Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTANYAAN pertama Presiden Joko Widodo kepada Jusuf Kalla ketika hendak melakukan salat Jumat di lapangan Monumen Nasional adalah memastikan wakilnya itu tak khawatir masuk angin. "Yakin, Pak, mau ikut? Enggak takut masuk angin?" kata Jokowi kepada Kalla ketika berada di Istana Kepresidenan, Jumat pekan lalu. Di depan Istana, massa pengunjuk rasa di tengah hujan deras telah bersiap menggelar salat Jumat.
Mendapat pertanyaan itu, Kalla hanya terkekeh. Setelah itu, Kalla, yang mengenakan baju koko putih, menyatakan akan ikut bersama Jokowi menuju Monas untuk melakukan salat Jumat bersama sekitar sejuta orang Islam. "Saya ikut Bapak saja. Silakan sebaiknya bagaimana," ujarnya sambil tersenyum. Sambil memegang payung, mereka berjalan kaki menembus hujan dari Istana Kepresidenan menuju Monas.
Ketika berjalan menuju Monas, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan berada di depan Jokowi dan Jusuf Kalla, yang berpayung. Ada juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian juga bersama massa yang menyebut kegiatan ini bernama Aksi Superdamai Bela Islam III. Mereka menunaikan salat di bawah tenda utama di tengah lapangan Monas.
Pendiri Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Shihab, menjadi juru khotbah Jumat. Sedangkan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kiai Haji Ma'ruf Amin menjadi imam salat. Skenario imam dan khatib ini berubah. Sebelumnya, sesuai dengan konferensi pers di kantor MUI di Jakarta, Senin pekan lalu, Ma'ruf Amin akan bertindak sebagai imam dan khatib di Monas. Dalam khotbahnya, Rizieq berbicara tentang hukum dan keadilan. "Penegakan hukum adalah keniscayaan," kata Rizieq.
Seusai salat, Presiden Jokowi menyampaikan apresiasinya kepada peserta aksi. "Saya mengucapkan terima kasih karena aksi berjalan damai," ujarnya. Selanjutnya, ia meminta massa segera mengakhiri aksi dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika Jokowi memberikan sambutan, sebagian massa meneriakkan yel-yel agar calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, segera ditangkap. "Tangkap, tangkap, tangkap Ahok. Sekarang juga!" teriak peserta aksi. Basuki kini berstatus tersangka dalam kasus penistaan agama Islam akibat pernyataannya di Kepulauan Seribu pada September lalu.
Keputusan Presiden untuk ikut melakukan salat di Monas, kata Lukman, diambil di menit-menit akhir sebelum masuk waktu salat Jumat pada pukul 11.52. Menurut Lukman, Presiden sempat bimbang dan hendak mengurungkan niat menunaikan salat Jumat bersama karena hujan. Namun Jokowi tetap memilih menghampiri massa yang telah berkumpul sejak pagi. "Presiden mengambil keputusan cepat, sesaat sebelum azan salat Jumat," ujar Lukman.
ANCAMAN demonstrasi besar-besaran yang berubah menjadi doa dan salat berjemaah pada Jumat pekan lalu itu membuat Presiden repot. Semestinya Jokowi memimpin dua rapat terbatas pada Rabu petang pekan lalu. Rapat pertama akan membahas tata niaga tekstil dan produk tekstil. Berikutnya, Jokowi bakal menggelar rapat terbatas kabinet membicarakan pengembangan sumber air dan alat mesin pertanian serta permodalan petani melalui kredit usaha rakyat.
Dua rapat terbatas itu batal karena Jokowi memilih memenuhi undangan penutupan Tanwir I Pemuda Muhammadiyah di Hotel Narita, Cipondoh, Kota Tangerang. Pembatalan dua rapat itu diungkapkan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. "Pak Presiden membatalkan acaranya untuk datang ke sini," ujar Dahnil. Memulai pidato, Jokowi meneriakkan tiga kali takbir, yang diikuti peserta Tanwir.
Sebelum datang ke acara Pemuda Muhammadiyah, Rabu siang pekan lalu, Jokowi menjamu Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan. Seorang pejabat pemerintah menyatakan, sejak tiga pekan sebelum unjuk rasa di Monas pada Jumat itu, Jokowi meniadakan rapat terbatas di Istana Kepresidenan di Jakarta. Sebagai gantinya, Jokowi menerima sejumlah ketua umum partai dan pemimpin lembaga negara. Dia juga bersafari ke sejumlah tokoh organisasi kemasyarakatan. "Presiden ingin berfokus mengajak tokoh nasional bersama-sama menjaga Republik Indonesia," kata pejabat itu.
Pada Selasa dua pekan lalu, Jokowi mengundang makan pagi Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di Istana Merdeka, Jakarta. Siangnya, Jokowi makan siang dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Berikutnya, dia mengundang santap siang Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy. Pada Selasa sorenya, giliran Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang diundang ke Istana.
Rangkaian pertemuan Jokowi dengan ketua umum partai itu merupakan kelanjutan dari pertemuan dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Senin dua pekan lalu. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tiba di Istana disusul Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, anaknya. Jokowi menyatakan pertemuan itu berkaitan dengan situasi politik Indonesia. "Saling kunjung begini adalah hal yang baik," ujar Jokowi. Sebelum mengundang Megawati, Kamis tiga pekan lalu, Jokowi juga menggelar pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto.
SEHARI menjelang aksi dengan massa besar pada Jumat pekan lalu, Tito Karnavian menemui Luhut Binsar Pandjaitan di kantornya. Ia tiba sekitar pukul 16.30. Setelah 45 menit melakukan pertemuan tertutup, Tito meninggalkan kantor Luhut. Ia bergegas dan memilih tidak banyak berkomentar. "Insya Allah, aksi Jumat aman," katanya singkat.
Selang lima menit, Luhut menyusul Tito meninggalkan kompleks kantornya menumpang Lexus hitam berpelat RI-19. Seorang pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut mengatakan, Kamis petang itu, Luhut membicarakan pengamanan Aksi Superdamai 212. Selain itu, kata pejabat ini, Tito mematangkan pembicaraan mengenai rencana menangkap sejumlah orang dengan tuduhan melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang makar. "Luhut dan Tito setuju operasi penangkapan jalan terus," ujar pejabat itu.
Mereka yang masuk daftar penangkapan antara lain Ketua Bidang Pengkajian Ideologi Partai Gerindra Eko Suryo Santjojo; bekas anggota staf ahli Panglima TNI, Brigadir Jenderal Purnawirawan Adityawarman Thaha; mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Kivlan Zen; dan aktivis organisasi kemasyarakatan Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein. Ditangkap juga Wakil Ketua Umum Bidang Ideologi Partai Gerindra Rachmawati Soekarnoputri, aktivis Ratna Sarumpaet, dan Koordinator Jaringan Aksi Lawan Ahok (JALA) Sri Bintang Pamungkas.
Sedangkan musikus yang juga calon Wakil Bupati Bekasi, Ahmad Dhani Prasetyo, dijerat dengan pasal menghina presiden. Dhani dilaporkan ke polisi oleh Projo, relawan pendukung Jokowi, karena diduga menghina Presiden saat berorasi pada demo 4 November 2016. Dua orang lain dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik berkaitan dengan dugaan penyebaran informasi bermuatan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan. Keduanya adalah Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta Utara Jamran dan Ketua Komando Barisan Rakyat (Kobar) Rizal Izal.
Seorang pejabat mengatakan, meski kini menduduki posisi Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut dilibatkan lagi dalam urusan politik sejak demonstrasi bermassa besar pada 4 November lalu. "Apalagi ia sebelumnya menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan," ujar pejabat itu. Luhut membantah kabar bahwa pertemuannya dengan Tito membahas pengamanan unjuk rasa. "Saya mengurus dagang," ujar Luhut.
Setelah Tito dan Luhut bertemu, pada Kamis malam dan Jumat pagi pekan lalu, polisi menangkap sepuluh orang itu. Penangkapan ini terjadi ketika pengunjuk rasa bersiap menggelar doa dan salat Jumat. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Rikwanto mengatakan sepuluh orang itu ditangkap karena diduga melakukan permufakatan jahat. "Kami sedang mendalami barang bukti," ujarnya Jumat pekan lalu.
Rikwanto menyatakan ancaman hukuman bagi pemimpin dan pengatur makar adalah penjara seumur hidup atau 20 tahun. Menurut dia, sepuluh orang yang ditangkap itu selanjutnya ditahan di Markas Korps Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Seorang perwira tinggi di Markas Besar Polri memastikan penyidik menemukan rekonstruksi beberapa peristiwa yang menunjukkan keterlibatan para tokoh dan aktivis itu. Bukti ini cukup kuat menjerat mereka dengan sangkaan melakukan makar karena telah ada permulaan pelaksanaan. "Persiapan perbuatan makar sudah merupakan pidana," katanya. "Selain itu, ada niat (mens rea) yang ditunjukkan dengan sejumlah persiapan."
Bukti undangan kegiatan Sri Bintang cs menunjukkan hal itu. Tempo mendapatkan undangan rapat yang dijadikan polisi sebagai bukti makar mereka. Rapat itu bertajuk "Konsolidasi Pergerakan dan Konferensi Pers 'Front Revolusi 2016'". Dalam undangan, Front menyatakan, selain bergabung dengan Aksi Bela Islam III 212, menuntut Basuki Tjahaja Purnama dipenjarakan. Mereka juga menuntut pemerintah Jokowi-Kalla diturunkan. Selanjutnya, mereka menggelar Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 asli, dan membentuk pemerintahan transisi.
Pertemuan itu digelar pada pukul 13.00, Rabu, 30 November lalu, di Rumah Kedaulatan Rakyat di Jalan Guntur Nomor 49, Manggarai, Jakarta Selatan. Pengundang pertemuan ini antara lain Yudi Syamhudi Suyuti, Ketua Panitia Pembentukan Dewan Nasional; Ketua Kobar Rizal Izal, Ketua JALA Sunarto; mantan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Benny Pramulia; mantan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sunarti; pemerhati kebijakan publik, Sudarsono Hadisiswoyo; dan Lubis, aktivis Guntur 49.
Sri Bintang Pamungkas juga hadir dalam acara itu. Dalam rekaman video yang diperoleh Tempo, Sri Bintang secara terbuka mengatakan banyak bandit di sekitar Jokowi yang ingin menghancurkan Indonesia. Menurut dia, pemerintahan saat ini ditunggangi kepentingan politik yang dia sebut "aseng" dan "asing".
Dalam rekaman itu, Sri Bintang menegaskan, saat ini bukan masanya lagi untuk penggalangan massa, tapi tiba saatnya melakukan revolusi. Selain itu, tidak perlu takut jika polisi tidak memberi izin. "Berapa sih jumlah polisi. Apa mereka mau menembak kita? Saya kira nanti TNI tidak tinggal diam," ujarnya.
Perwira tinggi tadi menambahkan, penyebaran undangan kegiatan itu memenuhi unsur niat untuk menggulingkan pemerintah yang sah pada tahap persiapan makar. Pidana perbuatan makar tak memerlukan akibat dari perbuatan makar, misalnya kerusuhan dalam masyarakat.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar tak membenarkan, tapi juga tak membantah informasi tersebut. Menurut dia, penangkapan terhadap Sri Bintang cs telah melalui pemantauan dan penyelidikan selama tiga pekan. Alasan penangkapan, kata dia, mereka hendak memprovokasi massa Aksi Superdamai 212 itu. Mereka akan menarik massa dari Monas ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat seusai aksi damai. "Kalau tidak ditangkap, tindakan mereka membahayakan," ujar Boy.
Kuasa hukum Sri Bintang, Razman Nasution, menilai janggal langkah polisi menjadikan kliennya sebagai tersangka. Sebab, Sri Bintang belum pernah sekali pun diperiksa jika ada laporan pidana. "Ini tiba-tiba saja dijadikan tersangka kasus makar," katanya. "Polisi seharusnya hati-hati menggunakan pasal makar."
Istri Sri Bintang, Ratna Lia, juga menyatakan tudingan makar kepada suaminya tidak berdasar. Menurut dia, untuk makar, perlu senjata dan sembunyi-sembunyi. Padahal kegiatan suaminya terbuka dan tak bersenjata. "Ini mau makar pakai apa? Korek api atau kembang api?" ujarnya.
Sunudyantoro, Aditya Budiman, Istman M.P., Diko Oktora, Rezki Alvionitasari, Imam Hamdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo