Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Sukarno Jatuh

Naik-turunnya kegiatan kajian Indonesia di Rusia dan Cina sangat berkaitan dengan hubungan politik Indonesia dengan negara-negara tersebut. Masa pemerintahan Presiden Sukarno adalah zaman keemasan bagi ahli Indonesia di dua negara itu. Tapi, setelah Sukarno jatuh, keadaan jadi suram. Kelas perkuliahan Indonesia nyaris kosong. Bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana pula pertumbuhan studi Indonesia di Korea, yang belakangan mulai tumbuh di berbagai kampus di negeri tersebut?

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika Moskow Tak Lagi Mendengar

Indonesia pernah menjadi primadona bagi para ilmuwan Rusia. Tenggelam seiring dengan runtuhnya Uni Soviet.


Gedung bercat putih di jantung Moskow itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa gelintir orang yang berlalu-lalang. Memasuki musim panas, gedung yang dikenal sebagai (baca: Vostocni Universitet) itu memang lebih sunyi. Sebagian besar mahasiswanya memilih menghabiskan masa liburan di luar kampus, setelah hampir enam bulan berjibaku dengan berbagai urusan akademis.

Vostocni Universitet adalah salah satu kampus bersejarah di Rusia. Dalam bahasa Inggris, Vostocni Universitet diterjemahkan sebagai University of Oriental Studies alias Universitas Ketimuran. Berada di bawah naungan Institut of Oriental Studies of Russian Academy of ­Science, Vostocni Universitet merupakan kawah candradimuka berbagai kajian tentang negara-negara Timur atau Asia. "Dari gedung inilah karya-karya tentang sosial budaya bangsa Timur pernah lahir," kata Drugov, seorang pengajar di sana.

Ketika Rusia masih tergabung dalam Uni Soviet, kampus ini memiliki posisi strategis bagi negara adidaya pesaing Amerika Serikat saat itu. Vostocni Universitet menjadi andalan Uni Soviet dalam menyebarkan pengaruh kiri, baik secara akademis, ideologi, maupun politik, di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Di kampus inilah berbagai hal yang berkaitan dengan Indonesia dipelajari secara mendalam. Pada 1991, misalnya, tercatat 15 ilmuwan yang menjadikan Indonesia sebagai obyek penelitian mereka. "Kelima belas ilmuwan tersebut meneliti Indonesia dalam berbagai bidang kajian. Ada yang meneliti sejarah Indonesia, politik Indonesia, ekonomi Indonesia, hingga bahasa Indonesia," Drugov menjelaskan.

Drugov kini tercatat sebagai pengajar di jurusan bahasa Indonesia dan Malaysia yang resmi dibuka di universitas itu pada 1995. Sebagai ilmuwan, dia banyak mendalami sejarah dan politik Indonesia. Pria yang pernah menjadi penerjemah Sukarno itu mengakui pada masa sebelum runtuhnya Uni Soviet, kajian soal Indonesia memang amat menggiurkan bagi para ilmuwan. Sebagai sebuah negara, Indonesia terlihat begitu seksi dan menarik untuk dilihat dan dikaji. "Budaya dan sosialnya sangat kaya dan luar biasa," kata Drugov.

Victor Sumsky, seorang Indonesianis dari State University of International Relations, bahkan mencatat ada cukup banyak karya sangat penting di Pusat Studi Ketimuran saat itu. "Lembaga ilmu ketimuran menemukan puncak aksi kreativitasnya pada pertengahan 1980-an, waktu yang paling baik bagi riset dan banyak karya penting tentang Indonesia meski saat itu masih zaman komunis," kata Sumski. "Beberapa karya tentang Indonesia pernah dimuat (diterbitkan) dan dibicarakan. Pada saat itu juga banyak orang muda yang mau ikut dan melakukan penelitian mengenai Indonesia."

Namun kondisi itu berubah begitu Uni Soviet runtuh. Kini kajian mengenai Indonesia nyaris tak terdengar. Jumlah peminatnya pun melorot tajam. "Sekarang hanya tinggal tersisa empat orang yang masih konsisten mengkaji Indonesia di Universitas Ketimuran," kata Drugov sambil berkaca-kaca. Selain dia, ilmuwan yang setia mengkaji Indonesia adalah Tsiganov, Ludmila Dzumedzuk, dan Aleeva.

Runtuhnya Uni Soviet berdampak buruk pada perekonomian negeri itu. Krisis ekonomi mengakibatkan terjadinya krisis di bidang pendidikan, penelitian, dan ilmu pengetahuan. Kondisi ini membuat generasi muda Rusia sekarang lebih berpikir praktis dan pragmatis. Mereka lebih memilih jurusan yang menjanjikan lapangan pekerjaan. Perubahan orientasi pendidikan inilah yang menjadikan studi tentang Indonesia oleh generasi muda Rusia meredup. "Ada memang regenerasi yang hendak saya siapkan. Dia adalah murid saya. Anak muda itu bernama Chukov," kata Drugov.

Tentu saja Chukov tidak benar-benar sendiri. Masih ada beberapa anak muda Rusia yang belajar tentang Indonesia. Namun sebagian besar karena terpaksa atau karena tidak sengaja. Ini pulalah alasan Roman belajar tentang Indonesia. "Waktu itu sebenarnya saya ingin mempelajari Korea Selatan. Akan tetapi oleh pihak universitas diarahkan untuk mengambil Indonesia. Ya, sudah," kata alumnus Asian-African Studies of the Moscow State University yang menulis tesis tentang peran etnis Tionghoa di Indonesia dan Malaysia ini.

Roman, yang sangat fasih berbahasa Indonesia dan mengerti budaya Indonesia, sekarang bekerja sebagai salah satu manajer perusahaan Rusia yang beroperasi di Bali.

Lain lagi dengan Bleznova Elizaveta Alekseyevna. Perempuan yang juga lulusan Institute of Asian-African Studies of the Moscow State University itu sebenarnya diminta sang ayah yang ahli Cina untuk mempelajari ilmu serupa. "Tapi, karena bahasa Cina susah, saya tidak mau," kata Liza, panggilan akrab Bleznova Elizaveta Alekseyevna. "Akhirnya saya pun disarankan mengambil bahasa Indonesia. Saya bersedia karena Indonesia adalah negara yang besar dan menarik," kata perempuan yang kini bekerja sebagai penerjemah di lingkungan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Rusia itu.

Awalnya Liza belajar tentang filologi Indonesia. Namun, di tengah perjalanan, ia berubah pikiran dan lebih memilih jurusan ekonomi (Indonesia) dengan pertimbangan lebih menjanjikan lapangan pekerjaan. "Saya tidak melanjutkan ke jenjang S-3 dan menjadi pengajar dan ahli Indonesia di universitas karena bagi saya itu pekerjaan yang melelahkan," alasan Liza tentang ketidaktertarik­annya untuk menjadi Indonesianis. Perempuan yang menulis skripsi tentang perkembangan sektor pertanian di Indonesia itu juga enggan melanjutkan studi karena merasa tidak berbakat.

Sepinya peminat kajian tentang Indonesia membuat Sumsky sedih dan kecewa. "Tidak ada cukup regenerasi yang berminat menjadi ahli Indonesia yang sepenuh hati. Ahli Indonesia baru saat ini hampir tidak ada," ujarnya.

Kondisi memprihatinkan itu disadari pula oleh KBRI Rusia. Sejak tiga tahun lalu, KBRI Rusia mencoba menjembatani persoalan itu dengan mengundang sejumlah profesor ternama di Rusia berkunjung ke universitas-universitas di Indonesia. "Harapannya, tentu saja, terjadi perkawinan banyak universitas di Rusia dengan universitas di Indonesia yang pada akhirnya melahirkan Indonesianis baru di Rusia, yang akan memberikan kontribusi bagi hubungan RI-Rusia," kata M. Aji Surya, penanggung jawab pendidikan sosial budaya KBRI Rusia.

KBRI juga mengirim mahasiswa Rusia ke Indonesia untuk belajar budaya dan bahasa Indonesia di universitas-universitas yang ada di Indonesia. "Setiap tahun kami mengirim sekitar 20 mahasiswa Rusia ke Indonesia. Mereka rata-rata belajar budaya dan bahasa Indonesia di berbagai universitas Nusantara selama setahun," katanya.

Mereka juga mencoba mengembangkan dan membangun jaringan mahasiswa Rusia pencinta Indonesia di Moskow dan beberapa kota di Rusia. Awalnya hanya ada 15 orang anggota kelompok pencinta Indonesia di Moskow. Kini jumlahnya sudah lebih dari 200 orang. Mereka mengenal Indonesia, bukan hanya bahasa, tapi juga budayanya. "Lima orang dari mereka bahkan sudah kita kirim keliling ke beberapa wilayah Indonesia untuk familiarization trip atas budaya kita, lalu kita jadikan mereka duta budaya dan pariwisata," Aji menjelaskan.

Penyebaran virus cinta Indonesia pada generasi Rusia sekarang juga dilakukan lewat pengiriman dosen dari Indonesia untuk mengajar di kampus-kampus di Rusia yang memiliki jurusan bahasa Indonesia. "Harapannya, dosen kita bisa menebarkan virus cinta Indonesia ke mahasiswa Rusia," kata Aji berharap.

Pemerintah Indonesia melalui KBRI pun berupaya merangkul pemuda-pemudi Islam Rusia. Tahun lalu, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, KBRI mengirim sepuluh mahasiswa pascasarjana ke Universitas Islam Negeri Malang, Jawa Timur. "Tahun ini ada 27 mahasiswa S-1 sampai S-3 yang kami kirim ke Universitas Islam Negeri Malang, Yogyakarta, dan Jakarta. Bahkan di antara mereka akan belajar tilawah," kata diplomat yang juga mantan wartawan Tempo itu.

Langkah KBRI mengirim pemuda-pemudi Rusia ke Indonesia untuk belajar Islam tentu sangat menarik. Itu sekaligus membuka mata dunia bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak hanya indah, tapi juga negeri tempat tumbuh suburnya Islam yang lebih mengedepankan pluralitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus