Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada sebuah jalan buntu, Margiyono celingukan. Ia berusaha mengingat dan memastikan sesuatu. Pandangan matanya tertuju pada sebuah rumah di ujung jalan itu. Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik itu berdiri mematung beberapa saat. "Ini rumahnya dulu. Di belakang itu ada pohon rambutan, saya ingat," ujarnya.
Tiga pekan lalu, ia membawa Tempo melongok ke sebuah rumah persinggahan para aktivis. Rumah di kompleks Pondok Pekayon Indah, Kota Bekasi, itu dulu dikontrak salah seorang pegiat PRD, Daniel Indra Kusuma. Di rumah itulah Margiyono pernah tinggal beberapa saat dengan Wiji Thukul, kawan seperjuangannya. Waktu itu, Thukul tiba-tiba muncul diantar salah seorang aktivis PRD, Web Warouw, ke rumah kontrakan tersebut setelah lama menghilang.
"Pada saat bertemu, kalau tak salah Februari atau Maret 1997, Thukul bercerita bahwa selama ini dia bersembunyi di Kalimantan," kata Margiyono, yang akrab disapa Megi oleh kawan-kawannya.
Pada masa itu, situasi Jakarta sedang panas. Hiruk-pikuk gerakan politik bernama Mega-Bintang muncul sebelum masa kampanye Pemilihan Umum 1997 resmi bergulir. Ini masa ketika pemilihan umum masih sangat tertutup. PRD mengupayakan persatuan oposisi Mega-Bintang dan rakyat. Ini merupakan upaya merintis kerja sama di antara unsur-unsur yang menentang Orde Baru kala itu, terutama kelompok pendukung Megawati Soekarnoputri, yang baru digusur dari kursi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan. Gerakan ini menggelinding dan membuat risau penguasa Orde Baru.
Margiyono berkisah, para aktivis berbagi ruangan di rumah dengan dua kamar tidur di Bekasi itu. Satu kamar digunakan Daniel bersama keluarganya, sedangkan dia dan Thukul menempati kamar lain. Kalau gerah tidur di kasur, mereka pindah ke ruang tengah. Begitu saja yang mereka lakukan selama dua bulan itu. Beruntung, rumah kontrakan itu lolos dari radar aparat.
Suparli, pemuka warga setempat, membenarkan rumah itu dulu sempat dikontrakkan pemiliknya. "Tapi tak ada insiden apa-apa, baik saat dikontrak maupun setelahnya," ujarnya kepada Tempo.
Selain di Bekasi, Margiyono dan Thukul sering menginap di Rumah Susun Kemayoran. Di sana juga ada Petrus Bima Anugerah dan Andi Arief. Dekat rumah susun itu terdapat telepon umum yang sudah diutak-atik sehingga mereka bisa menelepon dengan gratis. Margiyono mengatakan Thukul sering menghubungi Sipon dari sana.
"Saya biasa diminta mengantarkannya ke telepon umum, biasanya larut malam. Sebab, kalau sore, telepon itu banyak peminatnya," kata Margiyono.
Thukul juga pernah tinggal bersama Mugiyanto—aktivis PRD yang pernah diculik—pada sekitar Mei 1997. Mereka tinggal bersama di rumah kontrakan di bilangan Bidara Cina, Jakarta Timur. Namun kala itu si penyair datang dan pergi, tak pernah menetap lama.
Di Jakarta, selain mesti terus memastikan diri aman di persembunyian, sebagian kegiatan Thukul adalah menulis untuk kepentingan PRD. Menurut Lilik Hastuti, mantan aktivis PRD jaringan Tangerang di bawah koordinasi Linda Christanty, sejak dulu penerbitan memang menjadi urusan Thukul. Thukul menulis di Suluh Pembebasan, yang menjadi saluran resmi partai. Karya Thukul yang dimuat waktu itu, kata Lilik, selalu berhubungan dengan kesenian.
Margiyono membenarkan soal pentingnya Thukul dalam penerbitan itu. Menurut dia, Thukul berperan sentral dalam setiap penerbitan PRD kala itu. "Selain menulis, karena kurang personel, kami bekerja rangkap. Salah satunya bergantian mengambil cetakan," katanya.
Mugiyanto bercerita, ketika dia diculik, para penculiknya berkali-kali menanyakan apakah ia mengenal Thukul. Mereka menyebut Thukul pembuat pamflet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo