Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA belas tahun lalu, ia menyedot perhatian orang saat sidang pengadilannya dibuka. Seorang bankir belia, masih 39 tahun, gagah, flamboyan, cucu pahlawan nasional Otto Iskandardinata, diajukan ke pengadilan karena kasus kejahatan perbankan. Jumlah uang yang menguap, mencapai Rp 780 miliar, merupakan rekor tertinggi dalam kasus sejenis saat itu.
Di persidangan, lelaki penyandang gelar MBA itu berakting seperti sedang sakit. Ia duduk selonjor dengan leher dibalut alat penyangga. Ahmad Sidik Mauladi Iskandar Di Nata, atau beken dengan panggilan Dicky Iskandar Di Nata, akhirnya divonis bersalah.
Peristiwa yang menyeret Dicky ini terkuak pada September 1990. Bank Duta, bank swasta nasional yang tampak gagah perkasa itu, mendadak loyo. Rupanya, Dicky yang menjabat Wakil Direktur Utama Bank Duta telah menggunakan dana bank secara tidak sah untuk bermain valuta asing. Akibatnya, Bank Duta mengalami kerugian US$ 419,6 juta (sekitar Rp 780 miliar).
Selain mengelola operasional Bank Duta, Dicky memang bertugas mengawasi urusan treasury (perdagangan valuta asing). Ternyata, selain mengawasi, pria itu ikut-ikutan terjun langsung sebagai dealer. Sialnya, sepanjang 1988 hingga 1990 ia kalah terus. Inilah yang membuat uang bank Duta amblas.
Bank Indonesia lalu turun tangan. Sebuah tim diturunkan dan terungkap ada pembukuan ganda di dalam bank itu. Dalam aktivitas perbankan, praktek semacam ini disebut off balance sheet. Siapa di balik ini semua? Telunjuk pun mengarah ke Dicky.
Dicky pun diajukan ke meja hijau. Ia dijerat dengan UU No. 3/1971 tentang korupsi karena perbuatannya dinilai merugikan keuangan negara. Kasus ini naik sampai ke Kepala Negara karena 72 persen saham Bank Duta dimiliki tiga yayasan yang diketuai Presiden Soeharto, yaitu yayasan Supersemar, Dharmais, dan Dana Abadi Karya Bakti.
Usaha penyelamatan Bank Duta pun dilakukan di tingkat atas. Namun nasib Dicky sudah ditentukan. Bantahan dari pembelanya, bahwa permainan valuta asing Dicky pasti diketahui direksi, tidak bergaung. Jaksa malah menambahkan kegemaran Dicky berjudi, dan kasino di Perth mempengaruhi gaya permainan valasnya yang rada nekat. Dalam dakwaannya, jaksa menyebut Dicky menggunakan dana itu untuk bermain valas di Citibank Jakarta, National Bank of Kuwait Singapore, dan lebih dari tujuh bank lainnya di Singapura.
Dicky berkukuh dirinya tidak bersalah dan ia hanya dijadikan kambing hitam. ”Kakek saya mati untuk negara, ayah saya juga, masak saya disamakan dengan pengkhianat negara?” katanya.
Enam bulan bersidang, pada 1991 ia divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 20 juta. Ia juga diperintahkan membayar uang pengganti kepada negara Rp 811 miliar. Jumlah yang sangat luar biasa.
Kendati divonis 10 tahun, di tingkat kasasi hukuman Dicky turun menjadi 8 tahun. Ia bebas pada 1996. Ia mendapat sejumlah remisi.
Selain mengirimnya ke penjara, kejaksaan juga menyita aset Dicky, antara lain rumah seluas 850 meter persegi di Simpruk, Jakarta Selatan, vila 2.300 meter persegi di Pantai Carita, lima mobil BMW, sebuah jip Mercy, dan sebuah mobil Ford Escape. Selain itu, kejaksaan juga menyita rekeningnya dalam bentuk giro dan deposito yang jumlahnya sekitar Rp 4,5 miliar.
Satu-satunya yang kini belum dibayar Dicky adalah kewajibannya membayar uang pengganti Rp 800 miliar itu. Menurut juru bicara Kejaksaan Agung, I Wayan Pasek Suartha, kewajiban ini sampai kapan pun harus dipenuhinya. ”Bila ia meninggal, kewajiban itu jatuh kepada ahli warisnya. Ini sesuai dengan prinsip Undang-Undang No. 3 Tahun 1971,” kata I Wayan Pasek.
Pernyataan dari kejaksaan ini pernah membuat keluarga Dicky terperangah. Nurkurniati Aisyah Dewi, anak sulung Dicky dari perkawinan pertamanya dengan Rosery Meita, sempat mengirim surat ke beberapa media. ”Itu membuat kami—Dicky punya tiga anak—takut menikah dan mendapat keturunan,” ujar Nia Di Nata, yang saat ini telah tumbuh menjadi sutradara beken.
Hanya 10 tahun Dicky bebas. Kini mantan bankir ini terbelit kasus baru, pembobolan BNI. Masih seputar kejahatan perbankan, kasus yang pernah melemparnya ke penjara dan membuatnya berutang ke negara ratusan miliar rupiah. Ini pula yang membuat jaksa menyebutnya residivis dan menuntutnya hukuman mati, hukuman terberat bagi seorang koruptor. ”Belum selesai, kok sudah melakukan tindak pidana lagi, jelas itu memberatkan dia,” kata I Wayan Pasek kepada Tempo.
Poernomo Gontha Ridho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo