Sebuah emper toko di sebuah gang kecil di Legian, Bali. Jam menunjukkan hampir pukul 12 malam. Di antara puing, pecahan kaca, dan kayu-kayu yang patah, sekumpulan wisatawan asing duduk di sisi kiri dan kanan lorong itu. Di tengahnya dipasang ratusan batang lilin yang menyala. Tak jauh dari situ beberapa karangan bunga yang berbaris di depan toko-toko yang rusak mulai layu, meski masih menyisakan harum. Beberapa pasang turis berpelukan. Ada yang saling menyandarkan kepala. Ada yang bermain gitar menyanyikan lagu-lagu sedih. Ketika angin datang, bau dupa yang dibakar para pendoa Hindu tercium dan segera bercampur dengan aroma hangus, sisa anyir, dan wangi aneka bunga itu.
Rasa getir, pilu, kepedihan, dan isak tangis terdengar lamat-lamat. Sepekan setelah tragedi bom Bali, Legian menjadi kawasan yang murung. Orang-orang berkumpul: duduk atau berdiri, diam atau berdoa. Umumnya tak ada yang bersuara keras. Penduduk sekitar dan para pendatang berkerumun di pinggir pita kuning polisi yang menandakan larangan melintas. Karyawan toko di sepanjang Legian nongkrong di depan kios mereka yang tutup. Di kanan dan kiri jalan tak jauh dari lokasi ledakan, berjejer belasan pohon yang mati dan kehilangan daun-daun.
Bom itu menggelegar Sabtu malam waktu setempat, 12 Oktober lalu, di depan Sari Club, sebuah pub paling padat di kawasan Kuta. ”Terjadi begitu saja. Meledak, lalu gelap dan asap di mana-mana,” kata Mansyur, seorang penjaga keamanan di Paddy’s, pub lain di depan Sari Club yang juga terbakar. Mohammad Ali, satpam di sebuah toko kerajinan perak di Legian, melihat api bergerak menyamping berwarna merah kebiruan.
Korban berjatuhan. Tenaga medis di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, hingga akhir pekan lalu menghitung ada 184 orang yang tewas dan 328 orang yang terluka. Jumlah korban bisa lebih besar lagi. Hotel-hotel di seputar Kuta mencatat: masih ada lebih dari 100 orang yang belum kembali. Apalagi Legian kawasan ramai, sesak, dan padat akan turis. Di sini tiada hari tanpa malam panjang. ”Malam itu setidaknya ada 400 orang di Sari Club,” kata Ni Putu Ayu Sila Prihana Dewi, kasir yang selamat dari ledakan. Tukang ojek, pengemis bocah, dan perempuan panggilan sering pula berkeliaran. Diduga, korban-korban di luar Sari Club inilah yang jenazahnya remuk sehingga tak bisa ditemukan lagi.
Sari Club rata dengan tanah. Besi penyangga papan reklame di depan klub beken itu melejit ke angkasa karena semburan api. Di sekelilingnya, bangunan porak-poranda: terbakar, runtuh, atau pecah kaca-kacanya. Di luar radius 100 meter, plafon rumah-rumah penduduk jatuh dan atap mereka terkelupas. Polisi mencatat akibat tragedi itu 53 bangunan musnah, 18 mobil hancur, dan 9 motor jadi bangkai. ”Rumah ini baru saja saya bangun enam tahun lalu, sekarang hancur begini,” kata Nyoman. Perempuan setengah baya ini hari itu sibuk membantu suaminya menurunkan genting yang pecah. Sehari-hari Nyoman mencari nafkah dengan membuka toko suvenir di Jalan Legian.
Ledakan yang menyebarkan panas itu memang mengerikan. Di pojok halaman Sari Club, sesosok mayat yang telah menghitam ditemukan lengket ke pagar besi. Tim relawan susah payah mengangkat mayat itu dengan menggunakan tongkat pengungkit. Ketika tubuh itu akhirnya bisa dilepaskan, engsel tumitnya terlepas. Di dekat mata kaki, masih terlihat urat berwarna biru kehitaman. Beberapa saksi mata bercerita, di jok depan mobil boks es krim Haagen Dasz yang turut terbakar ditemukan mayat lelaki dalam posisi masih memegang kemudi. Tubuhnya jadi arang dan kepalanya terlepas entah di mana.
Ini memang tragedi paling dramatis setelah teror 11 September yang meluluh-lantakkan menara World Trade Center di Kota New York, Amerika Serikat, tahun lalu. Hingga hari keempat, relawan masih menemukan potongan tubuh korban yang tercecer di sana-sini. ”Coba ambil yang di atas itu,” kata Haji Agus Bambang Priyanto, seorang tokoh muslim Kuta yang ikut memimpin tim relawan. Seorang pemuda memanjat pohon kelapa tak jauh dari Paddy’s. Di tangkai nyiur itu ia menemukan sepotong usus manusia yang telah menghitam.
Pola ledakan terjadi secara beruntun. Ledakan pertama menghancurkan Paddy’s. Dua menit kemudian, pukul 23.17, Sari Club jadi sasaran berikutnya. Tak sampai seperempat jam kemudian, sebuah bom mencabik trotoar di jalanan kosong di kawasan Renon, yang hanya berjarak 50 meter dari kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat. Tak ada korban jiwa dan kerusakan berarti di daerah yang juga berdekatan dengan gedung Konsulat Jenderal Australia ini. Sedangkan jarak Kuta-Renon sekitar 11 kilometer. Nun jauh di seberang sana, dua jam sebelumnya, sebuah bom juga dipasang lalu meledak di dekat Konsulat Jenderal Filipina di Manado, Sulawesi Utara. Juga tak ada korban.
Ledakan Kuta itulah yang mahadahsyat. Yang terluka juga tak kalah memilukan. John Duka, 24 tahun, bekas petinju yang kemudian menjadi satpam Paddy’s, terbaring di Rumah Sakit Sanglah. Kakinya patah dan kemaluannya robek diterjang pecahan kaca. Seketika Kuta dan kawasan Bali lainnya menjadi kota mati—kecuali hiruk-pikuk kedatangan pejabat Jakarta atau wartawan yang meliput tragedi terbesar dalam sejarah pengeboman di Indonesia itu. Turis berbondong-bondong menuju Bandar Udara Ngurah Rai meninggalkan Bali. Para pedagang dan sopir taksi gigit jari. ”Bayangkan, sudah tujuh jam saya berputar-putar baru mendapat 5.000 perak,” kata Wayan, sopir taksi di kawasan Benoa, Bali.
Polisi belum menemukan petunjuk siapa pelaku pengeboman ini. Mereka memang telah menggelar operasi besar yang diberi nama ”Operasi Bali Tegar Agung” dengan target operasional 30 hari. Total personel Polri yang dikerahkan mencapai 5.515 orang. Angka ini belum termasuk kekuatan intelijen asing yang membantu kerja tim. Saat ini Indonesia dibantu 11 orang agen Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika, 26 orang polisi Australia, 2 orang dari Jerman, 2 dari Scotland Yard, dan beberapa lainnya dari Jepang, Swiss, Swedia, dan Finlandia.
Dalam operasi itu polisi telah memeriksa 60 saksi—15 di antaranya diperiksa serius dan dibuatkan berita acara pemeriksaan. Aparat juga telah meneliti sejumlah barang bukti.
Salah satu bukti penting adalah sebuah sepeda motor yang ditemukan sekitar 300 meter dari pusat ledakan dalam keadaan utuh (lihat infografik). Polisi menduga motor ini dipakai oleh salah seorang pelaku karena di sana ditemukan residu bahan peledak. Menurut sumber TEMPO di kepolisian, ada saksi yang melihat motor itu ditinggalkan pengendara yang berboncengan. ”Mereka tergopoh-gopoh dan tangannya bersimbah darah,” kata sumber itu. Segera setelah memarkir motor tak lama setelah ledakan, mereka menghilang. Saat ini polisi sedang membuat sketsa wajah mereka.
Ada analisis soal gerakan motor ini. Menurut seorang perwira menengah di Kepolisian Bali, motor itu digunakan pelaku untuk mengawasi situasi. Sementara itu, pengeboman berdarah itu sendiri dilakukan sejumlah orang dengan menggunakan dua mobil. Mobil pertama, yang berada di depan, berfungsi sebagai tim penyelamat penumpang mobil kedua, yang sengaja diledakkan. Dugaan sementara, pelaku berjumlah lebih dari lima orang.
Skenarionya begini: mobil kedua sengaja berhenti untuk memungkinkan mobil pertama melaju di Jalan Legian yang macet. Bunyi klakson mobil-mobil yang terhalang di barisan belakang tak dihiraukan. Ketika jarak kedua mobil sudah cukup aman, penumpang mobil kedua pindah ke mobil pertama. Saat itulah, beberapa detik kemudian…, blaaar! Bom meledak. Karena presisi waktu yang akurat, kuat dugaan pelaku menggunakan remote control. Cuma, tak satu pun kerangka mobil yang ditemukan berada di depan mobil yang menjadi sumber ledakan. Bangkai kendaraan berjejer di samping dan belakang mobil itu.
Polisi lalu mengidentifikasi mobil yang dipakai sang pelaku melarikan diri. Itulah mobil Kijang bernomor AD 1529 BA—pelat mobil asal Solo. Tapi, ketika dicek, nomor itu ternyata palsu. ”Saya tidak tahu nomor itu,” kata Kepala Polisi Wilayah Surakarta, Komisaris Besar Hasyim Irianto. Menurut petugas di Kantor Samsat Surakarta, kalaupun ada, mestinya nomor itu adalah nomor lama yang sudah dimutasi ke tempat lain. ”Kami tidak punya data nomor kendaraan yang sudah dimutasi lebih dari lima tahun,” kata seorang petugas identifikasi kendaraan di Surakarta kepada Imron Rosyid dari TEMPO.
Cerita tentang dua mobil itu dikumpulkan polisi dari seorang saksi mata. Namanya Made Marta, satpam Sari Club yang ketika kejadian sedang duduk di dekat Toko Aloha, tak jauh dari ledakan. ”Saya bisa selamat karena tiarap di gang dekat Aloha,” kata Made seperti dikutip polisi. Dari penduduk Desa Wangaya, Denpasar, itulah polisi mengetahui tentang seorang lelaki yang berlari dari mobil kedua ke mobil di depannya sesaat sebelum ledakan terjadi. Sayang, polisi menyembunyikan Made dari kejaran wartawan.
Saksi lain yang juga diperiksa polisi adalah Dedy Masrukin. Dia adalah seorang perwira TNI AU yang dipecat 30 September tahun lalu karena terlibat masalah narkotik. Setelah keluar dari AU, ia bermukim di Bali. Dedy punya masa lalu yang meyakinkan, letnan kolonel lulusan Akabri 1983 dan pernah empat kali mengikuti kursus bahan peledak di Amerika Serikat. Pria yang lahir pada 7 Agustus 43 tahun lalu itu pernah bertugas di Pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun, sebagai perwira depo senjata dan amunisi. Ia pernah pula bertugas di Lapangan Udara Hussein Sastranegara, Bandung, sebagai petugas persenjataan.
Begitu bom meledak, polisi langsung memeriksa daftar orang yang piawai meracik bahan peledak. ”Dedy masuk ranking atas,” kata seorang intel Kepolisian Daerah Bali. ”Ia adalah saksi kunci karena memiliki pengetahuan tentang bom dan barang-barang eksplosif,” kata Irjen Polisi I Made Mangku Pastika, perwira yang ditunjuk Kepala Polri mengepalai tim investigasi bom Legian.
Menurut beberapa kawannya di Bandung, bapak dua anak ini tak banyak ulah. Ia supel dan mudah bergaul. ”Kami terkejut ketika tahu Dedy disangkutpautkan dengan bom Bali,” kata Letnan Dua Bambang, teman Dedi di Angkatan Udara Bandung, kepada wartawan TEMPO Bobby Gunawan.
Tokoh lain yang ditelusuri polisi adalah Muhammad Fawazi. Ia berasal dari Desa Mamben Lauk, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur. Tiga KTP Fawazi, 25 tahun, ditemukan di lokasi kejadian dengan menggunakan tiga alamat berbeda: Lombok, Malang, dan Bali. Polisi belum menemukan Fawazi. Diduga keras, ia tewas bersama ledakan dahsyat itu. Ia dikenal sebagai pemuda yang lugu dan pendiam. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Pesantren Marakitta’limat di desa itu. Ayahnya, Haji Maksum, adalah seorang pedagang bawang putih yang sukses. Maksum beristri tiga dan beranak sembilan. Fawazi adalah anak bungsu dari empat bersaudara buah pernikahan Maksum dengan Sarifah.
Setelah tamat pesantren, Fawazi mengambil kursus bahasa Inggris di Mataram. Ketika tiga tahun lalu bapaknya meninggal, ibu Fawazi memintanya berdagang rokok, makanan, dan pakaian. Jika tak banyak kegiatan, Fawazi juga menjadi pemandu wisata di Lombok.
Perjalanannya sebagai pedagang itulah yang membuat Fawazi merantau ke Bali. Di sana ia tinggal di Desa Banjar Anyar Kuta Badung bersama adiknya, Sukron. ”Saya mendengar, selain di Bali, Fawazi juga ke Malang untuk berbisnis selimut,” kata M. Aridi, kakak Fawazi. Di Malang, Fawazi tinggal di rumah seorang famili.
Kesaksian bahwa Fawazi pernah ke Malang itu dibenarkan oleh Husni, salah satu guru Fawazi di madrasah. Bahkan Husni sempat diajak ke Malang oleh Fawazi pada 19 September 2002. Mereka lalu pulang pada 2 Oktober dan pada keesokan harinya berpisah di Terminal Ubung, Bali. Husni ke Lombok dan Fawazi bertahan di Bali. Husni kini diperiksa secara intensif oleh Kepolisian Daerah Bali setelah sebelumnya ”dijemput” ketika sedang mengajar di madrasah. Fawazi terlibat? Polisi tak bisa memastikan. ”Ini mentok semua. Kami mendapat banyak data tapi tak ada rantai yang menghubungkan semuanya,” kata seorang perwira menengah di Kepolisian Bali.
Skenario tentang siapa pelaku dan apa motifnya masih hitam kelam. Di luaran, spekulasi memang berkembang. Media Barat, misalnya, meyakini bom Legian merupakan ulah sel-sel Al-Qaidah yang bekerja di Indonesia. Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil juga menuding jejaring Usamah bin Ladin itulah yang jadi biang. ”Ini berdasar informasi intelijen yang saya terima,” katanya. Sebaliknya, kalangan Islam radikal meyakini tragedi ini cuma kerjaan intel Barat untuk menjatuhkan citra Islam. Polisi menginventarisasi sejumlah kemungkinan: mulai aksi gerakan Islam radikal hingga perang sindikat narkotik. Tapi tak satu pun yang bisa secara terang dibuktikan di lapangan.
Alih-alih kompak mengungkap persoalan ini, polisi dan militer malah saling sikut. Seorang polisi di Kepolisian Daerah Bali mengaku kurang mendapat hasil maksimal ketika memeriksa saksi yang berasal dari organ militer. ”Ada tekanan dari petinggi militer agar tidak memperpanjang pemeriksaan mereka,” kata sumber itu. Komandan Polisi Militer Daerah Bali, Kolonel Pranoto, menyangkal tudingan itu. Tapi, katanya, ”Buat apa diperiksa kalau malah mengeruhkan suasana? Lagi pula semua pemeriksaan harus mendapat izin komandannya terlebih dulu. Semua harus lewat saya.” Ia balik mencemooh polisi bekerja lambat dan tidak hati-hati. ”Sense of crisis mereka kurang,” katanya.
Saling tuding, kasak-kusuk, hiruk-pikuk, kesedihan. Semua itu terjadi di Bali, tempat yang dulu menjadi nirwana para turis. Di emper toko itu, puluhan turis asing masih bernyanyi. Ada bau dupa, asap ratusan lilin. Suara yang lirih menyanyikan selarik lagu Bob Marley: Everything is gonna be alright. Everything is gonna be alright….
Arif Zulkifli, Rommy Fibri, Jalil Hakim, Sunudyantoro (Bali), Arif Koko (Lombok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini