Meski telah dikoreksinya sendiri, pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang "biang kerok" telah membuka spekulasi berkelanjutan tentang siapa sebenarnya yang dia maksud. Salah satu spekulasi tertuju ke Ginandjar Kartasasmita.
Mantan menteri Soeharto yang lihai bertahan di sejumlah krisis itu tak hanya anggota parlemen, sehingga cocok dengan sinyalemen Presiden Abdurrahman. Dia bahkan wakil ketua MPR, sebuah posisi yang strategis untuk berhadapan dengan Presiden. Ginandjar juga masuk dalam daftar yang oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono disebut-sebut memiliki kemungkinan mengotaki kerusuhan di berbagai pelosok untuk menciptakan instabilitas; dia duduk dalam kabient Soeharto serta Habibie.
Kabar bahwa Ginandjar akan ditangkap, atau setidaknya diperiksa, sedemikian kencang. Tekanan politik terhadap dirinya juga kian runcing. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, yang dikenal sebagai pendukung Presiden Abdurrahman, memelopori sebuah sidang komisi DPR pekan ini yang akan mendatangkan Ginandjar dalam kaitan dugaan korupsinya di masa lalu.
Apa yang sebenarnya dilakukan Ginandjar? Sumber TEMPO yang dekat dengan lingkungan Presiden mengatakan adanya informasi yang menyebut Ginandjar tengah merancang pengerahan massa menjelang Agustus nanti, untuk mendesak mundurnya sang Presiden.
Tidak hanya itu. Ginandjar juga dianggap sebagai simpul dari bersatunya kekuatan antara PDI Perjuangan dan Golkar untuk menekan Presiden Abdurrahman belakangan ini. "Ginandjar yang secara intensif mengatur pertemuan antara tokoh-tokoh partai politik itu," kata sumber tadi.
"Pak Ginandjar memang selalu hadir dalam empat kali pertemuan antara Akbar Tandjung dan Bu Mega," kata Pramono Anung, anggota DPR asal PDI-P. Namun, kehadiran mantan Menko Ekuin itu, menurut Pramono, wajar saja karena kapasitasnya sebagai orang Golkar.
Bagaimanapun, Ginandjar memang bukan tokoh asing bagi Megawati. Lolosnya Ginandjar, yang Golkar, menjadi anggota MPR Utusan Daerah Jawa Barat, yang mayoritas kursinya dikuasai PDI-P, diduga merupakan salah satu bukti kedekatan mereka.
Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, juga menggunakan Ginandjar untuk melobi Megawati. "Dua minggu yang lalu Hamzah bertandang ke rumah Ginandjar dan menyatakan persetujuannya untuk mengangkat duet Mega-Akbar menggantikan Gus Dur, asal posisi Akbar dia gantikan," kata sebuah sumber di Golkar.
Peluang menyatukan berbagai tokoh partai besar yang sempat berseberangan, terutama Megawati dan Amien Rais, memang saat ini terbuka lebar. Pemecatan Laksamana Sukardi, Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz, ungkapan kontroversial serta mencuatnya berbagai kasus dugaan korupsi dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid memang telah menyatukan berbagai front yang selama ini terbelah. Dan Ginandjar, seorang politisi kawakan, adalah tokoh potensial untuk menjadi perekat.
Namun, Ginandjar juga bukan tak punya "tungkai Achilles". Dan pendukung Presiden di PKB tahu akan hal itu. Jika secara politik sulit ditundukkan, Ginandjar rawan dipersoalkan sejumlah kasus lamanya yang kini tengah diperiksa Kejaksaan Agung. Di antaranya adalah pepanjangan kontrak karya PT Freeport sebelum masa kontrak habis, yang ditandatangani Ginandjar selaku Menteri Pertambangan dan Energi, pada 1991. Pembelian 10 persen saham PT Freeport oleh Grup Bakrie saat kontrak diperpanjang juga diduga mengandung unsur kolusi. Maklum, Grup Bakrie dikenal punya hubungan dekat dengan Ginandjar.
Di luar itu, ada pula kasus penggelembungan dana pembangunan kilang minyak Pertamina di Balongan. Persetujuan Ginandjar, selaku Menteri Pertambangan, terhadap gagasan agar Pertamina tidak diberi porsi besar dalam pengerjaan proyek juga diduga mengandung unsur kolusi dan korupsi.
Ginandjar membantah semua tudingan, termasuk tuduhan merancang skema menurunkan Presiden Abdurrahman, Agustus nanti. Soal penggalangan massa untuk berbuat kerusuhan, kata dia, juga tidak pernah terlintas dalam pikirannya. "Saya tidak merasa punya masalah apa pun dengan Bapak Presiden," katanya.
Demikian pula dengan tuduhan korupsi. Keputusan dalam kasus Balongan, kata dia, bukan dilakukan oleh Menteri Pertambangan, melainkan oleh Menko Ekuin, yang kala itu dijabat Radius Prawiro. Sedangkan kontrak Freeport, menurut dia, diputuskannya sesuai dengan peraturan. "Kalau tidak, mana mungkin Amerika Serikat akan menyatakan proyek itu bersih dari KKN?" ujarnya.
Ginandjar barangkali memang harus diperiksa untuk kasus-kasus dugaan korupsi itu. Pemeriksaan, dan bahkan pengadilan, juga akan menjadi alatnya untuk membersihkan nama jika semua tudingan tak terbukti. Tapi, jelas dia tidak layak diperiksa atau diadili hanya karena berseberangan politik dengan Presiden.
Johan Budi S.P., Wenseslaus Manggut, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini