Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setumpuk Uang di Tas Mont Blanc

8 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bergepok-gepok duit lima puluh ribu dan seratus ribuan ditumpuk di atas meja. Ruang rapat kecil di lantai tiga gedung Altelindo Karyamandiri di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, beraroma uang pada Jumat, 24 Juli tahun lalu. "Semua ada Rp 2,14 miliar," Abdul Malik, karyawan Altelindo yang mengangkut uang itu, bertutur kepada Tempo, awal Februari lalu.

Abdul dan sepupunya, Amir, dua hari sebelumnya sibuk ke sana-kemari. Diperintah Saleh Abdul Malik, bos Altelindo yang juga paman mereka, keduanya mendatangi sanak famili buat mengumpulkan pinjaman. Bank tak bisa melayani penarikan tunai dengan cepat dalam jumlah besar. Padahal "misi" harus segera dilakukan: membebaskan Saleh dari jerat tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi.

Adalah Amoriza Harmonianto yang berjanji menjadi juru selamat. Pria 53 tahun yang dipanggil Obi ini mengatakan bisa menyelesaikan kasus Saleh. Untuk itu, ia mematok biaya Rp 8 miliar. Penyerahan duit di kantor Altelindo siang itu adalah yang ketiga. Menurut Abdul Malik, Obi ikut menghitung tumpukan uang di meja. Seperempat jam kelar, duit dimasukkan ke tas travel kulit merah Mont Blanc. "Itu tas saya, yang ada di kantor untuk keperluan pergi mendadak," kata Ricky Rezani, Presiden Direktur Altelindo.

Ricky mengingat, Obi selalu datang siang hari. "Beberapa kali ia salat zuhur di musala kantor kami," ujarnya. Pada penyerahan pertama, 9 Juli, Saleh menyetor Rp 1 miliar. Esok harinya, ia kembali memberikan Rp 750 juta. Ditambah penyerahan 24 Juli, Saleh telah mengucurkan Rp 3,89 miliar. Obi menandatangani tiga lembar kuitansi.

Transaksi gelap ini berawal pada Mei 2009, ketika Obi menghubungi Ricky. Mereka berjanji bertemu di kafe Coffee Bean, Cilandak Town Square. Obi datang bersama istrinya, yang mengenalkan diri sebagai Oni. "Istrinya datang duluan, mengajak saya ngobrol. Beberapa waktu kemudian, baru Obi datang. Sepertinya profesional," kata Ricky.

Kepada Ricky, Obi menyampaikan kabar buruk: Saleh Abdul Malik akan menjadi tersangka kasus korupsi Rp 130 miliar dana proyek jasa manajemen konsumen Perusahaan Listrik Negara Distribusi Jawa Timur. Sebulan sebelumnya, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggeledah kantor Altelindo. Namun Saleh menganggap angin lalu informasi yang disampaikan melalui Ricky itu. Sebagai komisaris, ia yakin tak terseret kasus perusahaannya.

Saleh mulai panik ketika Fathoni Zakaria, Direktur Altelindo yang baru diperiksa Komisi, menyampaikan kabar serupa. Saleh pun bersedia menerima Obi di kantornya pada Juni 2009. "Ia menyampaikan detail kasus ini," kata Saleh, yang ditemui di sel Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Obi menawarkan jasa penyelesaian kasus secara "formal" dan "informal". Buat membicarakannya, Saleh kembali bertemu dengan Obi di Birdcage Cafe, Panglima Polim. Pada pertemuan ini, Obi mengajukan pengacara Tri Harnoko Singgih, putra mantan Jaksa Agung Singgih, sebagai kuasa hukum buat penyelesaian "jalur formal". Harnoko dibayar Rp 750 juta dalam dua tahap.

Harnoko dan Obi kolega lama. "Dia sering kemari, meminta bantuan surat perjanjian jual-beli," kata Harnoko kepada Tempo di kantornya, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Menurut Harnoko, permintaan Obi agar dia menjadi kuasa hukum perkara di Komisi merupakan yang pertama.

Untuk jalur "informal", Obi menyorongkan satu nama: Ary Muladi. Kepada Saleh, Obi bercerita baru bertemu dengan Ary dan "orang dalam KPK" di Jalan Panjang, Jakarta Barat. Obi lalu menyebutkan Rp 8 miliar agar perkara bisa diselesaikan lewat pintu belakang. "Dia menyodorkan daftar pejabat KPK yang perlu disetor," kata Ricky. Obi melempar janji surga. "Dia bilang, jangankan tersangka, dipanggil sebagai saksi pun tidak akan," Ricky menirukan kata-kata Obi.

Pada Agustus, setelah meledak "Cicak versus Buaya", Obi mendatangi kantor Altelindo. Di depan Saleh, ia menelepon Ary Muladi. "Ary bilang saya akan aman karena ada orang dalam KPK," kata Saleh. "Dia lalu minta saya mentransfer sisanya." Saleh menolak dan berjanji menyetor sisa pembayaran setelah benar-benar bebas.

Selang beberapa hari, Saleh justru menerima surat panggilan pemeriksaan. Ia pun meminta Harnoko menemui Obi dan Ary Muladi. Mereka bertemu dua kali membahas soal ini. Kepada Tempo, Harnoko membenarkan bertemu dengan Ary dan Obi di sebuah kafe di Jalan Senopati, Jakarta Selatan. Menurut dia, Ary pada pertemuan itu menjamin Saleh hanya akan menjadi saksi.

Sejak itu, Obi sulit dihubungi. Baru pada Oktober, dalam pertemuan di Hotel Gran Melia, Jakarta, ia minta Saleh melunasi sisa pembayaran. Ia mengancam, bila pembayaran tak segera lunas, Saleh akan menjadi tersangka. Sepekan kemudian, pada 2 November, Saleh diperiksa sebagai tersangka dan langsung ditahan.

Obi, yang ditemui Tempo tiga kali di rumahnya, menolak bicara. Ia juga tak bersedia menjawab pertanyaan tertulis yang diserahkan kepadanya. "Saya sudah membacanya, tapi saya tak mau berkomentar," kata Obi, yang oleh tetangganya dipanggil "Pak Haji".

Ary Muladi, yang diwawancarai secara terpisah, membantah terlibat. "Masak, tiap ada kasus uang saya disebut terlibat? Sugih bener saya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus