akhirnya usaha saya berhasil juga ketika hubungan tersambung dan saya berbicara dengan Saudari Beby.
Saya selaku nasabah Manulife Indonesia merasa keberatan dengan "pemaksaan" tersebut. Bila memang fasilitas kartu kredit tersebut diberikan untuk memudahkan saya-karena tanpa harus mengisi formulir aplikasi, saya mendapat Manulife Card-kenapa tidak dimintakan saja persetujuan saya melalui telepon? Bagaimana bila surat yang ditujukan kepada saya tersebut tidak sampai, sehingga saya tidak dapat menyatakan keberatan? Apakah secara otomatis saya mendapat Manulife Card tanpa persetujuan saya? Bagaimana pula kalau saya tinggal di luar Jakarta? Dan apakah saya harus mengeluarkan biaya interlokal untuk menghubungi nomor yang sulit tersambung tersebut?
Sebagai lembaga asuransi yang saya nilai cukup baik, dan saat ini sedang merambah ke bisnis jasa keuangan lainnya, sangat saya sesalkan cara-cara yang ditempuh Manulife Indonesia untuk "menjerat" saya dengan kartu kredit Manulife Card-nya. Dan kepada nasabah Manulife lainnya, berhati-hatilah karena data Anda dapat diberikan kepada pihak lain tanpa harus menunggu persetujuan Anda.
Arfan Yap Bano
Grha SCTV Lt. 12
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 21, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo