Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAJRIAL Aswidinnoor memang seorang peneliti sejati. Ketika laki-laki 50 tahun itu asyik bercakap-cakap dengan Tempo di salah satu ruang kantor rektorat Institut Pertanian Bogor, hujan mendadak turun. Hajrial langsung menghubungi seseorang dengan telepon selulernya. ”Tolong, gabahnya disingkirkan, ditutup dengan plastik.” Lalu dia memberikan petunjuk detail kepada orang yang dia telepon tentang cara memperlakukan gabahnya. Setelah itu, dia tersenyum lebar, seolah minta maaf atas ”ketidaksopanannya” itu.
Bila dilihat dari data riwayat hidup doktor bidang genetika dan pemuliaan tanaman University of Missouri, Columbia, Amerika Serikat ini, dia jelas seorang peneliti. Dia pernah membantu Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dalam merencanakan dan mengembangkan program hibah penelitian. Dia juga mengelola usulan penelitian dari dosen perguruan tinggi sekaligus menjadi penyeleksinya. Masih ada beberapa ”pangkat” Hajrial berkaitan dengan penelitian.
Namun, dari semua itu, kesetiaan Hajrial adalah pada padi. Sejak 2001, dia berfokus pada pengembangan padi tipe baru. Yang menjadi pertimbangan adalah padi generasi Revolusi Hijau (seperti IR 64) sudah mencapai tahap antiklimaks. Produksi yang dihasilkan sudah merosot. Produksi rata-rata padi nasional hanya 4-5 ton hektare. ”Jadi, dengan cara budi daya apa pun, varietas padi Revolusi Hijau akan tetap segitu. Butuh terobosan,” kata laki-laki berkulit hitam karena terbakar sinar matahari akibat setiap hari berjemur di sawah itu.
Nah, yang menjadi perhatian Hajrial adalah bagaimana menemukan jenis padi dengan malai (butiran padi pada tangkai) yang lebat. Untuk jenis IR 64, misalnya, paling lebat malainya mengandung 160 butir. Yang dicari Hajrial adalah malai di atas 250 butir. Dengan demikian, padi baru yang dihasilkan akan memiliki produksi 15-20 persen lebih tinggi.
Selama delapan tahun mencari padi galur baru, Hajrial belum melepas satu jenis pun. Tahap yang sedang dia jalani adalah uji multilokasi—menanam jenis-jenis padi yang diteliti di lokasi sawah berbeda, misalnya sawah dataran rendah dan tinggi. Ada 26 galur yang sedang dalam proses uji lokasi. Dan untuk padi sawah minimal harus ada 16 data hasil multilokasi: delapan di musim kemarau dan setengahnya lagi di musim hujan. Perjalanan masih panjang, juga masih mungkin gagal.
Toh, pengabdian Hajrial pada usaha pengembangan produksi padi tidak berhenti di Jawa. Langkahnya jauh hingga ke Kalimantan—untuk mengembangkan padi gambut—dan Sulawesi. Bahkan sudah pernah ada yang menawari untuk menjajaki penanaman padi di Papua. Semuanya, menurut Hajrial, harus disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Misalnya di Sulawesi, sudah diterapkan teknik menanam padi langsung dari benih—tidak dibibitkan terlebih dahulu seperti di Jawa.
Tekun dalam penelitian saja tampaknya tidak cukup. Hajrial juga harus berakrobat dalam hal pencarian dana. Bila dana tersedia tentu bagus. Bila tidak, Hajrial harus mencari-cari agar penelitiannya tidak mandek. Misalnya saat ini, dana penelitian akan habis pada Desember nanti. Maka Hajrial sudah mencari penyambungnya. Maklum, penelitian seperti ini harus konsisten. ”Kami bekerja dengan benda hidup. Bila berhenti satu tahun saja, harus mulai dari nol lagi,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo