Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setan Jawa: Melbourne dan Sensualitas Dunia Gaib Kita

PEMUTARAN perdana film bisu Setan Jawa karya Garin Nugrohomenggebrak perhelatan Asia-Pacific Triennial of Performing Arts (Asia TOPA). Secara unik—dan tak pernah terjadi di dunia sebelumnya—film ini diiringi langsung oleh kolaborasi gamelan dan orkestra. Gamelan dipimpin komposer Rahayu Supanggah dan Melbourne Symphony Orchestra dikomandani konduktor Iain Grandage. Asia TOPA adalah peristiwa seni di Australia yang memfokuskan diri pada perkembangan terbaru seni kontemporer Asia dan kemungkinan-kemungkinan kerja samanya dengan Australia. Sekitar 10 penampil seni dari Indonesia unjuk gigi dalam acara ini. Ikuti laporan Tempo.

6 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CANDI Sukuh. Di atas candi yang bentuknya mirip piramida terpancung di daerah Karanganyar, Solo, itu, seorang penari mengenakan topeng beraut muka anjing meloncat-loncat, jumpalitan, akrobatik. Liar. Gerak tubuhnya berangasan tapi cekatan. Anggono Kusumo Wibowo, penari Jawa yang kerap memainkan tokoh Buta Cakil, memerankan setan penyerang yang mengundang setan-setan lain melakukan ritual pesugihan bagi seorang laki-laki bernama Setyo. Dari berbagai arah candi yang denahnya membujur ke belakang dan sering disebut candi erotis lantaran memiliki beberapa patung dan relief berwujud penis (lingga) itu, muncul bermacam-macam setan.

Lebih dari 2.000 penonton yang memenuhi gedung Hamer Hall, Arts Centre Melbourne, dibawa masuk ke alam magic realism ala Garin Nugroho. Sebuah dunia perklenikan Jawa di era kolonial. Sejak menit awal sampai terakhir, adegan film bisu hitam-putih ini terus-menerus memberi suspense dan kejutan visual. Kolaborasi antara gamelan Jawa yang dipimpin Rahayu Supanggah dan Melbourne Symphony Orchestra yang dikomandani konduktor Iain Grandage langsung di depan layar mampu menyeret penonton mengikuti pengembaraan Setyo (dimainkan oleh Heru Purwanto, penari wayang wong Sriwedari) dikejar sejumlah setan.

Asia-Pacific Triennial of Performing Arts (Asia TOPA), yang berlangsung mulai Januari sampai April 2017, memberikan kehormatan kepada film bisu hitam-putih Setan Jawa untuk melangsungkanworld premiere di Australia. Asia TOPA adalah festival yang merayakan hubungan Australia dan seni kontemporer Asia.

Beberapa penampil di sana antara lain National Ballet of China, yang membawakan The Red Detachment of Women; Pichet Klunchun Dance Company dari Thailand dengan Dancing with Death;kelompok teater kontemporer Jepang, Chelfitsch, yang mementaskan Time’s Journey Through a Room; Tao Dance Theater dari Cina dengan 6 and 8; serta pentas tunggal superstar A.R. Rahman, penyanyi dan komposer India, pembuat soundtrack film Slumdog Millionaire yang garapan musiknya sering mengiringi film-film Bollywood India. Dia pernah oleh majalah Time disebut sebagai salah satu orang paling berpengaruh di dunia.

"Ada 10 kelompok seni dari Indonesia, termasuk Garin Nugroho," kata Kate Ben-Tovim, Direktur Asia TOPA. Mereka yang tampil adalah koreografer Eko Supriyanto dengan tari Cry Jailolo dan Bala-Bala; kelompok Teater Satu, Lampung, yang mementaskan naskah penulis Australia, Sandra Thibodeaux, The Age of Bones (Zaman Belulang); Mainteater, Bandung, bekerja sama dengan La Trobe University Student Theater, yang menyuguhkan The Light Within a Night (Cahaya Memintas Malam); serta kolaborasi kelompok musik Senyawa dan dua kelompok tari Australia, Lucy Guerin dan Dancenorth. Selain itu, Papermoon Puppet Theater dari Yogyakarta bekerja sama dengan Polyglot Theatre, Australia; Tisna Sanjaya, perupa Bandung yang menampilkan performance Art is Prayer; serta sebuah pameran seni rupa bertajuk "Political Acts" yang diikuti perupa Dadang Christanto dan Melati Suryodarmo.

Dan Setan Jawa, yang dipentaskan pada 24 Februari lalu, menjadi sangat istimewa. Film ini merupakan commissioned art dan hanya dimainkan satu hari. Tepat pukul 07.30 malam, tanpa ba-bi-bu pengantar macam-macam, film langsung dimulai. Sebanyak 20 pemain gamelan bersama 20 musikus orkestra mengawinkan musiknya. Orkestra dan gamelan, yang biasanya bagaikan minyak dan air, mampu balut-membalut, susup-menyusup, menciptakan ketegangan dan keselarasan.

Unsur orkestra diberi kesempatan lebih dulu pada prolog film, yang menggambarkan adegan anak kecil Jawa yang digelandang masuk tahanan karena membunuh serdadu Belanda. Kakinya diberi pemberat besi. Mata anak itu terasa tajam, penuh dendam. Anak pribumi ini kelak menjadi setan pesugihan di Candi Sukuh. Unsur orkestra pada menit awal segera membuat Setan Jawa terasa sebagai film bisu dibanding saat Setan Jawa dipentaskan di Jakarta pada Desember tahun lalu, yang hanya diiringi gamelan. Di Melbourne, kualitas hitam-putihnya juga "menggigit" karena menggunakan dua proyektor. "Itu membuat gambar lebih tebal," ujar Garin Nugroho.

Ada banyak jenis pesugihan dalam tradisi perklenikan Jawa. Garin memilih pesugihan kandang bubrah. Setyo dalam film adalah seorang pemuda miskin yang terpesona oleh seorang ningrat bernama Asih (Asmara Abigail). Ia melakukan ritual kandang bubrah meminta bantuan jin dan setan untuk mendapatkan kekayaan secara singkat buat mengawini Asih. Ini pesugihan yang punya konsekuensi panjang: rumah barunya bakal terus-menerus bubrah dirusak setan dan di akhir hidupnya ia terancam menjadi tiang penyangga rumah selamanya.

Film ini dibagi menjadi tujuh bagian. Bab I, Pertemuan Cinta. Di sini ada adegan Asih menaiki kereta kuda melintas di jalanan diiringi dua pembantunya yang memakai riasan punakawan (dimainkan dengan gerak-gerak jenaka oleh duet penari Cahwati dan Danang Pamungkas). Setyo terpana melihat kecantikan Asih.

Melihat tusuk konde Asih jatuh, Setyo membawanya ke rumah Asih. Dalam Bab 2, Misteri Tubuh dan Cinta, disajikan adegan ibu Asih menampik Setyo. Ibu Asih, yang dimainkan dengan muka bengis oleh penari Dorothea Quin, menancapkan konde itu ke tangan Setyo hingga tangan lelaki tersebut berdarah. Rusmini, penari bedhaya sepuh dari Surakarta, terasa karismanya. Ia menjadi eyang Asih. Adegan ia mengibaskan tangan beberapa detik tanda penolakan kepada Setyo sangat kuat. Suara vokal bersama timpani bergemuruh saat tangan Setyo berdarah. Dalam kemarahan dan tangan terbebat, Setyo lalu menggelandang ke pasar.

Bab 3, Pasar Mistik, menyajikan suasana pasar yang penuh orang menjajakan jampi-jampi. Di pasar itu, lima penari perempuan bertopeng yang sebelumnya dilihat Setyo di sebuah hutan kayu berbaris melangkah seolah-olah tak menapak di tanah. Musik rebana dari Banyuwangi yang disebut kuntulan digunakan Rahayu Supanggah menyambut gerak-gerak langkah ringan kaki itu. Seorang ibu penjaja memperlihatkan Setyo ilustrasi gambar tentang pesugihan. Di atas sebuah pohon, bertengger setan tua. Rambutnya panjang. Mukanya putih dan kerut merut tua. Ia memegang sebuah tongkat bunga. Setan tua itu dimainkan oleh Kodok Ibnu Sukodok, eks aktor Bengkel Teater Rendra.

Lalu Setyo menjalani ritual pesugihan di Candi Sukuh. Di sini Candi Sukuh bisa dihadirkan oleh Teoh Gay Hian. Juru kamera kelahiran Johor, Malaysia, ini menampilkannya tanpa klise atau terkesan turistik. Teoh, yang juga menjalin kerja sama dengan Garin Nugroho dalam film Opera Jawa, agaknya makin menyelami selera artistik dan simbol Garin. Sejumlah angle kameranya tak terduga. Sederhana tapi kuat dan mampu membawa kita ke perasaan surreal.

Di candi itu mula-mula muncul parade anak-anak membawa tengkorak. Kodok Ibnu Sukodok, selaku setan tua, lalu menciprati Setyo dengan air. Sebuah penahbisan. Pemberkatan setan. Ia meraup wajah dan tubuh Setyo. Di kalangan komunitas seni, Kodok dikenal baru-baru ini membuat performance sensasional di sebuah desa di Ngawi, Jawa Timur. Ia "kawin" dengan peri yang mendiami hutan Desa Begal, Kecamatan Kedunggalar, Ngawi. Perkawinannya dengan peri dihadiri oleh ribuan warga Ngawi sebagaimana sebuah hajatan besar. Dan kini, katanya, ia memiliki sepasang anak kembar putra-putri dari peri. Kodok terasa pas memainkan sosok setan tua.

l l l

SETAN Jawa adalah hasil kerja sama Garin Nugroho dengan pendanaan dari Asia TOPA dan didukung Bakti Budaya Djarum Foundation. Awalnya, tiga tahun lalu, pada Asia TOPA 2014, Garin diminta membuat karya untuk pembukaan Asia TOPA 2017. Dia mulanya ingin membuat semacam pertunjukan di sudut-sudut Melbourne. "Saya ingin membuat billboard raksasa. Dan, di atas billboard itu, ada aksi tari dan teater. Saya ingin billboard itu diletakkan di berbagai jalan utama di Melbourne. Tapi agaknya perizinannya sulit," kata Garin. Ia kemudian mengusulkan film bisu yang diiringi langsung dengan gamelan. "Baru pertama kali di dunia ada sebuah film bisu diiringi langsung dengan gamelan," ujarnya.

Selama hampir tiga tahun Garin melakukan riset segala hal berhubungan dengan dunia pesugihan. Tim yang diisi oleh Ong Harry Wahyu (sebagai desainer artistik) dan Retno Damayanti (perancang kostum) sangat membantu dia. Ong-lah yang membuat ilustrasi gambar pesugihan yang membuat film ini terasa retro. "Itu sesungguhnya gambar Tjitro Waloejo," kata Ong. Tjitro Waloejo (1912-1990) adalah pelukis populer Yogyakarta yang pada 1950-an sering membuat seri ilustrasi pesugihan. Beragam pesugihan di Yogya ia gambar, dari tuyul hingga kandang bubrah. "Saya riset karya-karya Pak Tjitro, terus saya gambar ulang," ucap Ong.

Ong juga yang menciptakan topeng-topeng yang terasa arkais dan magis. Dia mengeksplorasi topeng-topeng tua Nusantara. "Dasar topeng di film ini adalah tengkorak, yang kemudian saya sesuaikan dengan karakter tiap setan," katanya. Tim Garin juga menyurvei segala macam mantra pesugihan "Di Jawa, ada aji pengasihan bulus jimbung," ujar Ong. Bulus adalah semacam kura-kura. Itu sebabnya mengapa Garin memilih Candi Sukuh menjadi lokasi utama syuting meski mungkin candi tersebut secara arkeologis sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia pesugihan. "Sebab, di situ ada simbol kura-kura yang bisa jadi simbol aji pengasihan bulus jimbung," tutur Garin.

Menurut Fawarti Gendra Nata Utami, Line Producer Setan Jawa, dari survei mereka ditemukan bahwa kepercayaan yang mengaitkan bulus dengan pesugihan sampai sekarang bahkan masih hidup di perdesaan Jawa. "Di daerah Wonogiri, kalau ada acara perkawinan, di meja amplop selalu ada akuarium kecil yang isinya kura-kura atau yuyu. Itu kepercayaan penduduk setempat agar uang tidak digondol tuyul," kata Fafa-panggilan Fawarti. Riset mereka, menurut Fafa, sampai hal-hal kecil, semisal melakukan workshop gerakan setan dalam tari dan mitologi Jawa.

Dalam adegan pasar, misalnya, ada ibu-ibu yang berjalan dengan sedikit membungkuk. "Ibu-ibu itu sebenarnya menggendong tuyul yang tidak kelihatan. Begitu caranya membopong tuyul dari riset kami," ujar Fafa. Dalam adegan, para musikus gamelan, misalnya, melantunkan tembang Ana Kidung Rumeksa ing Wengi, yang dalam khazanah Jawa dianggap jopa-japu ampuh ajaran Sunan Kalijaga mengusir jin. Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh hayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani….

Lokasi film sebetulnya tak terlalu banyak. Di antaranya Pesanggrahan, bekas tempat bertapa Paku Buwono IV yang letaknya di bantaran Sungai Bengawan Solo, Sukoharjo. Di situ sampai sekarang masih terdapat sebuah pendapa dengan patung Raja Kala (topeng raksasa berhidung panjang) berukuran sangat besar. Dalam adegan memiliki rumah baru, Setyo memuja setiap tiang pendapa Pesanggrahan itu. Lokasi lain adalah di rumah koreografer Sardono Kusumo di bilangan Kemlayan, Solo, yang telah rusak. Di sini ada adegan Setyo memakan tembok. Lalu di Sendang Madudo, Karang Pandan, dan Hutan Kayu Putih di Nglipar, Gunungkidul.

Orkestra Melbourne sendiri setiap tahun di gedung Hamer Hall, Arts Centre Melbourne, menggelar banyak program. Untuk 2017, mereka menyajikan dari The Great Classics Series (memainkan karya klasik dunia seperti Carmina Burana), The Mozart Festival, Metropolis New Music Festival, sampai MSO at the Movies (menyuguhkan soundtrack film Jurassic Park karya Steven Spielberg, Amadeus karya Milos Forman, dan Harry Potter and the Philosopher’s Stone karya Chris Columbus).

Kerja sama mereka dengan Garin Nugroho dan Rahayu Supanggah adalah bagian dari program East Meets West. Acara lain untuk program ini adalah saat Imlek lalu, 4 Februari, Orkestra Melbourne mengundang komponis terkenal asal Cina, Tan Dun, mengonduktori komposisi-komposisi orkestra yang melibatkan instrumen-instrumen Cina. Melbourne adalah sebuah kota dengan populasi banyak keturunan Cina. Tan Dun dalam dunia film bukanlah nama asing. Ia dikenal membuat score musik untuk film sineas Cina, Zhang Yimou, Crouching Tiger Hidden Dragon dan Hero.

"Saya beberapa kali ke rumah Pak Panggah di Solo," ujar Iain Grandage, sang konduktor Melbourne Symphony Orchestra. "Saya meminta Iain untuk memberi contoh musik film bisu, lalu saya pilih mana yang tepat buat Setan Jawa," kata Garin. Rahayu Supanggah sendiri menganggap kolaborasi ini penuh unsur saling menerima dan memberi. Musikus yang direkrut Panggah semua dikenal maestro di bidangnya: penggendang, perebab, penabuh saron-bonang, dan para vokalis. Menurut Panggah, sementara orkestra menjadi bagian utama, gamelan akan berperan sebagai background atau lanskap. Demikian juga sebaliknya. "Kami mencari nada yang kira-kira bisa nyerempet."

Panggah sadar musik Barat yang diatonis lebih bisa serasi dengan laras pelog. Sementara itu, perasaan-perasaan mengambang dari Setyo dan Asih lebih cocok diwakili laras slendro, yang sukar diikuti musik Barat. "Di gamelan itu ada nada-nada yang nggandul (menggandul) atau nungkak (mendahului), sementara musik orkestra presisinya selalu tepat. Ini yang harus diakali," ujar Panggah. Untuk mengekspresikan kemarahan setan, Panggah menggunakan barisan seksi tiup: oboe, klarinet, basson, trompet, dan trombone. "Saya meminta Iain ada tiupan oboe saat ada tembang yang melankolis. Yang pahit. Itu cocok dengan suasana tembangnya."

Rahayu Supanggah banyak menggunakan vokal kor putri (Peni Candra Rini, Deny Wulandari, Dita Intawati) dan putra (Darsono, Wahyu Sastro Sukarno). Berbagai karakter kor juga dipakai dari karakter uran uran vokal Banyuwangian sampai vokal Tulungagungan. Beberapa kali tatkala mengekspresikan setan-setan yang kalap, Panggah menggunakan vokal raksasa pewayangan Bali, yang disuarakan I Ketut Saba. Tatkala di dalam hutan Setyo kelihatan kebingungan sebelum di layar muncul rombongan pembawa keranda, musik menampilkan grambyangan gambang. Panggah juga menggunakan mantra-mantra. Saat Setyo membuat topeng, para vokalis pria menggumamkan mantra hambanggala, gumala gala sajuga wit kasura, sura kasarasing huna kawi rusa, rusa mana….

"Struktur dramaturgi saya sesungguhnya Aristotelian. Ada pembukaan, konflik, dan resolusi. Di awal, tengah, dan akhir, saya menampilkan idiom tusuk konde sebagai penanda alur cerita," ucap Garin. Struktur dramaturgi demikian memang memudahkan penonton di Australia atau di mana saja menangkap cerita. "Sementara struktur penarasian sederhana, saya menginginkan musik Pak Panggah dan orkestra lapis-melapis kompleks," Garin menambahkan. Cara menyutradarai para aktor juga tak sama dengan menyutradarai film biasa. Mungkin penemuan Garin bahwa film bisu ternyata klop diekspresikan dengan tarian. Ini berbeda dengan film bisu Barat yang bertolak dari akting yang cenderung pantomimik. "Akting di Setan Jawa bukan dari pantomim atau teater, melainkan dari gerak pernyataan yang diekspresikan tari," kata Garin.

Asmara Abigail, pemeran Asih yang tak punya latar belakang tari Jawa, ternyata cukup mengimbangi para penari. Ia lembut tapi bisa ekspresif. Asmara adalah lulusan La Salle cabang Jakarta dan meneruskan studi marketing-branding for luxury product di Milan, Italia. Selama di Milan, ia belajar pool dance, tari tiang yang biasanya diasumsikan erotis. "Semua penari dalam film Setan Jawa menjadi guru saya," ujar Asmara.

l l l

YANG paling terasa dramatis adalah bagian ketika Garin Nugroho mampu menjelmakan dunia binatang menjadi metafora bagi penyerangan setan. Dari Bab 4, Hutang yang Harus Dibayar; Bab 5, Jalan Gaib Setan: Rumah Selalu Rusak; Bab 6, Takdir; sampai Bab 7, Penyerahan Diri untuk Pengampunan, penuh dengan idiom binatang penjelmaan setan.

Masih terasa lekat di ingatan tatkala kamera menangkap wajah bulus atau kura-kura yang muncul kepalanya saja. Mata sang bulus misterius. Matanya cenderung mengerikan. Dunia yang dipandangnya seolah-olah penuh roh halus. Tatapan mata bulus ini membekas sampai akhir film. Lalu adegan fantastis yuyu atau kepiting merayap di lantai dan dinding membuat retak rumah Setyo.

"Di Jawa, selain aji pengasihan bulus, ada aji pengasihan yuyu," kata Ong Harry Wahyu. Menurut Ong, dari hasil riset mereka, di Jawa ada tradisi orang menangkap tuyul dengan cara mencemplungkan yuyu ke kendil. Ekspresi ketakutan Asih bisa diekspresikan dengan baik oleh Asmara Abigail saat adegan penyerbuan yuyu ini. Kepiting-kepiting itu meluber di lantai diiringi kecipak rebana. Tatkala topeng dibakar, tubuh Setyo mengigal-ngigal di ranjang, diiringi sayatan instrumen gesek.

Yang juga terasa amat istimewa adalah unsur sensualitas. Garin seperti biasa mampu memadukan dunia mistis Jawa dengan erotisme Jawa. Pada bagian awal sebelum perkawinan, ada adegan Asih melakukan ratus asap untuk membuat kemaluannya wangi. Persanggamaan Asih dengan Setyo juga ditampilkan secara halus. Juga persetubuhan Asih dengan setan.

Di Jawa, imajinasi hubungan manusia dengan binatang atau setan memang ada. Peneliti sastra Jawa dari Universitas Indonesia, Salfia Rahmawati, pernah melakukan kajian terhadap beberapa serat Jawa yang menampilkan kisah penyimpangan seksual. Penyimpangan itu berupa bestiality, persetubuhan manusia dengan hewan, dan spectrophilia, persanggamaan manusia dengan makhluk halus. Serat Naraswan, naskah dari Yogya setebal 728 halaman yang dikumpulkan pada 1930-1942, dalam penelitian Salfia memuat kisah dari Godean, Kulon Progo, Gunungkidul, dan desa-desa lain di Yogya tentang laki-laki yang kawin dengan peri untuk mendapat kekayaan. Termasuk cerita genderuwo yang menyamar menjadi suami seorang istri dan menyetubuhinya.

Di bagian akhir, Asih menemui setan, meminta pengampunan. Ia mengunjungi Candi Sukuh. Tepat di lantai gapura candi yang terdapat relief penis dan lingga, ia mengangkat kebaya. Asih seolah-olah ingin menghunjamkan penis yang terpacak di lantai itu ke dalam tubuhnya. Dari Sukuh, ia lalu terlihat membersihkan diri telanjang di sebuah bak. Di samping bak itu, sang setan menari (diperankan penari Solo, Bambang Besur). Kaki Asih keluar dari bak. Tubuhnya kemudian muncul hampir separuh. Sang setan meminta imbalan menyetubuhi Asih. Asih merelakan dirinya menjadi tumbal. Ia berharap hukuman suaminya terhapus. Tatkala tubuhnya bersentuhan dengan tubuh setan, raut setan berubah menjadi tengkorak. Asih menancapkan tusuk konde di dahi tengkorak tersebut.

Dari tusuk konde kembali ke tusuk konde. Sesungguhnya durasi Setan Jawa 120 menit. Karena menyesuaikan diri dengan Melbourne Symphony Orchestra yang hanya bermain 70 menit, film ini dipangkas 50 menit. "Sayang sebetulnya. Yang paling banyak kami edit adalah adegan menari bertiga, Asih, ibu, dan eyangnya. Juga adegan badut-badutan atau geculan antara Cahwati dan Danang Pamungkas, yang memerankan pembantu Asih," ucap editor film Andhy Pulung.

Melbourne adalah awal dari pengelanaan panjang Setan Jawa. Film ini akan meneruskan perjalanannya melanglang buana. Yang terdekat, Setan Jawa kembali ditampilkan di Yogya, di forum seni rupa Art Jog pada Mei nanti. Pentas tanpa orkestra, hanya iringan gamelan. "Setan Jawa kami tampilkan pada 21 Mei di gedung Universitas Sanata Dharma, dua hari setelah opening," kata Hery Pemad, Direktur Art Jog. Lalu, menurut Fawarti Gendra Nata Utami, pada 20-21 Juni, film ini akan disajikan di Holland Music Festival di gedung Muziek Gebouwan, Belanda. Kemudian Setan Jawa ditayangkan pada 19-20 Juli di Esplanade, Singapura, dan di Cadogan Hall, London, pada September nanti, lalu ke Glasgow.

"Di Singapura dan Eropa itu Pak Panggah siap berkolaborasi dengan jenis musik apa pun, tak harus orkestra. Bisa saja dengan musik rock atau musik elektrik," tutur Garin. Itulah sebabnya film eksotik ini akan berumur panjang. Karya ini mengandung potensi kemungkinan-kemungkinan kolaborasi musikal yang tak terduga. Di gedung Hamer Hall, Arts Centre Melbourne, lebih dari 2.000 penonton melakukan standing ovation, tepuk tangan penghormatan setelah film usai. Rahayu Supanggah merasa terharu. Matanya berkaca-kaca. "Saya memperkirakan lebih dari lima tahun film ini bisa beredar dari festival ke festival dunia," kata Garin, yakin.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus