Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUNI 1991 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tangisan pecah di sebuah ruang sidang. Nyonya Rosery Meita, istri Dicky Iskandar Di Nata, dan sanak saudaranya tersedu begitu hakim memutuskan sang suami terbukti korupsi hingga merugikan negara Rp 780 miliar. Bapak tiga anak itu divonis sepuluh tahun penjara.
”Drama” itu berputar lagi Selasa dua pekan lalu. Tempatnya berpindah ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tapi lakon utamanya sama: Dicky Iskandar Di Nata. Kini kakek lima cucu itu dituntut dengan hukuman berlipat kali: hukuman mati. Sanak keluarga Dicky yang hadir di persidangan itu kembali menitikkan air mata.
Lahir 55 tahun silam, Dicky kini memasuki masa kelam kedua dalam hidupnya. Enam belas tahun lalu ia hidup di bui karena kasus korupsi dana Bank Duta. Mahkamah Agung kemudian mengurangi hukumannya menjadi delapan tahun penjara. Ia bebas 1996 setelah diskon remisi karena berkelakuan baik.
Sepuluh tahun menghirup udara bebas, kini Dicky kembali terlempar ke kamar penjara. Kali ini ia disangka ikut membobol dana Bank Negara Indonesia (BNI) hingga negara rugi Rp 1,2 triliun. Dakwaan jaksa mencetak rekor. Dicky-lah tersangka koruptor pertama di negeri ini yang dituntut hukuman mati.
Keterlibatan Dicky dalam perkara ini bermula dari PT Brocolin. Perusahaan ini milik Khalid Kashogi, satu dari tiga putra Dicky, yang mengelola franchise Rumah Makan Bakmi Japos. Sesudah sukses membuka gerai di Bona Indah, Jakarta Selatan, sang anak bertekad membuka cabang di kawasan Kemang, juga di Jakarta Selatan.
Kashogi lalu bertemu dengan Adrian Waworuntu, yang memiliki lahan kosong di Jalan Kemang Raya. Keduanya sepakat mendirikan perusahaan. Bendera baru usaha bakmi itu bernama PT Brocolin International. Kashogi menyetor gerai Bona Indah sebagai penyertaan modal. Adrian memasukkan sewa tanah selama lima tahun sebagai modal awal. Jefry Baso menyetor uang tunai. Dagang bakmi itu pun berkibar.
Maret 2003, Adrian Waworuntu menemui Dicky, memintanya mengelola dana US$ 100 juta milik investor Israel. Bersama Adrian, ia bertemu Maria Pauline Lumowa, wakil investor orang Israel itu di Indonesia. Lumowa orang Indonesia yang belakangan menjadi warga negara Belanda.
Setelah beberapa kali pertemuan, mereka sepakat mendirikan sebuah perusahaan yang menjalankan investasi itu. Pembentukan perusahaan baru itu memerlukan waktu, sementara si Israel itu ingin cepat untung. Jalan pintas pun ditempuh. Brocolin International diambil alih Lumowa guna mengelola dana ini. Usaha Bakmi Japos diteruskan dengan bendera baru, PT Rumah Makan Kemang.
Struktur manajemen Brocolin pun ditetapkan. Maria Pauline Lumowa duduk di kursi komisaris utama, Adrian Waworuntu selaku komisaris, Dicky didaulat menjadi direktur utama, dan masalah keuangan diurus Ollah Agam, orang dekat Lumowa.
Mei 2003, Lumowa menyetor Rp 50 miliar ke kas Brocolin. Dicky memakai uang itu untuk membeli enam perusahaan perkebunan yang sedang dilelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Lumowa terus mengucurkan dana. Roda bisnis berputar. Brocolin kemudian mengakuisisi sejumlah perusahan. Aset perusahaan membubung.
Belakangan diketahui dana-dana itu berasal dari penjualan letter of credit fiktif, yang membobol brankas BNI hingga angka yang membelalakkan mata, Rp 1,2 triliun.
Publik terperangah, polisi bergerak cepat. Sejumlah petinggi perusahaan ditangkap, lalu diseret ke pengadilan. Adrian Waworuntu divonis seumur hidup, kini tengah menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung. Sejumlah pelaku lain kini tengah diadili.
Bau busuk skandal ini juga meruap dari ruang penyelidikan. Sejumlah perwira polisi yang menangani kasus ini menerima suap dari beberapa tersangka.
Bahkan di ruang sidang sejumlah saksi mengungkapkan bahwa dana suap itu juga mengalir ke Trunojoyo Satu, alamat Markas Besar Kepolisian Indonesia, walau buktinya belum ditemukan. Kini, sejumlah perwira yang diduga menerima suap tengah menjalani proses hukum.
Dicky ditangkap polisi 14 Juli 2005. Sejumlah karyawan Brocolin International ikut dibekuk. Ada yang dipenjara, tapi ada pula yang melenggang bebas. Maria Pauline Lumowa, misalnya, hingga kini belum ditangkap bahkan tak diketahui rimbanya.
Nasib paling pahit menimpa Dicky, dituntut hukuman mati, Selasa dua pekan lalu itu. Dicky langsung lemas. Matanya nanar. Kini lelaki itu meringkuk di tahanan Mabes Polri, menjalani hidup dalam sel ukuran 2 x 2 meter. Ia kehilangan gairah hidup.
Gegap gempita pesta bola di Jerman tidak menarik minatnya. Saat sejumlah tahanan lainnya asyik menonton serunya pertandingan, Dicky mengurung diri di kamar tahanan. Kamis pekan lalu, ia sempat keluar kamar menonton duel kesebelasan Jerman melawan Polandia. Tapi cuma sebentar. ”Sesudah mengisap sebatang rokok, Dicky kembali ke ruang tahanan,” kata seorang tahanan.
Saat Tempo menjenguknya Kamis pekan lalu, ia sedang didera flu berat. Leher dan dadanya sesak. Setelah menelan obat flu, ia menguap berkali-kali, lalu terlelap.
Garis hidup Dicky Iskandar Di Nata sebelumnya licin berkilau. Ahmad Sidik Mauladi Iskandar—nama lengkapnya—lahir dari keluarga terpandang. Kakeknya adalah pahlawan nasional Otto Iskandardinata. Tahun 1980-an, ia tersohor sebagai bankir supergesit. Ia meniti kegemilangan itu dari bawah. Dua tahun kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Dicky hengkang, lalu bekerja sebagai juru ketik di Citibank, 1971. Dua tahun berselang, ia diangkat menjadi staf.
Dari situ kariernya melesat. Tahun 1975 ia diangkat menjadi Wakil Manajer Citibank di Jeddah, Arab Saudi, pada usia yang terbilang belia, 24 tahun. Ia rajin membekali diri. Sembari bekerja, ia belajar di Universitas Golden Gate di Amerika Serikat. Di sanalah ia menggondol gelar master of business administration (MBA). Ia juga rajin mengikuti kursus di sejumlah negara. Bekal sekolah itu mempercepat laju kariernya.
Ia lalu diangkat menjadi Vice President Citibank tahun 1978. Menampik jabatan itu, Dicky memilih pindah ke Bank Duta. Dicky beralasan, ”Saya sudah jenuh di Citibank.”
Di Bank Duta, kariernya juga melaju di jalur cepat. Tahun 1981 ia duduk di posisi basah, Direktur Kredit Bank Duta. Tujuh tahun berselang, melambung ke posisi wakil direktur utama. Dialah jawara Bank Duta saat itu. Tahun 1998 ia dinobatkan sebagai Bankir of the Year. Namanya harum di kalangan para bankir.
Pergaulannya di kalangan masyarakat papan atas membuatnya populer. Ia dikabarkan menikah lagi dengan putri Kepala Bulog Bustanil Arifin yang juga Komisaris Utama Bank Duta. Dicky kelihatannya akan aman di Bank Duta.
Ternyata tidak. Bank Duta tiba-tiba oleng karena permainan spekulasi valuta asing. Brankas bank terkuras hingga Rp 780 miliar. Dan Dicky dituduh sebagai biangnya. Selain masuk bui, ia harus membayar ganti rugi Rp 811 miliar. Mobil, rumah, dan harta benda lainnya ludes disita negara. Keluarganya ikut menderita karena Kejaksaan Agung akan mengejar ganti rugi itu hingga ke anak-cucu. Sejak saat itu hidup Dicky terpelanting ke titik nadir.
Masa kelam di Bank Duta itu turut memberatkan Dicky dalam perkara korupsi BNI. Jaksa menyebutnya residivis dalam tindak pidana korupsi Bank Duta. Apalagi, ”Terdakwa sama sekali tidak membayar uang pengganti sebesar Rp 800 miliar,” kata dakwaan jaksa.
Memperkuat tuduhan terhadap Dicky, jaksa memanggil 13 saksi yang terlibat skandal BNI. Para saksi itu umumnya bawahan Dicky di Brocolin. Jaksa juga membawa dua saksi ahli dan memboyong 62 barang bukti ke pengadilan. Barang bukti beraneka ragam. Dari sertifikat tanah hingga bukti transfer dana hasil kejahatan.
Dari kesaksian dan setumpuk barang bukti itu, jaksa berkesimpulan bahwa Dicky sadar betul dana yang mengalir ke saku ke Brocolin International berasal dari aksi pembobolan BNI yang dilakukan Adrian dan Maria Pauline Lumowa.
Terdakwa dituduh ikut serta dengan merekayasa laporan keuangan dan dokumen palsu guna mengaburkan asal-usul dana haram itu. Aksi rekayasa itu dilakukan di Hotel Kemang, Jakarta Selatan, Oktober 2003. Dalam rekayasa itu, begitu bunyi dakwaan jaksa, dana hasil kejahatan dimasukkan sebagai penyertaan modal PT Gramarindo di Brocolin International.
Aksi rekayasa itu dilakukan di tengah upaya pemerintah yang sekuat tenaga memberantas segala upaya korupsi. Itu sebabnya, kata jaksa, ”Dicky dituntut hukuman mati.”
Dicky Iskandar Di Nata membantah habis tuduhan itu. Dia mengaku baru mengetahui kasus letter of credit palsu itu setelah media memberitakan kasus ini. Dicky mengaku cuma sebagai karyawan di Brocolin yang digaji bulanan. Sebagai karyawan, kata Dicky, ia tidak berhak menyelidiki sumber keuangan perusahaan.
Menurut Dicky, ia hanya bertanggung jawab atas operasional perusahaan. Sedangkan soal sumber dana, itu urusan pemegang saham yakni Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu. Ia menegaskan bahwa bukan urusan manajemen mempertanggungjawabkan asal-usul modal yang diterima Brocolin.
Tuntutan hukuman mati itu, kata Dicky, amat menyakitkan, apalagi dikaitkan dengan vonis delapan tahun penjara enam belas tahun lalu. Dia mengaku belum mengembalikan dana Rp 800 miliar karena, ”Pengembalian itu mustahil karena jauh di atas kemampuan saya.”
Selasa pekan lalu, saat membaca pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Dicky tak kuasa menahan haru. Suaranya bergetar, ”Saya rela mati di negeri ini. Tapi jika mati karena dituduh mencuri tanpa bukti, arwah orang tua saya tidak tenang di alam barzah.” Pembelaannya tak banyak beda dengan pleidoinya 15 tahun lalu. Persis seperti adegan sinetron ulang tayang.
Wenseslaus Manggut, Angelus Tito, Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo