Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Menembus Awan Kumulonimbus

Pesawat Sukhoi Superjet menabrak lereng Gunung Salak. Hilang kendali di jalur curam. Beberapa komponen darurat pesawat supercanggih ini tak berfungsi.

14 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI langit Jakarta, pilot Aleksandr Yablontsev meminta izin kepada menara kontrol udara Pangkalan Halim Perdanakusuma untuk menaikkan pesawatnya hingga 10 ribu kaki. Petugas mengizinkan setelah mendapat persetujuan dari menara kendali Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Pilot Rusia 57 tahun ini pun menambah ketinggian Sukhoi Superjet 100 itu menembus awan. Ini kontak Yablontsev kedua, setelah ia melaporkan pesawatnya hendak lepas landas dari Halim pukul 14.21, Rabu pekan lalu. "Kami izinkan menambah ketinggian karena wilayah udara itu aman," kata Mulya Budi, Deputi Senior General Manager Air Traffic Control Soekarno-Hatta.

Tak ada yang aneh dengan pesawat komersial pertama Sukhoi produksi 2007 yang mampu terbang 12.500 kaki dengan daya jelajah 4.500 kilometer itu. Tiga jam sebelumnya, Yablontsev bersama kopilot Aleksandr Kochetkov sukses membawa beberapa tamunya dari maskapai penerbangan Indonesia yang berminat membeli pesawat itu mengelilingi langit Bogor selama setengah jam.

Pesawat yang mendapat lisensi dari European Aviation Safety Agency pada Februari lalu itu kembali ke Halim dalam kondisi sehat walafiat. "Saya tak melihat kelainan sedikit pun di pesawat itu," kata Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara, yang diminta mengecek kondisi pesawat sebelum terbang.

Sukhoi sedang berkeliling ke enam negara untuk mempromosikan pesawat seharga Rp 350 miliar per unit itu. Indonesia negara keempat yang dikunjungi, setelah Kazakstan, Pakistan, dan Myanmar. Kartika Airlines dan Sky Aviation sudah memesan 10 dan 12 unit pesawat berkapasitas 98 kursi ini. Setelah ke Indonesia, sedianya Superjet akan terbang ke Laos dan Vietnam.

Pada penerbangan kedua Rabu siang di Halim itu, Yablontsev membawa 37 penumpang plus tujuh kru. Lima penumpang di antaranya wartawan dan sisanya para direktur perusahaan penerbangan Jakarta. Para pramugari bersukacita, penumpang tersenyum gembira sebelum lepas landas, seperti terlihat dari foto-foto yang diunggah Sergey Dolya, fotografer yang dibawa Sukhoi, ke dalam blognya.

Menurut Mulya Budi, permintaan Yablontsev menambah ketinggian juga terekam di pos kendali udara Pangkalan Atang Sendjaja di Bogor. Penerbangan demonstrasi ini menempuh jalur Atang Sendjaja-Gunung Salak-Pelabuhan Ratu, di pantai selatan Sukabumi.

Daerah Atang Sendjaja merupakan wilayah aman yang disebut training area. Area ini memanjang sejauh 20 nautical mile atau 37 kilometer ke selatan dari Pangkalan Halim. Karena itulah, menurut Chappy Hakim, Atang Sendjaja dan Pangkalan Pela­buhan Ratu kerap dijadikan ajang demo promosi pesawat atau joy flight. "Di wilayah lain traffic-nya padat," kata dia.

Di training area ini, pesawat bisa bermanuver karena jarak amannya 0-6.000 kaki atau 1,8 kilometer dari permukaan laut. "Kalau dia terbang 10 ribu kaki, berarti sangat aman," ujar Mulya Budi. Meski begitu, pilot tak diizinkan bermanuver secara ekstrem layaknya penerbangan uji coba–test flight atau demo flight—yang biasanya tak mengangkut penumpang sipil dan dilakukan dalam pameran kedirgantaraan.

Dua puluh satu menit setelah pesawatnya lepas landas, Yablontsev kembali memberi kabar bahwa ia akan menurunkan pesawatnya hingga 6.000 kaki. Posisi pesawat mendekati puncak Gunung Salak. Namun, karena pesawat diduga masih berada di training area, petugas pengatur lalu lintas udara Cengkareng kembali mengizinkan permintaan itu.

Jarak titik terluar training area dengan puncak Gunung Salak sekitar 14 kilometer. Yablontsev masih terdengar bercakap beberapa detik setelah itu. Ia mengabarkan akan berbelok ke kanan tanpa menyebutkan alasannya. "Setelah itu, kami hilang kontak," kata Mulya Budi.

Baik Yablontsev maupun Kochetkov tak menyahut ketika petugas pengatur lalu lintas udara terus memanggilnya selama 20 menit. Superjet ini resmi dinyatakan hilang empat jam setelah itu. Waktu ini merupakan titik akhir persediaan bahan bakar dalam tangki pesawat, seperti dilaporkan Yablontsev ke menara pengawas sebelum terbang.

l l l

SUKHOI Superjet 100 itu ditemukan hancur berkeping di Kawah Ratu di Puncak Salak III, Jumat siang pekan lalu. Puing dan bekas benturan berceceran di tebing pada ketinggian 2.090 meter dari permukaan laut atau 6.856 kaki, persis saat Yablontsev mengabarkan akan turun dari 10 ribu kaki.

Tim gabungan evakuasi kesulitan mencapai reruntuhan pesawat karena puing dan jenazah korban terlempar ke jurang sedalam 400 meter. Helikopter tak bisa dipakai mengevakuasi karena terhalang pepohonan dan angin. Evakuasi baru berjalan pada Jumat malam.

Selain jalur evakuasi yang curam, kabut yang tebal mempersulit tim mencapai lokasi jatuhnya Superjet. Di musim hujan seperti hari-hari ini, cuaca kawasan Gunung Salak cepat berubah. Saat pesawat itu terbang mendekati puncak gunung, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melaporkan kawasan Bogor diguyur hujan.

Pucuk Salak, yang terlihat biru pada hari cerah, siang itu tak terlihat sama sekali dari pusat kota. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional bahkan melaporkan awan menutup total puncak gunung. "Pukul 14.33 itu cuaca di sana sangat buruk," kata juru bicara lembaga itu, Elly Kuntjahyowati.

Pada Rabu siang itu, di atas gunung terbentang awan kumulonimbus sepanjang lima kilometer dan setinggi delapan kilometer. Awan supertebal yang menandai bakal turun hujan dan petir ini melayang 6.000 kaki di atas permukaan laut.

Kondisi cuaca inilah yang membedakan penerbangan pertama Superjet dengan penerbangan berikutnya. Selain menambah jarak tempuh, pada penerbangan siang cuaca terlalu ekstrem. "Pada penerbangan pertama tak ada manuver dan cuaca cerah," kata Sunaryo, konsultan PT Trimarga Rekatama, perusahaan rekanan Sukhoi di Indonesia.

Pada penerbangan kedua, seperti terlihat dalam peta jalur yang dianalisis tim penyelamat beberapa jam setelah pesawat dinyatakan hilang, Superjet ini sempat memutar satu kali sebelum menubruk dinding dan hilang kontak. Arah pesawat menuju selatan ke arah Pelabuhan Ratu, Sukabumi.

Yablontsev diduga menurunkan pesawat untuk menghindari awan tebal itu. Ia masuk ke bawah awan, lalu naik menghindari tebing. Nahas. Pesawat tak terkendali dan menumbuk tebing yang menganga di depannya. Dar! Superjet menghantamnya tanpa sempat berbelok.

Mulya Budi menolak membeberkan detail percakapan Yablontsev ataupun kopilotnya dengan menara pengatur lalu lintas udara di Cengkareng. Percakapan itu penting karena Gunung Salak berada di luar training area, yang mengharuskan pilot melaporkan apa pun tindakannya di langit.

Seperti umumnya penerbangan promosi, penerbangan siang itu seharusnya dibuat senyaman mungkin bagi para calon pembeli yang menumpang. Karena itu, agar pesawat tetap terkendali ketika bermanuver untuk menunjukkan kehebatannya, pilot akan menerbangkannya hanya di wilayah yang aman. "Namanya juga joy flight, penerbangan gembira," kata I Gusti Ketut Susila, Presiden Indonesia Air Traffic Controllers Association.

Petugas lalu lintas udara Cengkareng tak mengabarkan ada kumulonimbus karena radar di menara kendali itu bukan pemantau cuaca. Karena itu, kondisi lapangan, kata Susila, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pilot. "Petugas akan memperingatkan ada halangan, berikutnya perlu dihindari atau bisa dilalui setelah mendapat laporan pilot," ujarnya.

Sunaryo memastikan pengecekan peta dan kontur jalur sudah dilakukan pilot sebelum terbang. Ketinggian Gunung Salak dan peringatan cuaca buruk sudah dihitung Yablontsev saat masih di Halim. Dengan bobot terbang 45 ton, pesawat ini didesain masih bisa dikendalikan dalam cuaca buruk.

Menurut Chappy Hakim, pilihan lazim para pilot jika menghadapi dinding awan tebal adalah menghindar dengan naik ke atasnya. "Kenapa dia turun, jawabannya terekam di kotak hitam," kata Chappy, yang punya pengalaman 8.000 jam terbang. Analisis kotak hitam memakan waktu bulanan, bahkan tahunan.

Soal Yablontsev yang baru pertama kali menyetir pesawat di atas kontur Indonesia yang bergunung, kata Chappy, juga bukan alasan pilot senior yang terlibat membangun Superjet sejak awal itu buta medan. Sepanjang kariernya, Yablontsev sudah menerbangkan 221 jenis pesawat dengan 14 ribu jam terbang.

Dalam prosedur standar penerbangan, setiap pilot harus melaporkan dan memeriksa rute serta peta kontur jalur yang akan dilaluinya sebelum lepas landas. Ditambah paduan alat supercanggih yang mendeteksi keadaan bahaya, tak jadi masalah pilot baru menerbangkan pesawat di suatu area.

Setiap pesawat dilengkapi dengan ground proximity warning system. Alat ini, kata ahli pesawat dari PT Dirgantara Indonesia, Budi Wuraskito, akan memberi tahu pilot jika ada benda yang bakal tertabrak. "Daya jangkau alat ini jika berfungsi bisa puluhan kilometer," ujarnya. Karena itu, jadi tanda tanya besar mengapa Yablontsev tak segera menghindari awan tebal tersebut sejak masih jauh.

Pilihan menghindar ke bawah awan juga dinilai para pilot tak lazim. Menurut Stephanus Gerardus, Ketua Asosiasi Pilot Garuda Indonesia, meski turun bisa dipilih, umumnya pilot di seluruh dunia menghindari awan dengan terbang ke atasnya.

Dugaan kerusakan komponen Sukhoi merupakan perkiraan berikutnya sebagai penyebab pesawat tak bisa menghindari tebing. Tak adanya keterangan titik koordinat jatuhnya pesawat menunjukkan pengirim sinyal darurat yang bisa ditangkap menara kontrol terdekat atau pesawat yang melintas di sekitar Salak tak berfungsi.

Nama alatnya emergency locator transmitter. Alat ini hidup otomatis ketika mesin pesawat mulai dinyalakan. Jika terjadi benturan, ELT akan mengirimkan sinyal, memberitahukan koordinat posisinya, demi memudahkan pencarian. Faktanya, tim SAR tersaruk-saruk menemukan lokasi kecelakaan, bahkan sempat salah menduga lokasi.

Rusaknya ELT diakui Sunaryo. Menurut dia, menara kontrol di Cengkareng, Malaysia, Singapura, atau Australia sama sekali tak menangkap sinyal darurat itu.

Padahal, saat pesawat Adam Air jatuh ke Perairan Majene, Sulawesi, lima tahun lalu, Air Traffic Control Singapura menangkap sinyal daruratnya. Bahkan pesawat Garuda yang terbang di belakangnya menangkap sinyal itu dan memberi tahu menara kontrol Cengkareng bahwa Adam Air hilang di perairan itu. "Orang Rusia juga bingung ELT Sukhoi bisa tak berfungsi," kata Sunaryo.

Untuk sementara, Sunaryo dan tim investigasi dari Rusia menduga rusaknya sinyal ELT itu karena kerasnya benturan pesawat dengan kecepatan 400 kilometer per jam saat menumbuk tebing. "Tak ada dugaan selain itu," ujarnya.

Sejatinya Sukhoi ini akan terbang tiga kali dalam sehari itu. Penerbangan ketiga akan dilakukan Rabu malam untuk menunjukkan kemampuannya terbang di jalur gelap.

Bagja Hidayat, Pramono, Ayu Cipta, Angga Sukma, Rina Widiastuti, Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus