Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nada suara Fuad Rahmany meninggi setiap kali ditanya tentang perolehannya dalam mengumpulkan penerimaan negara. Dalam banyak kesempatan belakangan ini, termasuk dalam rapat dengar pendapat di Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Direktur Jenderal Pajak itu selalu mengatakan target penerimaan pajak yang dibebankan padanya tahun ini sudah bisa dipastikan tak akan tercapai. Padahal target Rp 995,2 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan itu sudah diturunkan dari plafon semula di angka Rp 1.031,8 triliun.
Tahun lalu, catatan perolehan Fuad tak lebih menggembirakan. Sampai pengujung Desember, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan hanya bisa mendulang Rp 835,25 triliun. Jumlah itu terpaut hampir Rp 50 triliun atau hanya 94,38 persen dari target Rp 885,02 triliun, yang sebenarnya juga sudah dikorting dari patokan sebelumnya. Perlambatan ekonomi sebagai dampak krisis Eropa dan jatuhnya harga komoditas ekspor jadi alasan Fuad ketika itu.
Kali ini, walaupun masih ada sisa dua bulan lebih untuk mengejar target sampai akhir tahun, sejak awal Fuad tak mau berjanji muluk-muluk. Menurut Fuad, jika ia dan anak buahnya bisa melewati 90 persen saja target tersebut, pencapaian itu semestinya sudah boleh dianggap baik. "Kalau bisa segitu saja sudah bagus," ujarnya Jumat dua pekan lalu di kantor Kementerian Keuangan. "Sekarang APBN Perubahan mematok pertumbuhan ekonomi 6,3 persen. Tapi realisasinya 6 persen saja sulit. Sedangkan target pajak tidak bisa diturunkan lagi. Jadi, kalau sekarang pajak bisa tumbuh 10 persen saja, sudah bagus."
Ia menjelaskan, keadaan ekonomi sekarang serba kurang menguntungkan bagi lembaganya. Pajak pertambahan nilai semakin susah digenjot karena impor perlahan-lahan menurun seiring dengan melemahnya nilai rupiah dan usaha pengurangan defisit neraca perdagangan yang kian hari kian melebar. Beberapa industri yang harus membeli bahan bakunya dari luar negeri harus lebih berhitung kalau tak mau tekor.
Sebaliknya, angka ekspor berbagai komoditas andalan juga tak bisa naik sesuai dengan harapan lantaran harganya yang sedang menurun di pasar internasional. Akibatnya bagi penerimaan negara adalah turunnya nilai pajak penghasilan yang diharapkan menjadi tulang punggung pemasukan untuk menopang belanja pemerintah. "Ekspor hasil tambang dan perkebunan selama ini menyumbang porsi besar bagi penerimaan pajak bersama industri manufaktur dan lainnya," kata Fuad Rahmany. "Sekarang semuanya sedang menurun atau stagnan karena kondisi ekonomi Eropa yang belum pulih benar."
Gambaran redup yang disampaikan Fuad itu sesuai dengan keadaan umum yang juga dihadapi para pengusaha yang menjadi subyek pajak yang dikejar-kejar pemerintah. Setelah menikmati masa bonanza pada tahun-tahun sebelumnya, para pengusaha pertambangan batu bara mulai menjerit lebih dari setahun belakangan. Lesunya pasar di Eropa dan Amerika berimbas pada turunnya aktivitas berbagai industri di Cina dan India, yang pada gilirannya akan terasa pula efeknya pada permintaan batu bara sebagai sumber energi di pabrik-pabrik mereka.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, harga batu bara acuan untuk pengiriman September 2013 berada di level US$ 76,8 per ton. Angka itu jauh di bawah harga pengiriman September 2012, yang masih US$ 86,2 per ton. Seorang bankir di salah satu bank swasta nasional mengatakan mendung yang menggelayut di atas pertambangan batu bara itu bahkan berpengaruh pada kualitas tidurnya sejak beberapa bulan lalu. "Saya mulai enggak bisa tidur nyenyak melihat potensi kemacetan yang akan timbul dari kredit di pertambangan yang saya salurkan," ujarnya.
Data awal tahun ini yang tercatat di Bank Indonesia Perwakilan Wilayah II Kalimantan di Banjarmasin memperlihatkan kekhawatiran itu cukup beralasan. Sepanjang 2012, kredit bermasalah alias nonperforming loan di Kalimantan Selatan sudah mulai merambat naik seiring dengan kelesuan sektor pertambangan. Angkanya naik jadi sebesar 1,91 persen, dari posisi tahun sebelumnya sebesar 1,88 persen dari total kredit Rp 25,8 triliun. Jumlah itu masih dinilai aman dan jauh dari ambang batas nonperforming loan 5 persen yang disarankan bank sentral.
Meski begitu, sejumlah bank mulai waspada. Beberapa waktu lalu, Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, mengatakan perseroan akan mengurangi kredit ke sektor komoditas dan alat berat. Menurut dia, harga komoditas yang anjlok membuat perusahaannya bersikap hati-hati menyalurkan kredit di kedua sektor tersebut. "Bisnis ini agak volatile, jadi kami tidak terlalu berani menyalurkan kredit ke sana," katanya.
Menghadapi pasar global yang masih loyo, harga batu bara kurang bisa tertolong di dalam negeri lantaran rencana proyek pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap kedua tak semulus yang diharapkan. Beberapa proyek pembangkit listrik tenaga uap di daerah, seperti Bali dan Jawa Tengah, bahkan terancam gagal karena kerasnya penolakan warga. Tarik-ulur proses perizinan dan masalah lahan juga masih jadi kendala yang selalu memakan waktu lama dalam penyelesaiannya. Akibatnya, byar-pet di sejumlah wilayah, terutama di Sumatera dan Kalimantan, semakin sering terjadi dan PT PLN terpaksa lebih banyak membakar solar di pembangkit-pembangkitnya.
Di lantai bursa, penurunan gairah di ladang-ladang tambang batu bara itu tecermin dalam evaluasi laporan keuangan semester pertama 2013. Tidak ada satu pun emiten batu bara yang mengalami pertumbuhan cerah. Beberapa emiten unggulan, seperti PT Bukit Asam, Indo Tambangraya Megah, Harum Energy, dan Bayan Resources, tercatat masih stagnan, bahkan negatif. Adapun Bumi Resources sudah jeblok lebih dulu setelah didera konflik internal perusahaan.
Para pengamat pasar modal melihat tren ini masih akan berlanjut tahun depan seiring dengan pemangkasan proyeksi pertumbuhan di Cina dan permintaan dari India yang belum beranjak naik. Menurut analis emiten pertambangan dari PT Samuel Sekuritas Indonesia, Yualdo Yudoprawiro, yang berlaku di sini adalah teori ekonomi sederhana. Pasokan batu bara yang lebih banyak daripada permintaan sudah pasti akan membuat harga terpuruk. "Pemerintah Cina sendiri menurunkan outlook pertumbuhannya menjadi 7 persen, dari sebelumnya 7,8 persen. Pelemahan rupee terhadap dolar juga membuat impor India mengalami penurunan, termasuk permintaan batu bara."
Naiknya suku bunga dan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tak menyurutkan niat Burhanuddin, 30 tahun, untuk membeli rumah idaman di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat. Pegawai perusahaan asuransi yang berkantor di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, itu belum lama mendapat promosi dan kenaikan gaji. Tabungan bersama istrinya, sebagai pasangan yang baru punya satu anak, sudah cukup untuk membayar uang muka rumah di atas lahan 120 meter persegi seharga sekitar Rp 400 juta itu. "Mumpung uangnya ada. Kalau enggak beli sekarang, nanti harganya naik lagi," ujarnya Senin pekan lalu.
Kendati dihadang aturan Bank Indonesia yang memperketat kredit, bisnis properti diperkirakan masih akan cukup menikmati pertumbuhan pada tahun mendatang. Beberapa emiten pengembang properti, seperti PT Summarecon Agung Tbk, PT Modernland Realty Tbk, dan PT Agung Podomoro Land Tbk, menilai pertumbuhan kelas menengah—seperti Burhanuddin—masih akan mendorong permintaan properti di segmen menengah pada tahun depan. Tapi pengembang umumnya juga mulai menahan diri dalam berekspansi karena masalah kebijakan dan suhu politik yang kemungkinan besar akan menghangat pada 2014.
Presiden Direktur Summarecon Agung, Johanes Mardjuki, memprediksi tahun depan masih akan terjadi akselerasi pertumbuhan harga properti sebesar 10 persen. Angka itu menurun dibandingkan dengan pertumbuhan harga tahun ini, yang sebesar 20-30 persen. "Faktor yang memperlambat pertumbuhan harga antara lain kenaikan BI Rate menjadi 7,25 persen serta kebijakan baru rasio kredit dan nilai agunan (LTV)," katanya.
Aturan yang memperketat pemberian kredit properti itu dikeluarkan Bank Indonesia bersamaan dengan aturan serupa bagi kredit pemilikan kendaraan bermotor. Intinya, bank sentral meminta bank-bank lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit konsumsi. "Memang ada bahaya bubble (gelembung) ekonomi kalau laju pertumbuhan kredit konsumsi tidak dikendalikan," Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menjelaskan dalam wawancara khusus dengan Tempo beberapa pekan lalu.
Dengan pembatasan-pembatasan itu pun, angka penjualan mobil dan sepeda motor sepertinya masih belum terlalu terganggu. Setelah sempat jeblok sepanjang Agustus lalu, penjualan sepeda motor pada September ini tercatat kembali meningkat sampai 678.139 unit. Jumlah itu naik 38,1 persen dibandingkan dengan catatan penjualan pada bulan sebelumnya, yang mencapai 490.824 unit.
"Penjualan menjelang akhir tahun cenderung meningkat," ujar Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia Sigit Kumala. Dengan realisasi tersebut, Sigit yakin penjualan sepanjang tahun ini akan mencapai 7,5 juta unit. "Lebih besar dari 2012, yang tercatat 7,06 juta unit."
Melihat peluang yang masih menggeliat di beberapa sektor itu, Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengaku masih punya kesempatan mengejar target tahun depan, yang telah dikoreksi menjadi Rp 1.034,1 triliun, dari angka sebelumnya Rp 1.073,7 triliun. Ia sudah merencanakan beberapa langkah ekstensifikasi ke bidang-bidang usaha yang masih banyak lolos dari perpajakan.
Fuad mengaku telah mengantongi dukungan Menteri Keuangan M. Chatib Basri dengan ancang-ancang tambahan pasokan 10 ribu lebih pegawai baru yang akan direkrut pada 2014. "Kami dipaksa tambah target terus, padahal kapasitas kami sendiri terbatas," kata Fuad. "Berkali-kali saya bilang Ditjen Pajak perlu orang. Ini persoalan mendasar."
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2014
Tahun | Pemerintah | Bank Indonesia | Dana Moneter Internasional | Bank Dunia |
2012 | 6,5% | 6,1-6,2% | 6,0% | 6,1% |
2013 | 6,8% (APBN) 6,3% (APBN-P) | 6,3% 5,5-5,9% (Revisi September) | 6,3% 5,25% (Revisi Agustus) | 6,3% 5,9% (Revisi) 5,6% (Revisi Oktober) |
2014 Prediksi) | 6,4% (APBN) 5,8-6,1% (revisi) 5,7% (Revisi Oktober) | 6,4-6,8% 6,0-6,4% (Revisi)5,8-6,2% (Revisi September) | 5,5% | 5,3% |
Diolah dari berbagai sumber
Tim Liputan Khusus Outlook Ekonomi 2014 Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto Kepala Proyek: Y. Tomi Aryanto Penulis: Akbar Tri Kurniawan, Ali Nur Yasin, Dewi Rina Cahyani, Fery Firmansyah, Jobpie Sugiharto, Muhammad Nafi, Rachma Tri Widuri, Retno Sulistyowati, RR Ariyani Yakti Widyastuti, Sorta Marthalena Tobing, Y. Tomi Aryanto Penyumbang Bahan: Ananda Putri, Ananda Teresia, Angga Sukma Wijaya, Ayu Prima Sandi, Bernadette Christina Munthe, Erwan Hernawan, Joniansyah, Linda Hairani, Martha Thertina, Megel Jekson, Pingit Aria, Praga Utama, Prihandoko, Ririn Agustia, Adi Warsono (Bekasi), Ayu Cipta (Tangerang), Syaipul Bakhori (Jambi), Ukky Primartantyo (Solo) Penyunting: Bina Bektiati, Budi Setyarso, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Nugroho Dewanto, Purwanto Setiadi, Tulus Wijanarko, M.Taufiqurohman Periset: Evan, M. Azhar Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Sapto Nugroho Desain: Aji Yuliarto (Koordinator), Agus Darmawan Setiadi, Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo Riset Foto: Jati Mahatmaji Digital Imaging: Wahyu Risyanto |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo