Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Kesaksian untuk Sri Bintang

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan loket imigrasi Bandar Udara Soekarno-Hatta, jantung Soenarto berdegup dua kali lebih kencang. Hendardi, aktivis hak asasi manusia yang menjemputnya di Singapura, tak mampu berbuat banyak. Ia berada pada barisan warga Indonesia, sedangkan Soenarto di barisan orang asing.

Persis di depan petugas, napasnya seperti tercekat. ”Ini orangnya,” kata petugas itu dalam bahasa Jawa. Soenarto diam. Ia dibawa ke kamar khusus. Di sana ia diinterogasi: ditanya ini dan itu. Untung, tak lama. Beberapa saat semuanya beres. Cap imigrasi dibubuhkan di atas dokumen sementara yang dikeluarkan pemerintah Jerman, yang dipegangnya.

Untuk pertama kalinya setelah lebih dari 30 tahun meninggalkan Indonesia, Soenarto, 66 tahun, pulang kampung. Saat itu, Maret 1996, pemerintahan Soeharto belum lagi tumbang. Sebagai eksil di Jerman Timur yang tak lagi memegang paspor Indonesia, kembali ke Indonesia ibarat mengantarkan diri ke kandang singa.

Tak ada jaminan ia tak ditangkap. Tapi Soenarto nekat: ia pulang untuk memberikan kesaksian dalam pengadilan Sri Bintang Pamungkas. Sri Bintang sedang menghadapi persoalan gawat. Ia dituding menghina Presiden Soeharto dalam sebuah diskusi di Berlin, Jerman.

Kata jaksa di pengadilan, Bintang menyebut Soeharto diktator. Tapi, menurut Soenarto, yang hadir dalam diskusi itu, ”Kalimat itu justru muncul dari saya, yang bertanya dalam diskusi.” Tapi semua terlambat. Bintang memang sedang diincar.

Di Jakarta, Soenarto kucing-kucingan dengan intel tentara. Di jalan, bahkan ketika menginap di rumah Bintang, ia diintai. Sesaat dia ragu: mungkin ia tak bakal bisa kembali ke Jerman. Keluarganya sejak awal memang tak setuju ia berangkat.

Tapi teman-temannya sesama eksil membesarkan hatinya. ”Kalo atimu cilik, ya ndak usah mangkat, Mas,” kata Pipit Kartawidjaja, mantan mahasiswa Indonesia di Jerman, yang kini memimpin Watch Indonesia, sebuah LSM hak asasi manusia. Untuk meyakinkan diri, sebelum berangkat Soenarto mengontak Amnesti Internasional. Maksudnya, agar mereka bergerak jika terjadi sesuatu atas dirinya.

Semula, Kedutaan Indonesia di Berlin tak mau memberikan visa. Mereka bilang, visa untuk Soenarto baru diberikan jika ada lampu hijau dari Jakarta. Ketika pengacara Bintang mengontak Departemen Luar Negeri, mereka bilang itu urusan kedutaan. Merasa dipingpong, Soenarto nongkrong di kedutaan. Beruntung, beberapa jam sebelum berangkat, visanya keluar.

Pada hari pengadilan, Soenarto bicara lantang. Di luar banyak orang berdemonstrasi. ”Mereka mengatakan saya pengkhianat dan anjing luar negeri,” kata Soenarto. Sehari setelah kesaksian itu, ia balik ke Jerman. Erna, istri Bintang, mengantarnya hingga Singapura.

Selesai? Belum. Di Jerman, justru persoalan lain muncul. Ketika mengantar anaknya untuk mengurus sebuah surat, di kantor imigrasi ia dihadang petugas. Kata mereka, izin tinggal yang selama ini diberikan pemerintah Jerman tak boleh dipakai untuk masuk Indonesia. Logikanya sederhana: Soenarto mendapat suaka karena terancam di Indonesia. Jadi mestinya ia tak balik ke Tanah Air. Di luar itu, ia bebas pergi ke mana pun.

Izin tinggal itu dicabut. Lalu diganti dengan surat lain yang bahkan tak memberinya izin pergi ke mana pun di luar Jerman. Hingga saat ini Soenarto bak orang hilang—tak punya paspor Jerman, tak pula Indonesia.

Soenarto menyewa pengacara untuk mengurus masalah itu. Katanya, dari imigrasi Indonesia sudah ada lampu hijau: Narto bisa mendapat paspor asal mau memperjuangkannya di pengadilan Tanah Air. Tapi, untuk ke Jakarta ia mesti mendapat surat jalan dari pemerintah Jerman. Nah, imigrasi Jerman mengajukan syarat, Narto harus mendapat pengantar dari Kedutaan Indonesia di Berlin. Sialnya, kedutaan bilang mitra mereka bukan imigrasi, melainkan Departemen Luar Negeri Jerman. Wah!

Belum jelas bagaimana nasib Soenarto selanjutnya. Yang pasti, pengacaranya sudah bikin surat kepada Departemen Luar Negeri di Jakarta. Intinya, mereka minta Departemen Luar Negeri memerintahkan kedutaan agar mengeluarkan paspor sementara, agar Narto bisa ke Jakarta untuk mengurus paspornya. Selebihnya ia hanya bisa menunggu sambil menarik taksi—pekerjaannya sehari-hari di Berlin—atau leyeh-leyeh di apartemennya yang lega di Flotow Straße.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus