Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ralat Soal Mahadi
SEHUBUNGAN dengan berita di majalah Tempo edisi 9-15 Januari 2006 berjudul ”Menunggu ’Gong’ dari Kendari”, halaman 88, dalam berita tersebut tertulis bahwa Mahadi Sinambela adalah Menteri Pemuda dan Olahraga di masa B.J. Habibie.
Perlu kami luruskan bahwa Mahadi Sinambela menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga di masa Presiden KH Abdurrahman Wahid, bukan di masa B.J. Habibie.
A. MAKMUR MAKKA Direktur Komunikasi The Habibie Center
— Mohon maaf dan terima kasih atas koreksinya. — Red.
Klarifikasi PT Newmont Pacific Nusantara
MAJALAH Tempo edisi 46/XXXIV/09-15 Januari 2006, halaman 102-103, rubrik ”Ekonomi dan Bisnis”, menurunkan tulisan Tersandung Proyek Balapan. Dalam artikel tersebut terdapat kutipan wawancara Manajer Komunikasi PT Newmont Indonesia (seharusnya PT Newmont Pacific Nusantara), Nunik Maharani Maulana, yang pernyataannya dimuat tidak utuh sehingga bisa menimbulkan salah interpretasi. Persisnya di paragraf terakhir, yaitu: ”Beberapa perusahaan tambang pun tak sepakat dengan cara penggalangan dana ini. Manajer Komunikasi PT Newmont Indonesia, Nunik Maharani Maulana, menilai, ‘Pejabat minta sumbangan memang sering, tapi biasanya tak membawa nama institusi,’ katanya.”
Perlu dijelaskan latar belakang dan konteks pernyataan tersebut adalah menjawab pertanyaan wartawan Tempo News Room, apakah sering ada permintaan sumbangan dari kalangan pejabat pemerintah. Kami katakan permohonan seperti itu sering dan lazim, tetapi dalam konteks posisi fungsi sosialnya. Misalnya, selain sebagai pejabat pemerintah, dia juga mengemban tugas penyelenggara event nasional, atau memimpin lembaga nirlaba kemasyarakatan, sosial, seni, atau olahraga.
Dalam konteks itu, tidak ada pernyataan apa pun yang berkaitan dengan sepakat atau tidak, sebagaimana yang disimpulkan dalam artikel yang dimuat majalah Tempo.
Apalagi, tidak boleh dilupakan, untuk tanggung jawab nasional tertentu, institusi pemerintah dapat menyarankan, mengimbau, atau mengkoordinasi relasi-relasinya untuk berpartisipasi. Misalnya yang dilakukan oleh hampir semua institusi pemerintah dalam peristiwa seperti tsunami di Aceh atau event nasional lainnya yang menarik perhatian masyarakat luas.
Kami percaya Tempo adalah salah satu media yang memiliki reputasi, integritas, dan standar jurnalistik tinggi dalam menjalankan fungsi sebagai saluran aspirasi dan kontrol publik. Untuk itu, di masa mendatang kami berharap Tempo dapat memuat hasil wawancara dengan menggambarkan latar belakangnya, untuk menghindari timbulnya salah pengertian terhadap pernyataan yang dikutip. Demikian klarifikasi ini kami sampaikan.
NUNIK MAHARANI MAULANA Manager Corporate Communications
Penggunaan Formalin oleh Nelayan
DIBERITAKAN di koran, nelayan terpaksa menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan tangkapannya karena mahalnya es balok sekarang ini akibat kenaikan BBM. Timbul pertanyaan saya, mengapa pemerintah tidak memberi subsidi kepada mereka dengan mengembalikan harga es balok seperti sebelum kenaikan BBM. Subsidi ini memberi efek ganda, pertama membantu nelayan untuk mempertahankan hidupnya, kedua meniadakan penggunaan formalin untuk pengawetan ikan.
Di samping itu, saya harapkan para pakar kimia mengadakan penelitian bagaimana menghilangkan efek negatif dari formalin yang telanjur disiramkan pada ikan. Saya usulkan agar sebelum dimasak ikan yang dicurigai diawetkan dengan formalin itu direndam dalam larutan kalium permanganat sehingga formalin akan terlepas sebagai gas dan dicuci dengan air kapur. Setelah itu diperiksa berapa ppn formalin yang tertinggal.
Menurut pendapat saya, boraks lebih berbahaya dibandingkan dengan formalin. Kalau formalin bereaksi dengan protein atau gandum/aci, boraks dalam mi atau tahu atau bakso secara kimiawi tidak berubah. Di samping menggebu-gebu menyerang formalin, kita harus tetap waspada terhadap boraks.
DRS SUNARTO P. Jl. Patiunus No. 8, Jakarta
Pestisida dan Pewarna Makanan
FORMALIN sedang naik daun. Semua media ramai membahasnya. Pestisida dalam sayuran atau buah-buahan dan pewarna makanan yang tidak kalah berbahaya dibandingkan dengan formalin sama sekali tidak ada yang mengusik.
Saya tidak pernah mengetahui ada gerakan atau tindakan pemerintah ataupun LSM semacam YLKI yang cukup komprehensif untuk melindungi warganya dari bahaya pestisida. Siapa yang peduli atau lembaga mana yang harus mengontrol bahwa pestisida sudah diaplikasikan secara benar atau tidak.
Andaikata seorang petani menyemprot sayuran atau buah dengan pestisida hari ini, kemudian besok atau lusa dia panen, ketika pestisida itu masih tinggi konsentrasinya pada sayuran atau buah, lalu keesokan harinya lagi buah itu sudah ada di dalam lambung kita, siapakah yang peduli dan paling bertanggung jawab bahwa hal semacam ini tidak akan pernah terjadi? Bukankah kita tidak pernah mendengar bahwa ada tindakan pencegahan terhadap hal ini, baik ketika buah atau sayuran itu masih berada di kebun ataupun ketika buah dan sayuran itu sudah berada di pasar atau supermarket.
Pewarna makanan juga begitu. Tidak ada jaminan bahwa pewarna makanan yang digunakan adalah pewarna yang memang untuk makanan, khususnya untuk makanan kecil ”kelas kampung”. Pernah terdengar bahwa pemerintah dan juga YLKI mempermasalahkan, tapi hal itu tidak pernah berujung kepada perlindungan yang memadai kepada masyarakat untuk terhindar dari penggunaan pewarna makanan yang tidak semestinya.
Mohon kepada lembaga terkait untuk juga peduli dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan pestisida dan pewarna makanan yang berbahaya bagi kesehatan.
WIDARTO RACHBINI Depok
Maju Terus KPK
WAJAR bila ada pihak-pihak tertentu yang menafsirkan kiprah KPK memberantas korupsi sebagai order pemerintah membalas lawan-lawan politiknya. Salah satu alasan kewajaran, yaitu yang bersangkutan, individu, atau kolektif, mungkin khilaf membuka lembaran-lembaran karya insan pers menyangkut pemberantasan korupsi oleh bangsa-bangsa lain, di Korea Selatan, misalnya. Jika di negeri ini dianggap terlalu aktual, maka dapat saja lebih mundur ke belakang di medio April 1997.
Aparat penegak hukum Italia tidak tanggung-tanggung, mengusut buruannya ke seluruh penjuru dunia. Uang haram mantan Perdana Menteri Craxi sebesar Rp 150 miliar di Hong Kong termasuk target pelacakan. Nama lengkapnya Bettino Craxi, mantan perdana menteri dan pemimpin Partai Sosialis Italia. Pada saat mencuatnya skandal suap yang mengguncang Italia pada 1993-an, perdana menteri yang sedang berkuasa pada saat itu ialah Giuliano Amato, juga dari partai politik yang sama dengan Craxi. Tiga menteri mengundurkan diri, diduga terlibat dalam skandal yaitu Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, serta Menteri Kehakiman.
Ini bermula dari kasus ”kecil” di kota Milan, 1992-an, tentang penyidikan Kejaksaan Milan atas seorang pejabat Partai Sosialis yang ditangkap gara-gara menerima suap guna memberikan kontrak jasa layanan kebersihan sebuah panti jompo kepada seorang pengusaha. Kejadian yang dianggap gurem ini ternyata dapat mengungkap seluruh budaya suap dan korupsi yang sudah menggerogoti sistem politik Italia selama kurun waktu 40 tahun.
Skandal itu juga ternyata melibatkan pengusaha, politisi, para profesional, pejabat, bahkan para petinggi birokrasi. Mereka di antaranya Wali Kota Milan, Napoli, Turin, Roma. Tragisnya, para wakil rakyat pun di parlemen tidak lolos dari pemeriksaan. Paling sedikit, 23,8 persen (150 anggota) dari sejumlah 630 anggota. Lucunya, sebagian besar dari mereka adalah anggota parpol yang berkuasa.
Akar permasalahannya bersifat klasik, kolusi antara penguasa dan pengusaha. Celakanya, kasus-kasus yang mencuat dan menggemparkan tersebut bukan termasuk lingkup sistem ekonomi, tetapi akibat aplikasi sistem politik (kekuasaan) yang memelihara status quo, yang melahirkan perilaku inkonstitusional selama 40 tahun.
Berdasar kepustakaan yang ada, sistem politik Italia yang korup serta berjaya selama itu, di samping hanya memberi peluang terpilihnya penguasa yang itu-itu juga, disebabkan loyalitas kepada parpol lebih tinggi daripada loyalitas kepada negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi).
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, mandulnya fungsi kontrol rakyat terhadap penguasa, serta kredibilitas moral yang rendah dari para pengemban amanat penderitaan rakyat (eksekutif, legislatif, yudikatif), dapat melahirkan serta menyuburkan aneka skandal, seperti kolusi dan korupsi serta nepotisme, KKN.
Kedua, sudah menjadi hukum alam bahwa generasi muda penerus lingkup ketiga lembaga tersebut dapat menggugat serta mengadili generasi sebelumnya yang ternyata berperilaku menyimpang. Bila dicermati, tampaknya hanyalah masalah waktu saja.
Ketiga, aparat penegak hukum ada di garis yang paling depan selaku pelopor penegak keadilan. Keempat, tidak konsistennya penguasa menegakkan sistem kedaulatan rakyat (demokrasi) dengan benar serta secara profesional, dapat mengarah ke perbuatan tercela. Kelima, sepandai-pandai membungkus, yang busuk berbau juga. Sepandai-pandai menyembunyikan ”uang haram” berwujud deposito, sawah, kebun, gedung (termasuk GOR dan rumah peribadatan), harta yang terwariskan, harta yang terhibahkan serta terkait lainnya, lambat-laun tentu akan terlacak juga.
Tak ada kata-kata bijak bagi KPK serta aparat penegak hukum lainnya selain ”maju terus pantang mundur memberantas KKN”.
SUNGKOWO SOKAWERA Jl. Rancamanyar I No. 17, Bandung
Insiden di Perbatasan Timor Leste
BELUM lama ini kita dikejutkan oleh peristiwa penembakan terhadap tiga warga sipil asal Desa Tohe, Kecamatan Reihat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat lalu oleh Kepolisian Nasional Timor Leste (PNTL) dari Unit Patroli Perbatasan (BPU). Stanis Maubere (48 tahun), Jose Mausorte (38 tahun), dan Candido Mariano (26 tahun) tewas ketika sedang mencari ikan di Sungai Malibaca, wilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste.
Tentang kasus tersebut, banyak yang menilai bahwa penembakan terhadap tiga warga sipil tak bersenjata itu sejatinya merupakan sebuah skenario besar yang tengah dimainkan oleh Menteri Luar Negeri Timor Leste Jose Ramos Horta untuk memancing reaksi dan aksi serangan balik aparat keamanan, khususnya TNI, terhadap negaranya. Hal itu dilakukan guna menarik perhatian dunia internasional terhadap eksistensi mereka. Karena itu, hendaknya aparat keamanan tidak terjebak dalam permainan murahan seperti itu.
Hal tersebut terkait dengan situasi dalam negeri Timor Leste. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa di dalam negeri negara bekas provinsi termuda Indonesia itu masih ada perseteruan politik bagaikan api dalam sekam antara Presiden Xanana Gusmao dan Menlu Ramos Horta, terutama menyangkut pandangan terhadap hubungan persahabatan dengan Indonesia.
Banyak kalangan juga menilai penembakan terhadap tiga warga sipil di Sungai Malibaca itu mencerminkan bahwa kebijakan Xanana Gusmao sebagai Presiden Timor Leste dalam upaya konkret melakukan rekonsiliasi dengan Indonesia, khususnya masyarakat Timor Leste untuk kembali ke kampung halaman, ditolak kelompok Ramos Horta. Kondisi ini cukup logis apabila mengenal latar belakang Ramos Horta, yang sebelum Timor Leste terbentuk menjadi sebuah negara baru lebih berperan sebagai seorang ”propagandais” atau juru bicara Fretilin (Frente Revolucionario Timor Leste Independente).
Di kancah internasional, Ramos Horta menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap Indonesia yang dinilainya melakukan aneksasi atas Timor Leste. Maka, manuver Presiden Xanana melalui upaya konkret rekonsiliasi dengan berkunjung ke Jakarta dan Kupang bagi kelompok Ramos Horta perlu disabotase melalui peristiwa penembakan untuk menurunkan popularitas dan kredibilitas Presiden Xanana di mata Indonesia.
Karena itu, proses penyelesaian atas insiden tersebut tidak hanya dilakukan melalui jalur diplomatik semata, tapi juga melalui jalur hukum. Meski demikian, kadang hal itu tidak menjamin membaiknya hubungan persahabatan antara Indonesia dan Timor Leste.
I MADE ADIYAKSA Jakarta Timur
Banjir Tanggung Jawab Kita
BENCANA banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Indonesia menjadi bukti lemahnya kinerja pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan rendahnya pemahaman pemerintah atas akibat kerusakan hutan. Demikian pendapat dari Indonesian Centre for Environment Law (ICEL) dalam keterangan persnya.
Kajian banjir bandang tersebut, dalam catatan ICEL, antara lain banjir di Nias yang terjadi pada 2001 dan menewaskan 107 orang, banjir di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, pada 2002, yang menewaskan 25 orang, dan banjir Bahorok di Sumatera Utara pada 2003 dengan korban jiwa 157 orang.
ICEL juga menilai, banjir yang terjadi di Kutacane, Aceh Tenggara, pada 2005 dengan korban 15 orang, yang kemudian diikuti oleh banjir di Jember dan tanah longsor di Banjarnegara pada awal 2006, juga merupakan bukti lemahnya kebijakan pemerintah di bidang itu.
Ironisnya, tragedi ekologis yang terjadi tidak jarang dipicu oleh kebijakan pemerintah sendiri, baik yang disebabkan oleh lahirnya kebijakan alih fungsi untuk kepentingan pariwisata maupun kebijakan pembiaran.
Sementara itu, Presiden DPP Partai Keadilan Sejahtera Ir Tifatul Sembiring meminta pemerintah memiliki keberanian untuk menindak tegas mafia illegal logging yang menyebabkan bencana alam akibat hutan gundul, seperti yang terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dalam hal ini, harus ada political will presiden untuk mengikis habis para pelaku illegal logging mulai cukong hingga oknum yang terlibat. Dikatakannya, untuk bisa menyelesaikan masalah itu, pemerintah hendaknya tidak hanya menerima laporan asal bapak senang (ABS).
Apa yang dikatakan ICEL dan Pak Tifatul Sembiring ada benarnya, tapi persoalan di atas merupakan tanggung jawab kita semua untuk mengatasinya. Sebab, menimpakan semua masalah kepada pemerintah tidak akan menyelesaikan masalah.
NOVITA ARDITA Pemerhati Lingkungan Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Pemkot ’Menjual’ Bandung Utara
Pemerintah Kota Bandung (Pemkot) saat ini ingin mengubah peruntukan Kawasan Bandung Utara (KBU) dari daerah konservasi tertutup menjadi daerah yang boleh dibangun. Hal ini berkaitan dengan rencana pengembang PT Dam Utama Sakti Prima (PT DUSP) yang hendak membangun sarana bisnis, rekreasi dan perumahan di kawasan Punclut dan sekitarnya. Oleh karena itu Pemkot Bandung berinisiatif merevisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) No. 2/2004 yang membatasi pembangunan fisik di KBU.
Inilah model perselingkuhan klasik antara pengusaha dan penguasa. Antara pengusaha yang haus keuntungan dan aparat Pemkot yang juga haus uang.
Begitu hebatnya kekuatan pemodal hanya dalam tempo satu tahun Wali Kota Bandung ingin mengubah peraturan yang notabenenya ia buat sendiri. Tindakan yang menurut saya sangat keterlaluan dan memposisikan bahwa Pemkot Bandung adalah cuma pelayan pengusaha.
Perda No. 2/2004 sudah jelas mengamanatkan pentingnya menjaga kelestarian kawasan Bandung Utara. Daerah yang semestinya dihijaukan agar menjadi paru-paru kota sekaligus penyimpan cadangan air bagi kota Bandung tidak selayaknya ’dijual’ kepada pengusaha yang hanya mementingkan keuntungan sendiri.
Apakah Wali Kota Bandung Dada Rosada tidak terbuka mata dan hatinya melihat banjir yang selalu menggenangi kota Bandung disaat musim hujan seperti ini? Apakah perlu sebuah banjir bandang atau bencana longsor dahsyat seperti di Jember dan Banjarnegara agar aparat pemerintah kota Bandung sadar lingkungan?
Jika bepihak pada kepentingan masyarakat banyak sudah seharusnya Gubernur Jawa Barat menolak revisi itu.
ARIFIN P. SENTANA Ciumbeuleuit, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo