Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pintar Mafia Meramu Data

Para makelar kasus memiliki informasi rinci tentang penyidikan suatu kasus. Meyakinkan calon tersangka.

8 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN di Restoran Dapoer, Bulungan, Jakarta Selatan, itu berlangsung setahun lalu. Tapi Indra Kusuma, staf pemasaran PT Altelindo Karyamandiri, perusahaan teknologi informasi, masih jelas mengingatnya. Sore itu, ia tiba lebih dulu, disusul Ciputra dan seorang putra pemilik perusahaan penerbitan terkemuka. Mereka mengambil meja di sisi kanan restoran itu.

Eddy Sumarsono, wartawan yang dikenal dekat dengan sejumlah pejabat kejaksaan, datang kemudian. "Ia membawa tas dan menenteng berkas bersampul kuning bertuliskan 'Customer Management System'," kata Indra kepada Tempo, pertengahan Februari lalu. Seperempat jam kemudian, Saleh Abdul Malik, bos Indra di Altelindo, tiba.

Pertemuan dilakukan atas permintaan Saleh melalui temannya yang juga kawan Eddy. Saleh mulai diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus proyek sistem manajemen pelanggan di PLN Distribusi Jawa Timur. Eddy dianggapnya memiliki akses ke Komisi. Ia tambah yakin ketika Eddy menunjukkan pesan di teleponnya yang dikirim seorang petinggi lembaga itu. "Ia juga menunjukkan hasil ekspose kasus saya," tutur Saleh.

Eddy dan Ciputra, yang mengaku pedagang mobil, membenarkan pertemuan itu. Tapi, menurut Eddy, pertemuan sama sekali tak membahas kasus Saleh. Menjelang akhir pertemuan, menurut Eddy, Saleh mengungkapkan kasus yang menimpanya. "Tapi ia bilang kawannya yang punya persoalan, bukan dia," katanya.

Saleh menuturkan, melalui Ciputra, Eddy memberitahukan biaya pengurusan kasus Rp 20 miliar. Saleh dijanjikan lepas dari perkara. Karena menilai terlalu mahal, Saleh menolak. Keterangan Saleh ini dibantah Eddy. "Kenapa dia tak bilang sekalian Rp 100 miliar?"

Tak lama kemudian, tawaran bantuan datang ke ayah Saleh, Abdul Malik M. Aliun. Kali ini dari Djamal Aziz, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Hanura. Djamal mengatakan punya teman yang bisa membantu. Dialah Rizal M., Deputi Direktur Generasi Indonesia Digital, perusahaan yang juga bergerak di bidang teknologi informasi.

Aliun dan Djamal sepakat bertemu dengan Rizal di restoran Fish and Co, Cilandak Town Square. Ternyata Rizal tak sendiri. Ia datang bersama Eddy Sumarsono! Lagi-lagi, ia berjanji bisa membantu dengan biaya Rp 20 miliar. Aliun menganggap terlalu mahal. Kesepakatan batal.

Kepada Tempo, Eddy, Rizal, dan Djamal mengakui pertemuan itu. Rizal mengatakan kenal Eddy sekitar dua tahun lalu, ketika bekerja sama di tabloid Investigasi. Namun ia membantah Eddy minta duit Rp 20 miliar. Adapun Djamal mengaku ragu. "Restorannya rame," katanya.

Aliun dan Saleh yakin dengan kebenaran informasi yang dipegang Eddy. Sebab, menurut Aliun, datanya sangat akurat, termasuk hasil ekspose kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi. "Dia bahkan tahu kekayaan saya, misalnya soal tanah saya di Lampung," ujarnya.

Mungkinkah ada kebocoran informasi di Komisi, yang kemudian dijadikan senjata oleh "para pencari tersangka"? Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Wakil Ketua Komisi, mengatakan selalu ada kemungkinan bocor. "Tapi, di mana bocornya, you tidak bisa mengandai-andai," katanya.

Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Tumpak Panggabean mengatakan lembaganya memiliki standar keamanan amat ketat. Pengawasannya berlapis. Setiap pengaduan dipelajari Direktorat Pengaduan Masyarakat. Jika dinilai layak diselidik, kasus diusulkan ke pimpinan. Bila disetujui, satuan tugas ditunjuk. Hasilnya dilaporkan kembali ke pimpinan.

Jika bukti cukup, statusnya ke penyidikan. Tersangka pun ditetapkan. Lalu masuk penuntutan. Gelar perkara digeber setiap pekan, dihadiri pimpinan, direktur, dan deputi direktur. "Jadi, pimpinan tahu setiap kasus," kata Tumpak. Para ketua bisa menyaksikan setiap pemeriksaan di lantai tujuh dan delapan melalui kamera pengawas.

Dengan alur seperti itu, menurut Tumpak, amat tipis terjadi kebocoran. Semua data keras yang keluar dari gedung Komisi terpantau. Berkas gelar perkara pun tak boleh dibawa pulang. Soal kemungkinan orang luar menerima informasi dari dalam, Tumpak hanya menyatakan, "Mafia itu kan orang pintar."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus