ABDURRAHMAN adalah seorang pembuat teka-teki kelas wahid. Apalagi untuk kategori politik. Impaknya dijamin selalu dahsyat. Yang paling anyar dilontarkannya di muka Forum Rembuk Nasional di Bali, 1 Juli lalu. Buntutnya, lagi-lagi, sebuah gegar politik. Kali ini, ia menyatakan telah meneken surat persetujuan pemeriksaan sejumlah anggota DPR/MPR. Di dalamnya tersirat nada gawat. Sang Presiden telah meminta Jaksa Agung Marzuki Darusman menangkap si Fulan, seseorang yang disebutnya sebagai "biang kerok" dari segala kekisruhan. Cuma, bukti tak kunjung diperoleh.
Presiden kemudian meralatnya, sembari menuding pers telah main pelintir. Tapi komplikasi telanjur menjalar. Bukan apa-apa. Pernyataan itu merupakan rangkaian dari berbagai pernyataan sebelumnya. Berulang kali, Presiden Abdurrahman melansir pernyataan adanya tokoh kakap di parlemen yang berniat mendongkelnya. Caranya, dengan menggulirkan interpelasi pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari kabinet, rencana pemakaian hak angket dalam kasus Bulog dan dana Sultan Brunei, bahkan juga mendanai berbagai kerusuhan untuk meruntuhkan legitimasi pemerintahannya. Kepala Kepolisian RI bahkan telah ia perintahkan agar menangkap si tokoh, ada bukti ataupun tidak. "Kalau tidak terbukti, ya, nanti dilepas setelah sidang tahunan," kata Presiden. Tenggatnya 15 Juli mendatang.
Dan harga yang mesti dibayar kelewat mahal. Nilai rupiah kembali terjun bebas. Kepanikan menjelang sidang tahunan Agustus mendatang makin menjadi. Banyak yang percaya, inilah titik paling kritis bagi kelangsungan pemerintahanan Abdurrahman.
Permainan tebak-tebakan pun dimulai. Siapa si Fulan itu? Spekulasi kontan bertebaran, termasuk ada yang mereka-reka daftar 40 nama musuh politik Presiden Abdurrahman yang bakal segera ditangkap.
Kenyataannya tak seseru itu. Seorang pejabat tinggi di Sekretariat Negara memberi klarifikasi. Yang telah diteken Presiden Abdurrahman pada Sabtu dua pekan lalu untuk diperiksa kejaksaan cuma ada dua nama. Mereka adalah Fuad Bawazier dan Siswono Yudohusodo. "Tapi murni sebagai saksi dalam kasus Soeharto," katanya. Ini dikukuhkan lewat daftar 115 nama saksi yang disodorkan ke Sekretaris Jenderal MPR untuk dicocokkan. Dari daftar itu, memang cuma ada dua nama di atas yang kini tercatat di Senayan. Nama Ginandjar tak tertera. Yang tercantum, salah satu putranya, Indra Kartasasmita, selaku sekretaris Yayasan Dharmais.
Siswono tenang-tenang saja. Mantan Sekretaris Yayasan Dakab ini mengaku telah menerima surat panggilan dari kejaksaan. Ia malah menyatakan keheranannya dengan segala ramai-ramai ini. "Tampaknya politisi kita sudah terlalu pintar mempolitisir segala-segalanya. Mungkin saja Fuad Bawazier punya persoalan politik lain dan lantas meributkannya," katanya.
Persoalan politik lain—bukan semata-mata penegakan hukum. Itulah yang kini muncul. Maklum, pertempuran politik di Senayan menjelang Agustus memang kian sengit.
Parlemen menyambut dengan reaksi keras. Perlawanan terhadap Presiden Abdurrahman makin kental. Dia kembali dituding telah menunggangi hukum untuk memukul lawan-lawan politiknya. "Biar rakyat yang menilai, seperti apa itu Presiden?" kata Didi Supriyanto dari Fraksi PDI Perjuangan dengan nada tinggi. "Gus Dur bermanuver dengan melakukan teror politik," kata motor interpelasi dari Golkar, Ade Komaruddin. Adapun Ketua PPP Faisal Baasir menilai pemeriksaan itu sebagai perlawanan barisan Presiden atas interpelasi yang diloloskan dua pertiga anggota dewan.
Suara Amien Rais tak kalah sengit. "Saya menyayangkan kenapa Gus Dur dihinggapi semacam paranoid," katanya. Kecurigaan berlebih itu, menurut Amien, sempat tecermin oleh pernyataan Presiden dalam sidang kabinet bahwa dia tak lagi bisa mempercayai siapa pun. Sampai-sampai, ketika itu Megawati menyeletuk, "Termasuk saya?"
Mengaku menanggung beban moril berat karena dulu telah mendukung Abdurrahman Wahid jadi presiden, Amien mengaku tengah memikirkan sebuah jalan keluar yang enak buat semua pihak. "Tidak mungkin 210 juta rakyat Indonesia terus disandera seorang Gus Dur."
Faisal Baasir mengungkapkan, meski belum dalam tataran formal, para elite politik telah menyepakati formula duet Mega-Akbar di tampuk kepemimpinan nasional, Amien tetap di posisinya sekarang, dan Ketua Umum PPP Hamzah Haz menempati kursi ketua dewan.
Sejumlah politisi bahkan mengungkapkan hidupnya kembali opsi sidang istimewa. Begini skenarionya. Di sidang tahunan, laporan tahunan Presiden akan ditolak. Ini upaya mendesak agar Presiden Abdurrahman mengundurkan diri. Jika tak berhasil, memorandum untuk menggelar sidang istimewa akan bergulir. "Kira-kira Desember," kata seorang anggota parlemen. Ada juga upaya untuk membatasi ruang gerak Presiden Abdurrahman sebatas sebagai kepala negara. Roda pemerintahan diserahkan ke Megawati atau seorang menteri pertama.
Dalam kaitan itulah, upaya melakukan serangan balik dirancang. "Sang kakap" perlu dibekap. Sejumlah petinggi Partai Kebangkitan Bangsa memastikan "kakap" yang dimaksud tak lain adalah Fuad Bawazier dan Ginandjar Kartasasmita. Caranya? "Sementara memang sebagai saksi dalam kasus Soeharto. Tapi tidak tertutup kemungkinan akan berkembang lebih jauh,'' kata seorang lingkaran dalam Istana.
Fuad mereka tuding telah mendalangi pertikaian berdarah di Maluku dan sejumlah tempat lainnya untuk menggoyahkan legitimasi Presiden Abdurrahman. Mantan Menteri Keuangan berdarah Arab yang dekat dengan Cendana ini disebut pula telah mendanai Laskar Jihad, pertemuan para habaib di Bogor, dan demonstrasi besar-besaran para guru. Motifnya, kata mereka, Fuad, yang pada awalnya ngotot mendukung Abdurrahman Wahid jadi presiden, belakangan sakit hati karena tak kebagian kursi di kabinet. Terakhir niatnya masuk di jajaran Dewan Ekonomi Nasional pun kandas.
Kini Fuad memang baru dipanggil sebagai saksi dalam kasus Soeharto. Sebelumnya telah dua kali ia dimintai keterangan aparat penyidik. Menurut seorang jaksa senior, semasa menjabat Dirjen Pajak—juga merangkap Wakil Sekretaris Dana Sejahtera Mandiri, salah satu yayasan Soeharto—Fuad pernah mengeluarkan keputusan pembebasan pajak terhadap seluruh pendapatan yayasan. Hasil penyidikan mengungkapkan, dalam prakteknya pengumpulan dana berkedok kepentingan amal itu kemudian banyak digunakan untuk menggelembungkan bisnis klan Soeharto.
Cuma, menurut sang penyidik, dalam kasus ini Fuad tak mungkin dijerat. Soalnya, ketentuan memang membolehkan penghapusan pajak bagi badan sosial. Kalaupun terjadi penyelewengan, yang bisa dijaring adalah pihak yayasan. "Itu kesimpulan dulu, enggak tahu kalau sekarang ada perkembangan baru," katanya.
Fuad boleh waswas. Tampaknya, ia mesti bersiap dibidik dengan banyak kasus lain. Sekretaris Fraksi PKB Abdul Khaliq Ahmad menyatakannya. "Dulu, Fuad sudah bisa dikategorikan makar. Tapi Gus Dur tidak mau memakai pasal itu. Karena itu, ia cukup dimintai keterangan sebagai saksi. Kalau ternyata bukti menguatkan, ya, bisa saja kemudian dijadikan tersangka,'' katanya. Bahkan, menurut Kepala Humas Fraksi PKB, Effendi Choirie, Fuad juga berpeluang dipanggil dalam berbagai kasus kerusuhan. Toh, seorang kalangan dekat Istana mengaku, tudingan serius itu tak didukung cukup bukti. "Ini memang baru indikasi, berapa ia menyumbang kami tak punya bukti secara hukum," katanya.
Ginandjar lain lagi. Menurut anggota Fraksi PKB, Kiai Nur Iskandar S.Q., Presiden Abdurrahman memang mendapat informasi bahwa wakil ketua MPR ini berupaya mendongkelnya. Sejak awal, Ginandjar telah menyatakan ketidaksetujuannya Abdurrahman dipilih jadi presiden. "Dia pernah ngomong langsung pada saya, apa mungkin Gus Dur dicalonkan jadi presiden dengan kesehatan begitu rupa. Bagaimana kalau nanti dijatuhkan di tengah jalan," kata Nur menirukan.
Jaring untuk Ginandjar, kata seorang sumber PKB, adalah kasus Balongan dan kontrak karya PT Freeport. Hal ini dikukuhkan seorang kalangan dekat Marzuki. Menurut dia, Ginandjar pada gilirannya juga akan dipanggil ke Gedung Bundar.
Kepada TEMPO, baik Fuad maupun Ginandjar membantah segala tudingan itu (lihat wawancara).
Tapi Arifin Junaidi dari Fraksi PKB keras menyanggah tudingan bahwa pemanggilan itu sarat muatan politis. "Presiden dimintai keterangan polisi saja tidak ribut,'' katanya sembari tersenyum. Demikian pula Jaksa Agung Marzuki Darusman. "Bukan baru sekarang nama Fuad muncul. Ini tak ada hubungannya dengan sidang tahunan," katanya. Memang tak tertutup kemungkinan status Fuad ditingkatkan menjadi tersangka. Tapi, katanya lagi, sampai sekarang bukti-bukti ke arah itu belum ada. Pihaknya juga belum memiliki rencana memanggil Ginandjar. Tapi, kata Marzuki diplomatis, bukan mustahil kejaksaan akan memeriksanya, "Mengingat ia bertanggung jawab atas beberapa kebijakan di eranya."
Ada sejumlah jurus lain, kata Nur Iskandar. Salah satunya, Presiden juga telah membentuk Tim Pembentuk Opini Publik. Tim kecil ini diketuai Arifin Junaidi, dan Effendi Choirie sebagai sekretaris. "Tujuannya membangun opini positif, bahwa interpelasi yang diajukan DPR tidak tepat secara substansial ataupun prosedural," kata Nur.
Sebuah "bom" juga tengah disiapkan. Kini giliran Fraksi PKB mengajukan hak angket. Kasus yang diusung adalah penyelewengan dana Tabungan Perumahan senilai Rp 180 miliar. Yang menarik, di sini ada indikasi keterlibatan ketua dewan, Akbar Tandjung, yang ketika itu menjabat Menteri Negara Perumahan Rakyat. Para petinggi PKB membantah menggunakannya sebagai "balas dendam politik". Tapi Akbar bersuara lain. "Jelas, kasus ini digunakan oleh pihak yang tak senang cara saya memimpin dewan," katanya.
Langkah mengusut tuntas perkara korupsi jelas patut diacungi jempol. Siapa pun pelakunya. Termasuk jika itu menyangkut Fuad, Ginandjar, Akbar, atau seorang presiden sekalipun. Yang patut disesalkan, jika upaya penegakan hukum itu lantas disimpangkan jadi sekadar gada politik.
Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya, Tiarma Siboro, Wens Manggut, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini