Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPOTONG pipa ledeng. Sebuah wadah bedak bekas. Beberapa ruas pipa pipih alumunium dan seutas kabel komputer. Berikan barang-barang yang biasa bersarang di gudang itu kepada Andi Santoso. Lelaki berparas sedikit tembam yang juga pendekar beladiri itu akan mengubahnya menjadi antena berbentuk duri ikan. Mirip antena TV.
Tapi, jangan salah duga. Ini bukan antena biasa. ”Walau murah, ini bisa mengalirkan Internet cepat, minimal dua kali Internet dial-up (Internet yang memakai telepon rumah),” ujar Andi, Presiden Direktur PT Diginet Wireless Indonesia. Kualitasnya jangan dianggap remeh. Ia setara dengan antena impor.
Perangkat murah adalah bagian dari mimpi lama Andi. Mantan dosen di berbagai perguruan tinggi swasta Jakarta itu sudah lama gemas melihat harga Internet di Indonesia yang selangit. Mei 2004, ia nekat membangun mimpi: menyediakan Internet murah. Ia meninggalkan pekerjaan dosen dan bergabung dengan BigNet, sebuah perusahaan penyedia jasa Internet yang bermarkas di Bintaro, Jakarta. Padahal ia datang tanpa bekal ilmu tentang Linux atau cara mengelola server. Ia sering begadang dan tak jarang harus jadi ”doktor” alias mondok di kantor untuk belajar soal itu.
Agar murah, Internet disalurkan ke pelanggan tak melalui kabel telepon, tapi lewat gelombang radio 2,4 gigahertz, yang biasa disebut akses wi-fi (wireless fidelity). Tanpa kabel telepon berarti tak perlu bayar pulsa. Hasilnya, paket Internet murah meriah: bayar Rp 250 ribu pakai sepuasnya 24 jam sehari. Hanya dalam dua tahun, BigNet sudah punya pelanggan ribuan, tersebar dari Bintaro hingga Cibubur. ”Saya pindah ke wireless karena tagihan Telkom Speedy saya jebol hingga sejuta lebih,” kata Agung, seorang pelanggan BigNet. Telkom Speedy memang menganut sistem biaya per kilobyte. Semakin banyak data diunduh, biaya semakin bengkak.
Andi kini tak lagi di BigNet. Tapi ia masih punya mimpi yang sama: Internet murah. Bahkan ia ingin menggelar jaringan nirkabelnya se-Jabotabek agar bisa murah dan kencang. Untuk kelas rumahan, Andi menjual Internet 24 jam nonstop seharga Rp 200 ribu per bulan. Biaya pendaftarannya Rp 1 juta. Perangkat nirkabel dipinjamkan. Andi memberi janji, kecepatannya minimal dua kali lipat Internet dial-up.
Untuk mewujudkan mimpinya itu, ”Tahun ini targetnya membangun 40 BTS (base transceiver station atau menara pemancar),” ujarnya sungguh-sungguh. Satu pemancar bisa menampung hingga 200 pelanggan dalam radius 2 sampai 3 kilometer.
Salah satu yang menikmati akses murah itu adalah M. Yusuf. Desainer grafis itu menyulap rumahnya di Cibubur, Jakarta, menjadi kantor. Sebagian pekerjaannya bergantung pada Internet, mengecek surat elektronik, mengirimkan contoh desain, sampai mencari bahan. Lelaki berusia 41 tahun itu kini tak puyeng lagi memikirkan tagihan Internet yang dulu mencapai Rp 600 ribu per bulan, termasuk pulsa telepon.
Internet nirkabel itu tak hanya menyelamatkan kantongnya, tapi juga mendatangkan akses yang wuzz..wuzz. Menurut Yusuf, kalau hari kerja, kecepatan akses Internet di rumahnya sering kali mencapai 384 kilobit per detik. Kecepatan itu setara dengan 3 sampai 6 kali Internet dial-up. ”Sekarang saya tak perlu lagi rebutan dengan istri dan anak saya,” kata Yusuf senang. Satu Macintosh, satu komputer, dan satu laptop semuanya kini bisa tersambung ke Internet bersamaan.
Sebelum kehadiran Diginet dan BigNet, sebenarnya akses Internet murah sudah mulai bermunculan di Jakarta. Salah satunya adalah PT Akses Internet Semesta (AIS), yang memulai proyek pada 2001 di perumahan Bona Indah Garden, Bumi Karang Indah, dan Vila Delima. Ketiganya berada di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Kini ada beragam perusahaan yang menawarkan akses nirkabel nonstop dengan biaya terjangkau. BigNet, Diginet, Mnet Wireless, IPNet semuanya berusaha mengepung Jakarta dan menantang status quo, yakni harga mahal dan kecepatan pas-pasan yang diusung para pemain besar seperti Telkom atau Indosat.
”Pasarnya masih terbuka lebar. Biarpun ada 200 pemancar Internet wireless, itu belum cukup untuk melayani seluruh Jakarta,” kata Andi sambil menunjuk pipa-pipa ledeng ukuran semeter yang ia siapkan.
Burhan Sholihin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo