Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batu-batu melayang menghujani kampus Universitas Res Publica yang terletak tak jauh dari Rumah Sakit Sin Ming Hui, Grogol. Mahasiswa di dalam kampus pun membalas lemparan itu. Perang batu antara mahasiswa Universitas Res Publica (Ureca) dan massa liar yang tak diketahui asalnya itu tak terelakkan di pagi menjelang siang pada 15 Oktober 1965.
Peristiwa itu masih membekas dalam memori Khouw Thian Hong atau Benny G. Setiono, 71 tahun. Siang itu, sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Res Publica, ia turut mempertahankan kampus. Umurnya masih 22 tahun saat itu. Benny ingat ia menggenggam rantai sepeda di tangan. Sedangkan mahasiswa Ureca yang lain membawa apa pun.
Seingat Benny, di antara massa yang datang, ada beberapa yang mengenakan atribut organisasi ekstrakampus, Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), telanjur merangsek, melompati gerbang setinggi dada orang dewasa. Benny dan kawan-kawannya tak kuasa melawan mereka. Pintu gerbang besi itu bisa didobrak dengan ditarik truk.
"Apalagi setelah terdengar tembakan oleh tentara, terpaksa kami mundur," ujar Benny kepada Tempo.
Massa penyerbu semakin beringas. Mereka membakar gedung Kampus A yang dibangun sendiri oleh tangan para mahasiswa dan dosen universitas yang semula bernama Universitas Baperki itu. Setelah puas meluluhlantakkan Kampus A, massa menjarah Kampus B, yang berada di kawasan Slipi.
Perlawanan juga dikisahkan oleh Tan Ping Ien, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa saat itu. Ia mengkoordinasi puluhan mahasiswa untuk "ronda" mengamankan kampusnya. Dalam buku Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, Tan bercerita mahasiswa sudah mendapat informasi tentang rencana penyerbuan kampus mereka. Beberapa aktivis mahasiswa dari PMKRI, Himpunan Mahasiswa Islam, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia datang dan meminta mahasiswa lain membubarkan diri demi keselamatan mereka.
"Pada pukul 14.00, mereka datang tergopoh-gopoh menemui saya dan memberi tahu akan ada aksi besar menghancurkan Ureca," tulis Tan Ping Ien. Informasi ini disampaikan kepada mahasiswa yang lain. Mereka pun menutup kampus. "Kami tidur bergilir dan minum banyak kopi."
Keesokan paginya, dengan mata yang masih "pedas" karena kurang tidur, Tan berkeliling memeriksa. Ternyata rombongan wartawan sudah datang lebih dulu. Mereka tiba mendahului massa yang akan segera datang. Dua aktivis mahasiswa, Tjio Keng Liong dari PMKRI dan Ayub Sani dari HMI, dengan berlinang air mata meminta Tan Ping Ien dan kawan-kawannya segera pergi daripada mati konyol. Tak berapa lama, beberapa jip dan truk militer datang. Tak kurang dari 20 tentara masuk ke kampus. Melihat itu, Keng Ling dan Ayub pergi.
Mayor CI Santoso, yang mengomandani para tentara, meminta Tan Ping Ien mundur, tapi diabaikan. Tak berapa lama, suara gemuruh datang mengiringi bus-truk yang mengangkut massa berjaket kuning, biru, dan hijau. Dengan penuh amarah, mereka meneriakkan yel-yel untuk membakar Ureca. Saat itulah batu mulai berhamburan. Tan tetap bertahan hingga Mayor Santoso marah dan menodongkan pistolnya. "Perintahkan semua temanmu mundur. Tak ada gunanya melawan. Mereka bukan mahasiswa. Rekan-rekanmu bukan tandingan."
Laboratorium di beberapa fakultas meledak dan hangus terbakar. Menurut Tan, ada kelompok massa yang naik ke lantai 2 dan membakar secara serentak gedung yang mereka bangun.
Kampus Ureca dicap sebagai kampus "kiri" yang terafiliasi dengan komunis dan Cina. Benny mengakui Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) memang berkembang pesat di kampus itu, tapi dia menampik jika Ureca disebut sarang CGMI.
Kabar soal banyaknya anggota CGMI di kampus itu dibenarkan Go Gien Tjwan, Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, yang saat kejadian itu berada di sana. Menurut Go dalam buku Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, kampus memang menjadi tempat menginap para peserta pertemuan akbar CGMI yang berasal dari luar Jawa. "Mereka terpaksa karena diusir dari stadion olahraga Senayan," tulis Go.
Harry Tjan Silalahi, yang menjadi Sekretaris Jenderal Front Pancasila waktu itu, kepada Tempo mengatakan tidak mengenal siapa yang menyerbu Ureca. Yang pasti, kata Harry, para penyerbu adalah aktivis kesatuan mahasiswa yang antikomunis. "Mereka tersinggung oleh pernyataan Aidit, 'Kalau CGMI tidak mau membubarkan HMI, pakai sarung saja'," ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Selasa pekan lalu.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo