Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUACA belakangan ini benar-benar tak bersahabat bagi pekebun sawit di Jambi. Panas terik dan curah hujan yang minim membuat buah sawit di tandan jadi kurus dan jarang, tak gemuk dan lebat seperti pada panen raya tahun lalu. Akibatnya, produksi minyak sawit mentah alias CPO menyusut. "Cuaca yang tidak menentu mengurangi hasil panen," kata Kimpun, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Cabang Jambi, kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu.
Penurunan produksi CPO diperkirakan berlanjut hingga tahun depan. Selain faktor cuaca, Kimpun menyebutkan sederet faktor penyebab lain, di antaranya luas kebun yang tidak bertambah karena persoalan pengaturan tata ruang yang belum jelas, moratorium pembukaan lahan baru, dan berbagai kebijakan yang dinilai menyulitkan perizinan.
Salah satu kebijakan yang dipertanyakan pengusaha sawit adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Aturan ini mengatur, antara lain, batas maksimal izin usaha perkebunan, yakni 100 ribu hektare per perusahaan atau kelompok perusahaan. Pembatasan ini tidak berlaku bagi badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan perusahaan perkebunan dengan status perseroan terbuka yang sebagian besar sahamnya dimiliki masyarakat. Tidak disebutkan berapa persentase saham publik yang dipersyaratkan.
Saat ini kebun-kebun sawit milik pemerintah, perusahaan swasta, ataupun masyarakat telah mature alias berusia tua. Pemerintah Provinsi Jambi—salah satu penghasil sawit terbesar di Indonesia—sebenarnya sudah berupaya meningkatkan produktivitas melalui peremajaan. Program mengganti tanaman tua dengan bibit baru ini digeber sejak 2011.
Hingga saat ini, lebih dari 13 ribu hektare kebun milik negara dan swasta telah diremajakan. Tapi itu baru 2,5 persen dari total kebun sawit di Provinsi Jambi, yang seluas 515.320 hektare. Sebanyak 76 persen merupakan kebun yang sudah menghasilkan dan 23 persen kebun belum berbuah. Kementerian Pertanian mencatat luas kebun sawit di Indonesia pada 2012 mencapai 9,07 juta hektare. Sebanyak 90 persen berada di luar Jawa.
Toh, peremajaan tanaman tak mampu menahan laju penurunan produksi. Karena itu, Gapki merevisi target produksi CPO tahun ini yang telah ditetapkan 27,5 juta ton. Hanya, belum bisa diperkirakan apakah produksi pada 2013 akan lebih rendah dibanding tahun ini sebesar 26,5 juta ton. "Ini faktor iklim. Akumulasi kondisi iklim yang terjadi tiga tahun lalu dampaknya baru dirasakan sekarang," kata Sekretaris Jenderal Gapki Joko Supriyono kepada Tempo.
Padahal kebutuhan minyak sawit dalam negeri dipastikan meningkat tahun depan. Agustus lalu, pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi untuk merespons pelemahan rupiah. Salah satunya dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. "Kita terlalu bergantung pada solar dan Premium, yang banyak diimpor," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik.
Menindaklanjuti kebijakan itu, Jero menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Intinya, penggunaan unsur nabati dalam bahan bakar minyak yang sebelumnya ditargetkan 1,1 juta kiloliter dinaikkan menjadi 1,2 juta kiloliter tahun ini. Menurut Jero, penggunaan energi terbarukan dapat menghemat belanja subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 7 triliun.
Kementerian Energi mencatat, sepanjang Januari-Agustus 2013, penggunaan bahan nabati dalam bentuk fatty acid methyl ester hanya sebesar 500.033 kiloliter alias baru 41,7 persen dari target. Fatty acid methyl ester atau FAME adalah minyak nabati yang siap dicampurkan dengan solar.
Pertengahan September lalu, PT Pertamina (Persero) mengumumkan lelang pengadaan FAME sebanyak 6,6 juta kiloliter. Pertamina mengundang perusahaan nasional yang memenuhi syarat. Tender ini untuk mendapatkan stok FAME selama dua tahun, yakni 2014 dan 2015. Pasokan FAME itu diharapkan dapat menekan nilai impor minimal US$ 2,6 miliar (sekitar Rp 29,1 triliun) per tahun.
Penggunaan FAME sebagai campuran solar diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 sebesar 2,5 persen. Sejak itu, Pertamina terus meningkatkan volume penggunaan dari semula hanya 126.098 kiloliter (setara dengan 2,4 juta kiloliter biosolar) pada 2008 menjadi 669.245 kiloliter (setara dengan 9,3 juta kiloliter biosolar).
Pada awal 2012, sebanyak 70 persen solar bersubsidi yang didistribusikan Pertamina telah mengandung 7,5 persen FAME. Kini pemerintah memutuskan meningkatkan kandungan FAME menjadi 10 persen. Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya memastikan penggunaan biofuel berlaku efektif per 1 September. "Biofuel sudah tersedia di 32 tempat pengisian terminal BBM."
Pertamina menambah infrastruktur pencampur solar dengan FAME di wilayah Indonesia timur. Harapannya, pada 2014 seluruh solar subsidi sudah dicampur dengan 10 persen FAME. Rencananya, FAME juga akan dicampurkan ke minyak diesel nonsubsidi untuk keperluan pembangkit listrik, industri, dan komersial. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap hingga akhir tahun.
Saat ini Pertamina memiliki kapasitas terpasang biodiesel sebesar 5,6 juta kiloliter per tahun, berasal dari 25 produsen biodiesel yang memiliki izin usaha niaga bahan bakar nabati (BBN). Sebanyak 4,5 juta kiloliter di antaranya telah siap berproduksi. Sedangkan kapasitas produksi bioetaÂnol sebesar 416 ribu kiloliter per tahun berasal dari delapan produsen bioetanol yang memiliki izin usaha niaga BBN. Sebanyak 200 ribu kiloliter di antaranya siap berproduksi.
Toh, peningkatan penggunaan minyak nabati untuk bahan campuran solar tak membuat pengusaha sawit yakin betul kebutuhan CPO domestik akan meningkat drastis. Gapki memperkirakan konsumsi dalam negeri pada 2014 sebanyak 6-7 juta ton (25-30 persen produksi CPO nasional). Jumlah itu sudah termasuk alokasi untuk biodiesel. Menurut Joko Supriyono, perlu kebijakan harga yang mendukung agar produsen biodiesel mampu menyerap CPO. "Tergantung kesiapan pemerintah sendiri dalam membuat pricing policy," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. "Buktinya sekarang masih banyak biodiesel yang diekspor."
Pada 2012, produksi biodiesel Indonesia sekitar 2,2 juta kiloliter. Sebanyak 670 ribu kiloliter dimanfaatkan untuk domestik, sedangkan 1,5 juta kiloliter diekspor. "Kebutuhan domestik biasanya tumbuh dari konsumsi makanan per kapita dan dari biodiesel. Berapa pun permintaan domestik, pasti kami penuhi," ujar Joko.
Prinsipnya, Gapki menyambut kebijakan peningkatan penggunaan minyak nabati dalam biodiesel untuk diversifikasi pasar CPO. Tapi Joko menyarankan pemerintah memperhatikan persoalan harga dan infrastruktur pengangkut.
Berharap Terulangnya Masa Keemasan
BARU saja berkibar, kopi luak produksi Indonesia sudah dihantam kritik para penyayang binatang. Jason Barker dari People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) berkampanye ke mana-mana menunjukkan video tentang kondisi luak pengunyah kopi dalam kandang sempit dan kotor. "Banyak perusahaan yang mengklaim menjual kopi luak liar, tapi tidak ada yang bisa membuktikan," kata Barker.
Wakil Ketua Kompartemen Industri Kopi Spesialti Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Pranoto Soenarto menilai tudingan itu sebagai kampanye hitam. "Mereka hanya mencari sensasi. Kita buktikan, pasti permintaan akan tetap ada." Ia menjamin tuduhan penyiksaan binatang itu seratus persen salah. "Kami memelihara luak itu tidak murah, per ekor habis Rp 1,7 juta sebulan."
AEKI mencatat produksi kopi luak saat ini lebih dari 10 ton per tahun. Sebanyak 2-3 ton di antaranya diekspor ke Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Hong Kong. Adapun konsumsi domestik kurang dari 1 ton. Artinya, separuh lebih produk tidak terserap. Toh, pengusaha tak risau karena harga jualnya US$ 100 per kilogram, jauh di atas kopi jenis biasa.
Demam kopi luak menjadi penghibur di tengah lesunya industri kopi biasa. Tahun ini produksi biji kopi biasa diperkirakan 700 ribu ton. Tapi tahun depan diperkirakan turun 5-10 persen karena pengaruh cuaca. "Sepanjang tahun banyak hujan, produksi dan kualitas kopi jadi turun," ujar Pranoto.
Saat ini 75 persen produksi kopi nasional merupakan jenis robusta dan sisanya jenis arabika. Kopi robusta banyak dihasilkan petani di Sumatera Selatan dan Lampung. Sedangkan kopi arabika diambil dari Sumatera Utara dan Aceh. Nah, di daerah-daerah itu curah hujan tinggi terjadi sepanjang tahun ini.
Pada 2012, sekitar 80 persen produksi kopi nasional diekspor senilai US$ 1,5 miliar. Tahun ini nilai dan volume ekspor diprediksi susut. "Kami berharap tahun depan bisa mencapai masa keemasan seperti tahun 2012," kata Pranoto.
Senasib dengan kopi, ekspor biji cokelat atau kakao tahun depan pun terancam merosot 30 persen. "Curah hujan sangat tinggi sehingga biji kakao banyak yang menjamur dan membusuk," ucap Firman Bakri, Sekretaris Jenderal Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), pekan lalu. Firman menuturkan, pada 2012, ekspor biji kakao mencapai 160 ribu ton dan diperkirakan naik menjadi 270 ribu ton sampai akhir 2013. Namun tahun depan diperkirakan anjlok menjadi 100 ribu ton saja.
Ketua Umum Askindo Zulhelfi Sikumbang terang-terangan mengakui produksi kakao nasional tak bisa diharapkan. Dari sekitar 460 ribu ton produksi biji kakao nasional, mayoritas berkualitas rendah. Akibatnya, perusahaan kakao nasional kalah bersaing dengan perusahaan multinasional. Tujuh perusahaan kakao nasional sudah lempar handuk dan hanya mampu berdagang. "Perusahaan yang masih sanggup bersaing tinggal enam. Pembeli dari Amerika Serikat, Swiss, dan Malaysia pun kini lebih percaya kepada perusahaan multinasional."
Harapan muncul dari produk olahan kakao, yang diproyeksikan naik 20-30 persen. "Karena ada sejumlah industri kakao baru," ujar Firman. Tahun lalu dan tahun ini ekspor produk kakao olahan mencapai 300 ribu ton. Tahun depan diprediksi meningkat menjadi 350 ribu ton.
Prospek bisnis teh juga diperkirakan cerah. Salah satu produsen teh nasional, PT Rajawali Mitra Kerinci, bersiap meningkatkan ekspor teh hitam dan teh hijau ke Taiwan. Anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) ini telah menerima banyak order dari Belanda, Jerman, Taiwan, Hong Kong, dan Pakistan. "Teh hitam produksi Rajawali Mitra Kerinci memiliki kualitas terbaik di dunia," kata Direktur Utama PT RNI Ismed Hasan Putro.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir menunjuk rendahnya produktivitas dan kualitas beberapa komoditas perkebunan unggulan karena usia tanamÂan sudah tua. Sekitar 80 persen tanaman perkebunan rakyat berumur lebih dari 25 tahun. Penyebab lain: perubahan iklim yang sangat drastis dalam waktu singkat.
"Harus ada peremajaan. Itu butuh dana besar, sementara dana APBN terbatas," ujar Gamal akhir pekan lalu. Tahun depan Kementerian Pertanian menyediakan Rp 48 miliar untuk peremajaan tanaman teh. Adapun buat peningkatan produksi dan mutu kakao dialokasikan Rp 280 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo