Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kacamata Jerman yang Berbeda?
DI dalam edisi khusus Tempo, "Republik di Mata Indonesianis" (20 November 2011), dinyatakan bahwa "...di Universitas Bonn, Berlin, Frankfurt, dan Freiburg, minat mahasiswa dalam studi Indonesia naik. Di Koeln justru turun."
Menurut saya, itu suatu pernyataan yang tidak menjelaskan kenyataan yang sepenuhnya. Sejak beberapa tahun lalu, di kampus-kampus itu ada penyatuan jurusan-jurusan kecil yang terancam punah, karena kurangnya jumlah mahasiswa di Jerman.
Karena penggabungan tersebut, seolah-olah terjadi peningkatan secara statistik. Dilihat dari luar, jurusan-jurusan kecil itu tiba-tiba tampak berjaya. Hal ini sudah saya ungkapkan dalam wawancara dengan koresponden Tempo, tapi sayangnya tidak disebutkan dalam artikel.
Misalnya, pada tahun ini, di Koeln ada 200 mahasiswa yang mendaftar ke jurusan Islamologi. Namun hanya sekitar 100 orang yang betul-betul duduk di bangku kuliah. Syarat mengikuti studi Islamologi adalah harus memilih bahasa pertama dan kedua dari tiga bahasa yang ditawarkan: Arab, Persia, dan Indonesia.
Tahun ini hanya 25 orang di antaranya yang mengambil bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (bahasa Arab tetap nomor satu). Bahasa pertama dipelajari selama 6 semester, sedangkan bahasa kedua hanya 2 semester. Walhasil, tidak ada satu pun mahasiswa yang menekuni bahasa Indonesia di semester tinggi. Yang hendak saya tekankan di sini ialah bahwa angka-angka tidak menjelaskan kenyataan yang selengkapnya.
Akhirulkalam, di dalam keterangan foto pada halaman 113 ada caption foto "Prof Dr Arndt Graf melihat Indonesia dengan kacamata berbeda". Menurut hemat saya, redaksi Tempo sendiri membutuhkan kacamata juga: itu sebenarnya foto saya.
Prof Dr Edwin Wieringa
Koeln, Jerman
Terima kasih atas penjelasan Anda. Kami mohon maaf atas kekeliruan pada caption foto itu.
—Redaksi
Usul untuk Papua
BELAKANGAN ini banyak orang membicarakan tuntutan kemerdekaan di Papua. Menurut saya, muara masalah Papua adalah soal kesejahteraan. Mereka yang menuntut kemerdekaan, tentu, berharap kemerdekaan akan membawa perubahan nasib warga di sana, termasuk perbaikan kualitas pendidikan, sarana kesehatan, penambahan lapangan pekerjaan, dan seterusnya.
Untuk itu, saya mengusulkan pemerintah segera melakukan langkah nyata untuk peningkatan kesejahteraan saudara-saudara kita di Papua. Salah satu model yang bisa ditempuh adalah dengan pembukaan perkebunan inti rakyat, yang dimiliki orang Papua sendiri.
Model ini berhasil di Sumatera. Di Pasaman Barat, ada perkebunan seluas 10 ribu hektare yang dikelola 5.000 keluarga. Sebelum kebun menghasilkan, mereka digaji oleh perusahaan. Setiap keluarga mendapat 2 hektare lahan kebun dan 0,25 hektare lahan untuk rumah.
Pemerintah bisa membantu dengan membangun infrastruktur jalan yang menghubungkan kota-kota dengan sentra perkebunan inti rakyat. Pemerintah juga harus membangun puskesmas, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Semoga usul ini bisa jadi sumbang saran untuk penyelesaian masalah Papua. Terima kasih.
Asrul Rainsyah
Jalan Diponegoro 57,
Ganting Sijunjung
Sumatera Barat
Kecewa Asuransi TKI
SAYA bekas tenaga kerja Indonesia di Kota Saham, kawasan Al-Batinah, Oman. Saya dipulangkan paksa sebelum masa kontrak kerja habis pada April 2011. Di Oman, saya dianiaya oleh majikan dan gaji saya tidak dibayarkan penuh.
Saya mulai bekerja di Arab pada Mei 2009, dikirim oleh PT Titian Hidup Langgeng ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Perusahaan itu mengasuransikan saya ke Asuransi Mitra.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7/Men/V/2010 tentang Asuransi TKI, saya seharusnya bisa mendapat asuransi atas kekerasan fisik yang menimpa saya di Oman, pelanggaran kontrak kerja oleh majikan (pemindahan lokasi kerja dari Abu Dhabi ke Oman tanpa persetujuan saya), dan kekurangan pembayaran gaji.
Dengan didampingi Migrant Care, saya sudah berusaha mengurus pembayaran asuransi saya ke Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Tapi, pada Agustus lalu, petugas Badan Nasional hanya bisa membantu mencairkan dana asuransi saya sebesar Rp 4,9 juta. Selebihnya, klaim saya dinilai belum bisa dicairkan. Saya kecewa atas perlakuan ini. Saya mohon bantuan semua pihak terkait agar sisa klaim asuransi saya bisa segera dicairkan.
Rusnani Matsuni
Banjarmasin
Kalimantan Selatan
Universitas Sutan Takdir Alisjahbana
NEGERI ini punya banyak pahlawan, orang besar yang berjasa untuk perkembangan berbagai bidang di Indonesia. Sastrawan dan penyair tentu termasuk pahlawan. Orang-orang seperti Mochtar Lubis, La Rose, dan Sutan Takdir Alisjahbana punya peran besar dalam perkembangan sastra di Indonesia.
Sayangnya, penghargaan negara kadang terbatas untuk mereka. Nama-nama mereka perlahan tenggelam, lenyap ditelan waktu. Saya khawatir para petinggi dan pembesar negeri ini juga tak ingat lagi kepada para pahlawan sastra itu.
Untuk mengenang jasa mereka, saya mengusulkan agar nama-nama para penyair besar kita diabadikan menjadi nama perguruan tinggi. Kita bisa mulai dari Sutan Takdir Alisjahbana, yang kebetulan juga pendiri Universitas Nasional di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Tak hanya itu, Sutan Takdir juga pernah menjadi rektor di kampus tersebut. Perannya bagi kemajuan perguruan tinggi itu juga tak sedikit.
Syaiful Pandu
Perum Cendana Blok A 02
Riau
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo