Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Serangkaian Syarat untuk Sang Bupati

Batal sekolah ke Belanda, hidup Kartini kembali berbelok ke arah yang tak diduga. Dengan sejumlah syarat, ia mengambil jalan lain dan menerima lamaran Adipati Djojoadiningrat.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Utusan itu datang pada 8 Juli 1903.

Di tengah kegundahan, Kartini menunggu jawaban atas permohonannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk bisa melanjutkan sekolah ke Batavia. Dia terpaksa melepas beasiswa ke Belanda bersama adiknya, Roekmini. Akhirnya, kompromi terbaik yang bisa diharapkan adalah menempuh pendidikan guru di sekolah lanjutan tingkat menengah atau Hogere Burger School (HBS) di kota itu. Tapi utusan yang datang membawa lamaran dari Bupati Rembang itu sekali lagi menghadapkan Kartini pada sebuah persimpangan.

Putri Jepara itu heran bahwa ada seorang bupati yang ingin mempersuntingnya. Kartini menganggap dia bukanlah tipe ideal bagi seorang petinggi pribumi. Umurnya sudah 24 tahunā€”usia yang dalam pandangan orang Jawa, saat itu, sudah masuk kategori "perawan tua". Sudah pula luas tersiar kabar tentang dia sebagai perempuan modern yang punya "pikiran aneh-aneh", yang di saat sekolah begitu senang "tertawa terbahak-bahak" dan "memperlihatkan gigi", yang pada zamannya dianggap tak pantas untuk perempuan Jawa. Semua kualitas ini mungkin tak akan cocok bagi kehidupan seorang pejabat feodal seperti pelamarnya, Adipati Djojoadiningrat.

Meski gembira akhirnya ada yang melamar anaknya, Bupati Jepara Sosroningrat dan istrinya menyadari benar pandangan putrinya tentang perkawinan. Mereka juga tahu sang calon menantu menduda sejak sang garwo padmi wafat. Namun, tentu juga sudah diketahui umum, Adipati Djojoadiningrat memiliki tiga garwo ampil atau selir dengan tujuh anak. Enam di antaranya masih kecil-kecil dan akan berada di bawah asuhan Kartini jika ia menerima lamaran itu.

Sosroningrat paham betul anaknya sangat menentang poligami. Namun ia mengutarakan kepada Kartini, dengan semua keadaannya, Djojoadiningrat dikenalnya sebagai bupati yang progresif dan berpendidikan modern.

Lamaran yang datang mendadak ini seketika membuat Kartini tertekan. Ia memohon waktu tiga hari untuk merenung dan mempertimbangkan masa depannya. "Ah, mengapa harus ada penghalang lagi di jalanku. Ini sungguh aneh," melalui salah satu suratnya kepada Nyonya De Booy-Boissevain, Roekmini menuliskan keluhan Kartini yang ia dengar.

"Dalam tiga hari itu, Kartini melakukan sesuatu yang tak lazim bagi seorang perempuan anak pejabat pada masanya," kata sejarawan Hilmar Farid dalam diskusi bersama Tempo beberapa waktu lalu. Kartini meneliti dan mencoba mengenal lebih jauh siapa dan latar belakang pria yang melamarnya. "Menurut surat-surat adiknya, Kartini bahkan mencoba berkomunikasi dengan Adiningratā€”hal yang tak pernah terjadi sebelumnya di kalangan bangsawan."

Bupati Rembang itu terkenal sebagai pejabat yang cakap dan mengatur wilayahnya yang kurang makmur tersebut dengan cukup baik. Setelah lulus HBS, dia meneruskan pendidikan ke Sekolah Pertanian Tinggi di Wageningen, Nederland, meski tak sampai selesai. Catatan pendidikan seseorang sangat penting bagi Kartini.

Dia juga menengok pada perkawinan adiknya yang lain, Kardinah, dengan Patih Haryono di Pemalang tahun sebelumnya. Iparnya itu seorang duda dengan tiga anak, tapi Kardinah menerimanya tanpa paksaan. Dia bahkan menyiapkan sendiri pernak-pernik upacara perkawinannya dengan berbelanja ke Semarangā€”sesuatu yang juga tak biasa bagi putri petinggi.

"Aku gembira sekali mengenal iparku lebih dekat," kata Kartini dalam suratnya kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar, seorang feminis Belanda yang jadi sahabat penanya. "Ia memiliki banyak sifat baikā€¦. Kardinah adalah kawannya, penasihatnya, kekasihnya, serta ibu dari ketiga anaknyaā€¦." Ia mengakui perkawinan bangsawan Jawa tak selamanya merupakan bencana bagi si perempuan.

Kartini pun melihat kakaknya, Soelastri, yang tampak menikmati kepriayiannya meski di masa lalu paling menentang pendapat-pendapatnya yang maju. Nyatanya Soelastri berbahagia dalam pernikahannya yang monogamis dengan seorang patih dari Kendal. Saat bercerita kepada Nyonya Abendanon, Kartini memuji kakak iparnya sebagai pria berpendirian modern dan tidak menyembah-nyembah kedudukan feodalnya.

Semua gambaran itu justru membuat Kartini semakin bimbang pada tujuan hidup yang selama bertahun-tahun ia impikan. Setelah kekecewaan yang berat akibat gagal belajar ke Belanda, ia mulai menetapkan niatnya untuk ke Batavia. Dengan cara itu, ia berharap cita-citanya membangun sekolah bagi kaumnya lebih cepat terlaksana. Tapi kini ia harus memilih: meneruskan mimpinya atau beralih ke haluan lain.

Dalam buku Kartini: Sebuah Biografi, Sitisoemandari Soeroto mengatakan momen itu amat membebani jiwa Kartini. Ia limbung dan kehilangan arah, sama seperti saat berhadapan dengan Abendanon di pantai Klein Scheveningen ketika dibujuk untuk mengurungkan niatnya ke Belanda.

Tapi, kata Siti, yang paling memberatkan hati Kartini adalah besarnya keinginan dia membahagiakan Sosroningrat, orang yang paling ia sayangi. Kartini tahu sang ayah sangat ingin melihatnya menikah. Ia juga maklum ada banyak tekanan kepada ayahnya dari sesama bupati serta lingkungan bangsawan berupa intrik, kasak-kusuk, dan fitnah tentang dirinya. Kerisauan Kartini semakin tak tertahankan mengingat kondisi kesehatan orang tuanya terus memburuk setelah terkena serangan jantung.

Satu lagi peristiwa yang akhirnya membuat Kartini tak berdaya, yang terjadi tepat di hari ketiga atau akhir dari waktu yang ia minta untuk menimbang-nimbang. Hari itu datang utusan lain yang membawa lamaran dengan surat yang isinya sangat kasar, sehingga membuat Sosroningrat dan seisi kabupaten ketakutan. Kartini yang gemetar disembunyikan dalam kamar yang terkunci, karena si utusan menyertakan ancaman akan menebarkan guna-guna jika lamarannya ditolak.

Tak disebutkan dengan terang si pelamar gelap itu. Yang pasti, peristiwa mengejutkan tersebut membuat Kartini tak banyak berpikir lagi untuk memilih menerima pinangan Bupati Rembang. "Saat itulah Kartini menyadari keterbatasan kemampuannyaā€¦," tulis Sitisoemandari. "ā€¦Masyarakat Jawa belum dapat menerima kehadiran wanita yang mandiri."

Saparinah Sadli, yang bersama Haryati Soebadio menulis buku Kartini Pribadi Mandiri, sependapat bahwa keputusan menerima lamaran itu bukanlah pilihan yang sungguh dikehendaki Kartini. "Ia terlalu mencintai ayahnya. Perkawinan itu ia lakukan lebih untuk menyenangkan orang tuanya."

Walau demikian, Kartini tak menerima lamaran itu tanpa menawar. Dia mencoba mengajukan sejumlah syarat kepada calon suaminya. Dia bersedia diperistri hanya jika Bupati Rembang menyetujui gagasan dan cita-citanya. Kartini juga meminta diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri pejabat Rembang, seperti yang ia lakukan di Jepara. Kartini juga berencana membawa serta seorang ahli ukir Jepara ke rumah untuk mengembangkan kerajinan itu secara komersial di sana.

Syarat lain yang disodorkannya dianggap lebih radikal. Menyangkut upacara pernikahan, Kartini tak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria. Terakhir, ia akan berbicara dalam bahasa Jawa ngoko dan bukan kromo inggil kepada suaminya, sebagai penegasan bahwa seorang istri haruslah sederajat.

Semua syarat itu ternyata diterima Djojoadiningrat. Selain karena pandangan modernnya, merujuk pada cerita yang berkembang di Jepara, Sitisoemandari menulis bahwa Djojoadiningrat telanjur menganggap Kartini sebagai "wasiat jatinya". Ia perempuan yang dikagumi mendiang istrinya, Sukarmilah. Sebelum meninggal, sang istri berpesan kepadanya agar menikah dengan Kartini demi anak-anak mereka.

Kartini sadar pilihannya tak hanya memupus harapan-harapan lamanya. Banyak sahabatnya ikut kecewa. Untuk itu, ia menulis surat kepada Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara: "Bunda tentu kaget, Kartini bertunangan dan nanti kawinā€¦. Ah, tapi siapa di bumi ini dapat membanggakan bahwa ia dapat menentukan sendiri seluruh hidupnya? Orang menemui orang lain, terjadi pergulatan, dan jalan hidupnya dibelokkan ke jurusan lainā€¦. Apa salahnya menempuh jalan itu?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus