Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhmad Sahal*
Ketika menjabat khalifah, Umar bin Khattab suatu kali berjalan-jalan menyusuri Madinah. Begitu sampai di salah satu sudut kota, Khalifah Umar mendapati sebuah rumah yang beliau curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang Khalifah ingin memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat. Beliau pun memaksa masuk melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang asyik bermaksiat di rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikannya, dan hendak menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia mengaku memang telah berbuat dosa. Tapi, menurut dia, dosanya cuma satu. Sedangkan perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar tiga perintah Allah sekaligus. Pertama, mematai-matai (tajassus), yang jelas dilarang dalam Al-Quran (Q 49 : 12); masuk rumah orang lain tidak melalui pintu seperti yang diserukan Quran (Q 2 : 189); dan tanpa mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya (Q 24 : 27). Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari cerita yang dikutip Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din (II : 320) tersebut? Umar, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara saat itu, mestinya punya otoritas sah untuk mencegah kemunkaran yang dilakukan rakyatnya. Namun, berhubung cara nahi munkar beliau terbukti melanggar aturan Tuhan, pelaku maksiat tersebut akhirnya lolos. Moral story: mencegah kemunkaran haruslah dijalankan dengan cara yang tidak munkar.
Kisah di atas relevan sekali untuk bahan rujukan manakala kita berbicara tentang Front Pembela Islam, yang kerap menempuh jalan kekerasan dalam aksi-aksinya. Dalam berbagai kesempatan, Rizieq Shihab, pemimpin FPI, membenarkan vigilantisme kelompoknya dengan dalih bahwa negara dan aparat penegak hukum dianggap gagal atau lembek dalam memberantas kemaksiatan. Akibatnya, kemaksiatan semakin merajalela. Karena itulah ia dan organisasinya merasa sah untuk turun tangan.
Begitulah, dengan alasan menjalankan misi nahi munkar, ormas Islam radikal ini merazia dan merusak kafe, hotel, dan kantong kebudayaan yang mereka tengarai menjadi tempat kemaksiatan. Dengan alasan yang sama, mereka juga menyerang kelompok keagamaan yang mereka tuduh sesat dan kafir. Yang terakhir terjadi adalah penggerudukan FPI ke Salihara untuk membubarkan diskusi pemikiran Irshad Manji, yang mereka tuduh menghalalkan lesbianisme.
Di mata FPI, tindak kekerasan mereka justru islami karena didasarkan pada hadis Nabi yang cukup populer tentang nahi munkar: "Sesiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dalam hati. Yang terakhir itulah selemah-lemahnya iman." Bagi FPI, jalan kekerasan merupakan manifestasi dari pengamalan perintah Nabi untuk "mengubah kemunkaran dengan tangan (falyughayyirhu biyadih)," yang mencerminkan keimanan yang paling kuat dan tegas. Maka tidak mengherankan kalau dukungan terhadap FPI juga muncul dari sejumlah kalangan Islam di luar FPI, dari ustad sampai orang awam.
Tapi seberapa jauh alasan FPI bisa diterima dari sudut pandang Islam? Apakah kemunkaran niscaya identik dengan kemaksiatan seperti digambarkan FPI? Apakah cara main hakim sendiri dengan dalih nahi munkar bisa dibenarkan? Dan, di atas semua itu, apakah klaim FPI sebagai agen penegak nahi munkar bisa dibenarkan dari perspektif doktrin dan sejarah Islam?
FPI mengartikan kemunkaran identik dengan kemaksiatan. Tapi benarkah demikian? Dari kisah Umar bin Khattab di awal tulisan, kita bisa menyimpulkan bahwa kalau ada orang bermaksiat di rumah sendiri secara tertutup dan tersembunyi dari mata publik, perbuatannya sama sekali bukan menjadi urusan publik. Negara, masyarakat, ataupun individu lain tak punya hak mengintervensi rumah seseorang. Bahkan memata-matai, mengintai, atau menelisiknya saja tak dibenarkan. Dengan kata lain, kemaksiatan yang tidak kelihatan oleh tatapan publik tetaplah kemaksiatan, tapi tak bisa diinvasi orang lain dengan dalih nahi munkar. Apa yang terjadi di dalam ruang privat yang tertutup sepenuhnya menjadi urusan si pelaku dengan Tuhan. Kalaupun ia bermaksiat, ia sendiri yang menanggung dosanya.
Hal itu karena apa yang disebut munkar bertaut erat dengan kepublikan. Di sini saya sepakat dengan pendapat Dr Moch. Nur Ichwan dalam artikelnya tentang amar ma'ruf dan nahi munkar yang dimuat dalam Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy'arie (2011). Di situ dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memaknai amar ma'ruf dan nahi munkar sebagai etika sosial atau etika publik. Ia menjelaskan, term ma'ruf dan munkar sebenarnya sudah ada sebelum Islam, dan erat kaitannya dengan urf (adat kebiasaan yang baik) yang terbentuk berdasarkan kearifan budaya setempat (local wisdom). Ketika diserap oleh Islam, kedua term tersebut mengalami transformasi menjadi etika islami yang spiritnya dibimbing oleh wahyu, dan pada saat yang sama mengacu pada kebaikan dan keburukan yang diketahui melalui akal sehat dan kearifan kemanusiaan pada suatu masa dan waktu tertentu.
Singkatnya, amar ma'ruf nahi munkar dalam pandangan Nur Ichwan berporos pada perjuangan nilai-nilai bersama demi kemaslahatan bersama, sedangkan nahi munkar adalah eliminasi dosa-dosa sosial yang mengancam kemaslahatan publik. Dimensi kemaslahatan publik inilah yang dalam kenyataannya diabaikan oleh FPI dalam aksi-aksinya memberantas kemunkaran.
Seberapa jauh ormas partikelir seperti FPI punya lisensi untuk mengangkat diri sendiri sebagai eksekutor nahi munkar? Hadis yang saya kutip di atas memang memberi kesan bahwa mengubah kemunkaran adalah kewajiban setiap muslim. Dari sinilah barangkali FPI merasa bahwa kekerasan adalah bagian dari upaya menjalankan misi mengubah kemunkaran "dengan tangan".
Tapi masalahnya, kalau setiap orang merasa punya wewenang untuk mengubah kemunkaran "dengan tangan", yang kemudian terjadi adalah menjamurnya ormas Islam, semua dengan bendera nahi munkar, tapi masing-masing punya agendanya sendiri, dengan disokong laskarnya sendiri. Situasi seperti ini pada gilirannya bisa mengancam ketertiban umum dan memicu kekacauan politik dan anarki dalam masyarakat, suatu situasi yang justru dianggap momok paling mengerikan sepanjang sejarah politik masyarakat muslim. Kita ingat ungkapan terkenal Al-Mawardi, pemikir politik Islam klasik: "seribu tahun di bawah tirani lebih baik daripada sehari dalam anarki".
Atas dasar itulah penegakan nahi munkar sepanjang sejarah dinasti-dinasti Islam tak dipercayakan kepada orang per orang atau kelompok swasta, melainkan menjadi wilayah kekuasaan negara. Dengan kata lain, lembaga nahi munkar adalah lembaga publik. Asumsinya, karena amar ma'ruf nahi munkar berporos pada kemaslahatan publik, aneh kalau penanganannya diserahkan kepada pihak swasta. Lembaga publik ini lazim dikenal wilayatul hisbah.
Di sini saya perlu buru-buru menambahkan bahwa saya bukannya menyetujui keberadaan wilayatul hisbah dihidupkan lagi. Saya berpendapat bahwa pembentukan wilayatul hisbah sebagai polisi syariah seperti yang terjadi di Aceh adalah sebentuk salah kaprah dalam penerapan syariah. Perlu diketahui, wilayatul hisbah bukanlah institusi yang secara otentik lahir dari rahim Islam. Lembaga tersebut baru terbentuk pada masa Dinasti Abbasiyah, sebagai hasil dari adopsi lembaga pengontrol pasar yang sudah berkembang lebih dulu di Yunani Kuno, yang bernama agoranomos. Dan memang wilayatul hisbah pada awalnya bukanlah polisi syariah dalam artinya yang kita kenal sekarang. Tugas utamanya pada mulanya lebih untuk mengontrol pasar agar transaksi ekonomi di situ berlangsung fair dan adil. Tapi lama-lama tugas lembaga ini meluas, mencakup kontrol atas perilaku dan moralitas di tempat publik. Pada masa dinasti-dinasti Islam, keberadaan wilayatul hisbah sebagai agen nahi munkar boleh jadi merefleksikan aspirasi publiknya, yang memang homogen. Tapi, untuk diterapkan dalam konteks saat ini, wilayatul hisbah malah mencederai aspirasi publiknya, yang cenderung heterogen.
Tapi, lepas dari itu, poin yang hendak saya tekankan adalah bahwa lembaga nahi munkar adalah lembaga publik yang dibentuk dan diresmikan oleh negara. Ini berarti, pengertian mengubah "dengan tangan" mestinya diartikan sebagai "kekuasaan". Dengan demikian, klaim FPI sebagai lembaga nahi munkar sebenarnya tidak punya dasar yang kukuh ditinjau dari perspektif sejarah Islam.
Hal lain yang juga bermasalah pada FPI adalah kecenderungannya untuk selalu menghalalkan kekerasan dalam aksi mereka. Ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, tindakan semacam itu sama sekali tak bisa dibenarkan. Dalam al-qawa'id al-fiqhiyah (legal maxims), terdapat kaidah yang menyatakan: al-dlararu yuzalu (kemudaratan mesti dihilangkan). Tapi ada juga kaidah lain yang berbunyi: al-dlarar la yuzal bi al-darar (kemudaratan tak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang lain). Dan, patut diingat, dua kaidah tersebut mesti dipahami sebagai satu kesatuan.
Dengan bersandar pada dalil di atas, kita bisa mengatakan bahwa kemunkaran mesti dihilangkan karena kemunkaran adalah bagian dari kemudaratan. Tapi, pada saat yang sama, kemunkaran tak boleh dihilangkan dengan kemunkaran yang lain. Artinya bisa bercabang dua: kemunkaran tak bisa dihilangkan dengan cara yang munkar dan kemunkaran tak bisa dihilangkan dengan cara yang justru melahirkan kemunkaran baru.
Dengan menghalalkan kekerasan, FPI sejatinya mengidap dua jenis kemunkaran sekaligus: memakai cara yang munkar, yakni kekerasan dan main hakim sendiri; yang kedua: memunculkan kemunkaran baru, yang bisa jadi lebih parah (keresahan dan anarki sosial). Jadi, kalau kita punya komitmen serius untuk menegakkan nahi munkar di negeri ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memangkas kemunkaran FPI.
*Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo