Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Tragedi Kartini

Ujung percakapan di Pantai Bandengan atau Klein Scheveningen pada 24 Januari 1903 itu tak habis dimengerti oleh Kartini. Impiannya selama bertahun-tahun bersama Roekmini untuk pergi belajar ke Belanda tiba-tiba pupus. Itu bukan karena tentangan orang-orang yang selama ini tak suka pada pikiran maju mereka. Halangan justru datang dari orang yang selama ini sangat dihormati dan sudah menjadi tumpuan keluh-kesah Kartini. Dia adalah Abendanon. "Tak ada yang lebih heran daripada kami sendiriā€¦, kata Kartini lewat surat kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Pertemuan di Pantai Bandengan
Keinginan Kartini melanjutkan studi ke Belanda kandas setelah bertemu dengan Abendanon. Jalan tengahnya, di Batavia saja.


SEMUA bermula dari Klein Scheveningenā€”orang mengenalnya sebagai Pantai Bandenganā€”sekitar 7 kilometer ke arah utara Jepara, Jawa Tengah. Di pantai berpasir putih itu, Raden Ajeng Kartini berbincang empat mata dengan Jacques Henrij Abendanon, direktur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, pejabat setingkat menteri. Abendanon begitu dekat dengan keluarga besar Kartini. Putri Jepara itu menganggapnya sebagai ayah angkat.

Hari itu, 24 Januari 1903, Abendanon sedang melakukan perjalanan dinas ke beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atas permohonan Kartini, ia singgah ke Jepara. Mereka berdiskusi tentang rencana Kartini dan Roekmini, adiknya, melanjutkan belajar ke Negeri Belanda. Kartini bermaksud meminta saran Abendanon atas keberangkatan tersebut.

Kartini dan Roekmini telah mengantongi beasiswa untuk belajar ke Belanda. Berkat bantuan seorang anggota parlemen Belanda yang sangat penting dan berpengaruh, Henri Hubertus van Kol, Menteri Jajahan alias Menteri Seberang Lautan Alexander Willem Frederik Idenburg berjanji memberikan subsidi.

Tapi sungguh tak dinyana. Pertemuan di Klein Scheveningen menjadi awal petaka bagi kedua putri Bupati Jepara Raden Mas Ario Sosroningrat itu. Abendanon sukses meyakinkan Kartini bahwa pergi ke Belanda sama sekali tidak menguntungkan, bahkan dapat merugikan cita-citanya. "Jadi sebaiknya Kartini tidak usah ke Belanda," kata Abendanon, seperti tertulis dalam buku Kartini: Sebuah Biografi karya Sitisoemandari Soeroto.

Alasan Abendanon secara rinci diungkapkan dalam surat Kartini kepada Eddy Abendanon, putra Abendanon. Eddy, yang sebaya dengan Kartini, adalah sahabat penanya. Surat kepada Eddy dilayangkan dua hari setelah pertemuan.

Pertama, Abendanon beralasan, kalau Kartini dan Roekmini pergi ke Belanda selama beberapa tahun, mereka akan dilupakan masyarakat. Padahal mereka ingin mengabdi kepada bumiputra. Kedua, ayah Kartini telah sepuh dan kondisi kesehatannya kurang baik. Ketiga, di Belanda dua bersaudara ini akan menemui banyak kesulitan yang belum bisa diperkirakan. Dan keempat, mereka akan dicap sebagai "nona Belanda" sekembali ke Tanah Air. Bila hal itu terjadi, pribumi tidak akan mempercayakan anak-anak gadisnya belajar kepada mereka, sehingga sekolah yang diimpikan Kartini kemungkinan besar akan gagal.

Dengan serius Abendanon menyarankan lebih baik Kartini belajar di Batavia saja. Dari sisi waktu, jauh lebih singkat. Soal biaya, bisa mengajukan permohonan subsidi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang kemungkinan besar akan disetujui. Sambil menunggu jawaban Gubernur, Kartini bisa segera membuka sekolah yang diinginkan, tanpa perlu menunggu tamat sekolah.

Keputusan membatalkan studi ke Belanda sangat disesali Kartini. Sitisoemandari menyebutnya sebagai tragik Kartini, lembaran paling kelam dalam riwayat hidup yang mempengaruhi perkembangan jiwanya. Berbagai keputusan Kartini di kemudian hari yang tidak cocok dengan visinya diyakini sebagai kelanjutan dari drama Klein Scheveningen pada 24 Januari 1903 itu.

Ā Kekecewaan yang mendalam membuat Kartini sakit keras. Sekitar dua pekan ia absen menulis kabar. Surat terakhirnya tertanggal 17 Februari 1903 kepada Abendanon. Dan surat berikutnya, 4 Maret 1903, kepada Rosa Abendanon, istri Abendanon. "Saya menderita sakit kepala rematik yang sangat nyeri, berkali-kali saya kejang karena nyeri," tulis Kartini.

Berat sekali Kartini mengabarkan keputusannya kepada para sahabat di Nederland. Surat kepada Nellie van Kol baru dilayangkan dua bulan kemudian, yakni 21 Maret 1903, lantas kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar pada 25 April 1903. Dalam tulisan tangan kepada Nellie, Kartini mengatakan betapa berat mengambil keputusan itu. "Semalam suntuk setelah pembicaraan lama dengan teman kami, saya berguling-guling di tempat tidur tanpa sedetik pun dapat memejamkan mata." Kartini mencoba menjelaskan, satu hal penting yang terlewat dari pikirannya, bagaimana penilaian masyarakat bumiputra atas kepergiannya ke Belanda. "Penilaian terhadap pribadi kami dapat diabaikan. Tapi bagaimana pengaruh terhadap sekolah kami nanti?"

Sedangkan kepada Stella ia berkata, "Sungguh suatu sikap penakut yang tak terampuni, bahwa kami tidak segera mengabari kau. Bahwa kami untuk sementara tidak akan menikmati buah jerih payah kalian. Tak ada orang lebih heran daripada kami sendiri bahwa keadaan akhirnya menjadi begini. Segala kemungkinan dapat kami harapkan, namun tak pernah kami bayangkan bahwa kami dengan kemauan sendiri akan memutuskan: kami tetap tinggal di sini!"

Berbagai analisis muncul sehubungan dengan batalnya Kartini dan Roekmini belajar ke Belanda. Ada yang berpendapat, Abendanon diminta orang tua Kartini membujuk dan mencegah kepergian Kartini. Tapi, menurut Sitisoemandari, hal itu tidak masuk akal. Pertama, Bupati Sosroningrat adalah bangsawan Jawa yang menjunjung tinggi keningratannya. Ia tidak mungkin menjilat ludahnya. Artinya, tak mungkin ia menarik izin yang pernah diberikan. Kedua, hubungan dengan Kartiniā€”putri yang paling disayangiā€”sangat erat dan terbuka. Tak mungkin secara licik menghalangi niat Kartini melalui Abendanon. Bila Sosroningrat menilai tidak perlu memberi izin, ia akan menyampaikannya secara berwibawa dan terbuka.

Sitisoemandari yakin Bupati Sosroningrat dan Raden Ayu tidak pernah menarik izin. Buktinya, sejak mendapat restu sang ayah, Kartini dengan harapan besar menulis surat kepada para sahabat di Nederland. Tercatat ada delapan surat selama Juli-Desember 1902. Sebaliknya, Nyonya Abendanon berkali-kali membujuk Kartini agar membatalkan kepergiannya. Hingga terjadi "insiden" Klein Scheveningen.

Bukti lain adalah pernyataan Abendanon dalam kata pengantar buku Door Duisternis Tot Licht. Dalam buku Abendanon yang berisi surat-surat Kartini itu disebutkan, Kartini berhasil meyakinkan bukan hanya ayahnya, melainkan juga ibunya, Raden Ayu, untuk menerima gagasan putri-putrinya yang berniat memutuskan ikatan dengan dunia kolot. "Akhirnya Raden Ayu menaruh simpati besar terhadap gagasan maju putri-putrinya, sehingga hubungan mereka menjadi lebih erat."

Keganjilan tampak dalam surat pengantar Residen Semarang Pieter Sijthoff, 27 April 1903. Surat itu mengiringi permohonan Kartini dan Roekmini kepada Gubernur Hindia Belanda untuk melanjutkan sekolah ke Batavia. Intinya, Sijthoff menyarankan pemerintah Hindia Belanda agar menerima permohonan itu dengan tangan terbuka.

"Adapun untuk mengirimkan mereka ke Eropa, sangat tidak saya setujui. Banyaknya kesan yang bertubi-tubi akan dialaminya di sana, hanya akan membingungkan mereka. Kecuali itu, di sana mereka hanya akan bergaul di kalangan yang hanya mengutamakan etiket daripada peradaban yang sejati. Dan karena mereka charmeuses (menawan), mereka juga akan dimanjakan dan sering diundang ke pesta, sehingga mereka akan kehilangan keseimbangan jiwa."

Sitisoemandari menilai surat pengantar itu aneh. Sebab, permohonan Kartini dan Roekmini sama sekali tidak menyebutkan keinginan dikirim ke Belanda, tapi ke Batavia. Diduga Abendanon dan Sijthoff telah berdiskusi, konsekuensi bagi pemerintah Hindia Belanda bila Kartini dengan sifat kerasnya jadi berangkat ke Belanda. Bagi Abendanon, Kartini hanyalah gambaran perempuan yang berhasil. "Tapi keberhasilannya jangan jauh banget. Ada tarik-ulur."

Analisis lain diungkapkan Jaap Anten, peneliti Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV). Ia menulis artikel De ontbrekende brief van Kartini, yang dimuat di Jurnal Indische Letteren, pada 2005. Jaap Anten tergelitik membaca buku kumpulan lengkap surat Kartini yang disusun Frits Jaquet (1987). Ada satu surat yang tidak dimuat di buku karena tidak sesuai dengan surat-surat lain.

Ā Dokumen yang tak ditampilkan itu sepucuk surat dari Kartini kepada Van Kol, 7 Agustus 1902. Sebenarnya dokumen itu ada di KITLV, hibah dari ahli waris Abendanon. Tapi Jaquet menganggapnya tidak cocok dengan keseluruhan surat yang lain. "Saya menganggap ini ganjil sekali," kata Anten.

Jaap Anten memeriksa arsip dan membaca surat itu. "Ternyata sepucuk surat yang sangat menarik." Ia menilai surat itu justru cocok sekali dengan keseluruhan nada korespondensi Kartini. Isinya, antara lain, permintaan rahasia Kartini agar bisa bersekolah di Belanda. Sebab, sulit sekali mendapatkan pendidikan di Indonesia waktu itu. Dia menuliskan tujuan utama nantinya mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan Jawa.

Jaap Anten menduga ini permintaan yang dirahasiakan, di luar pengetahuan orang tuanya. Sebab, bila sejak awal Kartini menyampaikan kepada orang tuanya, kemungkinan besar akan ditolak.

Dugaan Sitisoemandari mengerucut kepada Abendanon, yang khawatir atas kedekatan Kartini dengan para petinggi Belanda. Melalui keluarga Van Kol dan Stella, ia akan diterima kalangan sosialis. Nah, pemahaman Kartini mengenai ketidakberesan di Jawa, soal kelaparan, gagal panen, dan banjir karena salah urus irigasi, sangat mungkin diungkapkan di Belanda nantinya. Isu itu dikhawatirkan akan dimanfaatkan kelompok sosialis Belanda untuk menyerang Pemerintah Tinggi (pemerintah pusat) dan pemerintah Hindia Belanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus