My mind is clear now...
If you strip away, the myth from the man
We cant see where we all soon will be
Jesussssss……
TIBA-TIBA calon pastor itu menyanyikan petilan lagu Jesus Christ Superstar. Belum berhenti kata ”Jesusss”, ia memotong dengan cemooh, ”Ahhh… proyek spiritual instan….” Demikianlah Whani Darmawan, aktor Yogya, mementaskan Meta Nietzsche, karyanya sendiri, yang berkisah tentang seorang frater yang mengalami depresi, bergulat dengan masalah ketuhanan.
Mulanya lampu temaram. Ketika penonton masuk, ia teronggok di kursi roda (sedikit mengingatkan kita pada sosok Jumena Kartawangsa, tokoh Arifin C. Noer dalam Sumur tanpa Dasar). Serpihan sebuah lagu Richard Wagner, komponis favorit Nietzsche, mengalun, juga dentang lonceng gereja. Tubuhnya berkedut-kedut mengigal. Ia lalu menjalankan maju-mundur kursi rodanya. Ruang sempit, diisi dengan kapstok seperti salib dan sebuah meja kecil penuh tumpukan buku, mengirim atmosfer traumatis.
Sang frater membuat tanda salib di depan gantungan baju. Kadang meludahkan riak dan lendirnya ke tempolong bila mengatakan Yesus. Adegan menarik saat ia melukiskan kerutinan harian seorang biarawan. Whani, dengan pakaian pastor, memutar-mutar sembari menceracaukan kata-kata ”lonceng, bangun pagi, berdoa, kuliah, makan siang, baca koran, bobok, silentium magnum, silentium magnum….” Lalu di saat lain mengobrak-abrik meja, melempar-lempar pil. Makin frustrasi karena menemukan buku-buku yang itu-itu juga—entah kitab suci atau justru kitab Nietzsche: Also Sprach Zarathustra. Tapi kemudian tenang kembali mendendangkan semacam mazmur: ”Tidak kutinggalkan engkau sebagai yatim piatu…. Aku akan kembali padamu.”
Ketika ia mendemonstrasikan bagaimana pikiran sang frater mengembara dalam perdebatan syariat versus makrifat dalam serat Darmogandul dan Gatholoco, dengan cara mendalang gaya Tegal, tampaklah keaktoran Whani yang cukup kaya. Logat medhok dan improvisasi ala Tegal yang biasanya trademark dalang Slamet Gundono bisa ditampilkannya. Mungkin yang terasa mengganggu sepanjang pertunjukan adalah kalimat-kalimatnya yang berpretensi filosofis. Mengaburkan sendiri kebimbangan sang frater. Bila Whani menata naskahnya dengan lebih terfokus, termasuk segala pertanyaan kepada Tuhan tentang pembunuhan, mungkin monolognya lebih menggetarkan. Apa pun, ini sebuah monolog dengan tema Katolik yang jarang digarap. Ini mengingatkan bahwa naskah semacam Murder in the Cathedral karya Thomas Elliot mendapat konteks bila kita merefleksikan soal Timor atau Papua.
Pada hari berbeda, Teater Utan Kayu memperingati 200 tahun kematian Victor Hugo dengan menampilkan seorang aktor Prancis dan Indonesia memainkan monolog Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati (Le dernier jour d’un condamne) karya Victor Hugo. Kita dapat menyaksikan bagaimana penafsiran keduanya berbeda. Naskah ini bercerita tentang kenangan seorang narapidana menjelang ajal, tentang keluarganya, situasi selnya, dosa-dosanya. Kedua aktor sama sekali tak menggunakan prop. Pangggung kosong melompong. Hanya cahaya, gelap, dan tubuh.
Patrick Reynard, yang pernah belajar dengan Tapa Sudana, aktor Indonesia yang tinggal di Prancis, dari awal telah menciptakan sugesti. Aktor ini mendemonstrasikan cara untuk membangun suasana ngeri: irit gerak, lebih banyak dengan posisi berbaring miring di lantai, dengan kain putih menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Matanya seperti nanar. Meski sama sekali tak tahu bahasa Prancis, para penonton dapat menangkap-merasakan kalimat-kalimat menunggu maut. Gelap-terang cahaya yang kontras sangat membantu. Ketika ia berdiri dan kainnya tersingkap menunjukkan sebagian tubuhnya, imaji kita terbang ke tubuh kurus pesakitan yang digelandang ke guillotine.
Adapun Edi Sutardi, aktor lulusan Sekolah Tinggi Seni Bandung, lewat naskah yang diterjemahkan M. Lady Lesmana, sengaja memilih bagian-bagian yang tampak bisa diilustrasikan. Misalnya, saat adegan pesakitan teringat kepada anaknya, ia lalu berpura-pura mengelus-elus bayi, atau saat berfantasi kabur, kaki-kakinya menirukan gerakan lari. Pilihannya yang cenderung ingin memudahkan pengertian penonton berkesan terlalu tipikal (kecuali untuk memetaforkan jam yang kian dekat—ia melepas kaus dan memutar-mutarkannya di atas). ”Selamat tinggal istriku, selamat tinggal,” di akhir pertunjukan, ia berkata serak. Agaknya Edi harus menggedor lagi kekuatan sukmanya untuk mampu di akhir teriakan ”arkhhhh…” itu benar-benar menghunjam penonton.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini