Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIUHAN merebak di Lapangan Soetadi, Kompleks Sekolah Pembentukan Perwira, Sukabumi, Jawa Barat, Senin pekan lalu. Bukan! Kesemarakan itu bukan berasal dari kegiatan para tentara di sana. Inilah acara pencanangan kesiapan penerapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang akan dimulai awal 2014. Acara utama hari itu adalah penandatanganan komitmen oleh 140 pemimpin badan usaha milik negara dalam mendukung program jaminan kesehatan tersebut.
Kelak koordinator program ini adalah PT Asuransi Kesehatan (Askes), yang mulai 1 Januari 2014 berubah jadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Direncanakan program ini akan menyasar tiga kelompok, yakni pekerja formal dan informal serta masyarakat fakir-miskin dan tidak mampu. Pada 2014, jumlah populasi tiga kelompok itu diperkirakan mencapai sekitar 120 juta jiwa. Bukan jumlah yang sedikit.
Sudah ditetapkan bahwa untuk golongan yang terakhir, pemerintah akan mensubsidi Rp 19.225 per bulan bagi 86,4 juta jiwa. Tak pelak ini akan menjadi program asuransi yang cukup ambisius. "Indonesia akan menjadi negara terbesar yang memiliki jaminan kesehatan di bawah satu badan negara," kata Direktur Utama PT Askes Fahmi Idris di sela acara pencanangan.
Itulah sebabnya sebuah seremoni tampaknya perlu digelar pemerintah guna menandai pentingnya program tersebut. Dalam kesempatan itu, misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh lapisan birokrasi membantu persiapan yang tinggal dua bulan ini. Yudhoyono memerintahkan jajarannya membuka posko informasi agar segala hal soal BPJS bisa sampai kepada masyarakat.
Presiden juga mendorong kemitraan antar-BUMN diperkuat guna memperluas akses kepesertaan. Tak lupa, dalam pidatonya, Yudhoyono akhirnya mewanti-wanti presiden berikutnya untuk tetap melanjutkan program tersebut. "Tolong presiden yang akan datang diingatkan!" katanya kepada para peserta acara hari itu.
Ancang-ancang di Sukabumi itu ternyata mendapat imbangan dari kaum buruh. Pada hari yang sama, sekitar 5.000 pekerja berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Dari sejumlah isu yang mereka usung, massa yang datang dari Jakarta dan daerah sekitarnya itu menuntut pemberlakukan BPJS Kesehatan tahun depan. Namun, sebelum program itu diterapkan, mereka meminta pemerintah membereskan segala persoalan yang masih tercecer.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menunjuk pentingnya pemerintah memberi informasi soal manfaat program tersebut kepada para pekerja. Selain itu, "Berapa besaran iuran yang harus dibayarkan buruh (perlu diperjelas)," ucap pria yang juga Sekretaris Jenderal Komite Aksi Jaminan Sosial tersebut. Dia menilai waktu dua bulan terlalu ringkas bagi pemerintah untuk berbenah.
Iqbal lalu menunjuk potensi kekacauan lainnya, yakni adanya perbedaan data penerima bantuan iuran. Saat ini Dewan Jaminan Sosial Nasional mematok jumlah mereka yang berhak menerima bantuan adalah 86,4 juta jiwa. Sedangkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan menyebut angka 96,7 juta jiwa. "Selisih itu nantinya siapa yang bayar?" katanya.
Di lapangan, memang tidah mudah bagi petugas menetapkan angka yang tepat. Hal ini, misalnya, dinyatakan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang Naniek Isnaeni. Dia mengatakan verifikasi data masyarakat miskin harus dilakukan teliti karena banyak ketidakcocokan dengan data Badan Pusat Statistik tahun 2011. Banyak masalah yang ditemui di lapangan, misalnya, alamat tak diketahui, warga berpindah, atau orangnya sudah meninggal. "Mau tidak mau kami kembali turun untuk mendapat data yang valid," ujarnya.
Kendala lain adalah terbatasnya sarana dan prasarana, juga tenaga kesehatan. Di Kabupaten Tangerang saat ini terdapat 43 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), yang tersebar di 29 kecamatan. Selain itu, ada dua rumah sakit umum daerah, yaitu RSUD Tangerang dan RSUD Balaraja. Sarana kesehatan tersebut dinilai belum memadai untuk melayani 3,8 juta warga Tangerang.
Naniek berpendapat, tak bisa lain, harus ada penambahan tempat tidur serta pembangunan rumah sakit dan puskesmas. Untuk itu, Kabupaten Tangerang tahun depan berencana membangun Rumah Sakit Pratama di wilayah utara, khusus kelas III. Selain itu, dibangun sejumlah puskesmas baru, seperti di Pasar Kemis, Cikupa, dan Cikuya.
Dari kalangan pengusaha pun kritik juga terlontar. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, salah satu yang perlu diperkuat adalah sisi pengawasan. Memang ada Dewan Jaminan Sosial Nasional yang didapuk menjalankan tugas itu. Tapi, kata dia, komposisinya kurang pas karena hanya diisi pejabat negara. Sofjan mengusulkan ada perwakilan pengusaha dan serikat pekerja pembayar premi yang duduk di Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Hal lain yang perlu pula dibereskan adalah besaran premi. Pemerintah hampir pasti memutuskan bahwa iuran pekerja adalah lima persen dari gaji. Namun nantinya empat persen ditanggung perusahaan dan sisanya karyawan. Bila mengacu pada aturan lama, komposisinya adalah 3 : 2. Namun perbandingan 4-1 itu tampaknya tak membuat keberatan kedua pihak.
Yang jadi masalah selanjutnya, kata Sofjan, ialah soal layanan kesehatan. Selama ini banyak perusahaan sudah memiliki asuransi kesehatan ataupun asuransi jiwa dengan layanan kelas II atau kelas I. Nah, sementara BPJS Kesehatan hanya menyediakan untuk kelas III. "Kalau ingin naik kelas, apa kami bisa memakai asuransi yang lama?" ujarnya.
Segala pernak-pernik masalah inilah yang, menurut Sofjan, mesti dibereskan. Jika tidak, dia memprediksi pelaksanaannya akan amburadul. Untuk mencegah kekacauan itu, dia mendorong BPJS Kesehatan menggandeng industri asuransi. Selain akan memperlancar pelaksanaan, kerja sama itu bisa menggenjot laju bisnis asuransi. "Jangan dijalankan sendiri, biar yang lain juga hidup," katanya. "Monopoli kan tidak baik."
Gurihnya bisnis asuransi dengan program BPJS diiyakan Fachrizal Octavianus. Direktur Distribusi Tokio Marine Insurance Indonesia itu menyatakan asuransi kesehatan di Indonesia berpotensi tumbuh lebih dari sepuluh kali pada 2020. Sebab, sejalan dengan biaya kesehatan yang meningkat membuat masyarakat terdorong berasuransi.
Fachrizal menuturkan angka pertumbuhan tersebut didukung oleh adanya BPJS, yang bersifat wajib bagi warga miskin. Adapun di kalangan kelas menengah ke atas timbul kesadaran untuk berasuransi buat mendapat layanan lebih baik.
Pekerjaan rumah memang masih setumpuk. Tapi tekad yang digalang di Sukabumi pada Senin siang itu seperti sebuah perahu yang siap menyongsong lautan. Layar sudah dikembangkan, tak mungkin perjalanan ditunda. l
Janji Menjaga dengan Premi
SETELAH terkatung-katung satu dekade, program jaminan kesehatan nasional akhirnya diberlakukan oleh pemerintah mulai 1 Januari tahun depan. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial, yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada Oktober 2004, lembaga yang diserahi mengemban tugas ini adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Berikut ini anatomi lembaga yang diharapkan membuat masyarakat terjaga kesehatan dan masa depannya dengan premi itu.
Jenis BPJS
Kesehatan: menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
Berlaku: mulai 1 Januari 2014.
Penyelenggara: BPJS Kesehatan (PT Askes).
Layanan: rawat jalan dan inap.
Ketenagakerjaan: menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian.
Penyelenggara: BPJS Ketenagakerjaan (PT Jamsostek). Berlaku: paling lambat 1 Juli 2015.
Penyelenggara: PT Asabri.
Penyelenggara: PT Taspen.
Nilai Premi Kesehatan
Kelompok fakir-miskin dan tidak mampu
Subsidi Rp 19.225 per bulan.
Total subsidi pada 2004 sebesar Rp 19,4 triliun.
Fasilitas: rawat jalan dan inap kelas III.
Kelompok pekerja
Sebesar lima persen dari gaji (perusahaan empat persen, karyawan satu persen).
Plafon gaji minimum Rp 2 juta per bulan.
Fasilitas: rawat jalan dan inap kelas III atau II.
Kelompok pekerja informal
Satu kartu untuk lima anggota keluarga. Pembayaran dilakukan di muka untuk tiga bulan ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo