Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jatuhnya rupiah pekan lalu berawal dari pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid dalam acara Forum Rembuk Nasional di Bali. Presiden menuding adanya "biang kerok" kerusuhan yang duduk di DPR/MPR. Bagi pelaku pasar, pernyataan ini mengisyaratkan secara gamblang bakal terjadinya konflik terbuka antarelite politik. Meskipun Presiden kemudian membantah pernyataannya sendiri, rupiah telanjur meluncur jatuh 200 poin dari hari sebelumnya.
Celakanya, belum lagi jernih perdebatan biang kerok, sebuah bom meledak di Gedung Kejaksaan Agung. Meskipun tak ada korban jiwa, ledakan bom membuat rupiah anjlok lebih jauh: 300 poin. Keesokan harinya, satu lagi bom rakitan ditemukan di gedung yang sama. Hasilnya, sampai tulisan ini diturunkan, rupiah bertengger di posisi Rp 9.300 tiap dolar.
Menyimak rentetan peristiwa tadi, seperti koor, para pengamat kompak menuding politik sebagai biang kejatuhan rupiah. "Ini benar-benar tidak berhubungan dengan fundamental ekonomi," kata John Dodsworth, Kepala Perwakilan IMF di Jakarta.
Namun, mengatakan bahwa jatuhnya rupiah kali ini murni disebabkan politik, apalagi murni akibat pernyataan Presiden Abdurrahman, mungkin berlebihan. Sejumlah faktor ekonomi, baik internal maupun eksternal, ikut terlibat (lihat Ekonomi & Bisnis). Salah satu yang mencolok adalah langkah The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menggenjot suku bunga dari 6 menjadi 6,5 persen pada Mei lalu, yang membuat semua mata uang Asia memang melemah. Aksi The Fed ini membuat investasi dolar lebih menarik.
Tapi berbeda dari negara-negara Asia lainnya, di Indonesia faktor eksternal itu "berkomplot" dengan ramainya gejolak politik. "Sebuah kombinasi yang tidak bagus," kata ekonom sebuah perusahaan sekuritas asing. Pardy Kendy, Direktur Pelaksana Bank Buana Indonesia, yakin bahwa tekanan atas rupiah akan terus berlangsung hingga sidang tahunan MPR Agustus nanti. Situasi makin buruk bila Presiden menanggapi hak interpelasi DPR dengan tidak bijaksana. "Kurs gampang meluncur sampai Rp 10.000 per dolar," kata Pardy.
Sebenarnya, pemerintahan Abdurrahman Wahid mendapat keuntungan dari beberapa sisi. Secara obyektif, arena spekulasi rupiah kini relatif lebih anteng ketimbang masa awal krisis. Maklumlah, sejak rugi besar dalam spekulasi mata uang Rusia lebih dari setahun lalu, banyak pemain dunia mundur dari jagat spekulasi. Presiden Abdurrahman juga mewarisi kurs dan inflasi yang telah dijinakkan oleh tim ekonomi Habibie. Layak dicatat, harga keberhasilan ini sangat mahal. BI harus mengerek suku bunga SBI sampai 70 persen, yang mencekik rakyat dan dunia usaha. Dunia perbankan juga harus berdarah-darah menanggung negative spreadyang buntutnya ditanggung rakyat melalui program rekapitalisasi.
Kecil kemungkinan akan ada impeachment atau pemecatan presiden. Namun, bahkan jika itu terjadi, pergantian pemerintahan, sepanjang diselenggarakan secara demokratis, adalah keniscayaan yang wajar di Indonesia pasca-Soeharto. Pernyataan kontroversial yang dilontarkan para politisilah, apakah itu Presiden Abdurrahman atau Ketua MPR Amien Rais, yang sering membuat apa yang wajar seolah-olah gawat.
Seorang direktur bank swasta di Jakarta menyarankan agar para pejabat tinggi memanfaatkan jasa public relation profesional. Kebutuhan mengolah informasi secara bijak, kata sang bankir, tak kalah pentingnya dengan memperbaiki fundamental ekonomi.
Mardiyah Chamim, Ardi Bramantyo, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo