Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Ada Lagi Kuliah di Pom Bensin

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Tak Ada Lagi Kuliah di Pom Bensin
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SUDAH tiga tahun ini Tatang Hernas Soerawidjaja tak lagi membawa jeriken di jok belakang mobilnya. Sejak Pertamina menjual biodiesel dengan merek dagang biosolar (B5) di beberapa pom bensin, ia menghentikan kegiatan campur-mencampur solar dengan cairan biodiesel. Ia juga sudah tak perlu memberikan ”kuliah” mendadak kepada setiap orang yang ingin tahu teknik mencampur cairan biodiesel.

Dulu, kata Tatang, petugas pom selalu menanyakan cairan apa yang harus mereka campurkan kalau ia mengisi solar. Jadilah kegiatan mengisi bahan bakar diwarnai ceramah tentang biodiesel dan pentingnya bahan bakar nabati bagi lingkungan. ”Biasanya ’kuliah’ mendadak itu berlangsung sekitar tujuh menit,” kata dosen Program Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung itu.

Tatang dikenal getol mengkampanyekan gerakan memakai energi terbarukan. Sejak 1990-an, ia bersama kawan-kawannya intensif mengembangkan penelitian bahan bakar nabati. Ia juga memimpin Forum Biodiesel. Ia bekerja sama dengan sejumlah lembaga, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam pengembangan bioetanol. Di pelbagai forum itu, doktor teknik kimia lulusan Universitas Delft, Belanda, ini berjuang membereskan standar mutu bahan bakar biodiesel (bahan bakar pengganti solar) dan etanol (bahan bakar pengganti bensin) dengan spesifikasi yang dibutuhkan pasar.

Ia dan kelompok riset ITB juga membuat biogas dari bungkil atau ampas perahan biji jarak. ”Para petani kini mulai sadar, tak lagi menjual biji jarak mentah, tapi membuatnya menjadi minyak,” ucapnya. Menurut Tatang, petani mendapat dua hal dengan memakai biogas. ”Minyak dijual dan ampasnya untuk bahan bakar mereka,” katanya. Hasil penelitian pada 2007 itu kini sukses diujicobakan ke sejumlah daerah.

Belakangan, Tatang sibuk membantu Kementerian Riset dan Teknologi meneliti pengolahan pohon lontar dan kesambi, sejenis rambutan yang banyak tumbuh di Pulau Rote dan Ndao, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai bahan bakar pengganti. ”Pokoknya, jika bahan di depan mata bisa diolah, kenapa harus bergantung pada bahan bakar fosil?” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus