Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kwa Sioe Ing, 64 tahun, menunjuk rumah berpagar besi hitam kecokelatan yang berkarat di Gang Kapasan Dalam 2 Nomor 18, Kapasan, Simokerto, Surabaya. Menurut sesepuh Kapasan itu, rumah yang tepat berada di seberang rumahnya tersebut tak berpenghuni. Rumah itu tampak tidak terawat. Permukaan jendela dan lantai terasnya dipenuhi debu. Plafonnya juga sudah jebol. Seingat Kwa Sioe Ing, rumah itu sudah berulang kali direnovasi. "Kalau tidak salah, dulu memang ditempati orang Baperki," ujarnya.
Anak keenam Siauw Giok Tjhan, Siauw Tiong Djin, membenarkan bahwa kakeknya pernah menempati rumah di ujung gang di Kapasan itu. Rumah itu dekat Boen Bio, klenteng terbesar di Jawa Timur.
Oei Hiem Hwie, 72 tahun, yang mengaku masih kerabat Siauw, membenarkan bahwa rumah keluarga Siauw dekat dengan Boen Bio. Tapi itu bukan milik ayah Siauw, melainkan milik Kwan Sin Liep, mertuanya. Kwan adalah pengusaha totok serta ahli kungfu dan astrologi Cina. "Itu lingkungan elite di pinggiran jalan raya," kata bekas wartawan Terompet Masyarakat yang kini menjadi Pembina Yayasan Medayu Agung itu saat ditemui di kediamannya di Jalan Medayu, Rungkut, Surabaya.
Dalam memoarnya yang terbit sepekan sebelum ia wafat, Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar, Siauw bercerita tentang masa kecilnya di Kapasan. Ia lahir dalam keluarga campuran, baba-totok. Ayahnya, Gwan Swie, juga lahir di sana dan menjadi yatim-piatu pada usia 11 tahun. Sang ayah tak masuk sekolah milik Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK), tapi memilih kursus bahasa Inggris karena lebih gampang mendapat pekerjaan. Selain bergaul dengan orang-orang Belanda, Gwan Swie, yang mengagumi Sun Yat Sen, berkawan dengan tokoh Tionghoa peranakan yang berkiblat pada nasionalisme Cina. Salah satunya The Ping Oen, Direktur Koran Pewarta Soerabaia.
Gwan Swie kerap berjumpa dengan putri pertama Kwan Sin Liep. Perempuan itu bernama Kwan Tjian Nio. Gwan Swie jatuh hati. Mulanya lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Kwan karena latar belakang Gwan Swie yang peranakan. Tapi kekerasan hati Kwan luruh juga. Ia menerima Gwan Swie menikahi putrinya, dengan syarat anak mereka harus bersekolah di THHK. Pada 23 Maret 1914, lahirlah Siauw Giok Tjhan.
Siauw tumbuh dalam keluarga yang menggabungkan norma Barat, Tionghoa peranakan, dan totok. Saat usia Siauw empat tahun, sang kakek memasukkan cucu pertamanya itu ke sekolah THHK di belakang Boen Bio. Pada umur lima tahun, Siauw terserang sakit keras. Kwan pun menyerahkan cucunya kepada Toapekong di Klenteng Kampung Dukuh.
Saat Kwan pulang ke Cina, Gwan Swie memindahkan Siauw ke sekolah ELS. Tatkala kembali, Kwan kaget mengetahui sang cucu tidak bisa berbahasa Cina. Ia kemudian mengharuskan Siauw mengurus toko sepulang sekolah di Hogere Burgerschool (HBS).
Krisis ekonomi di Surabaya memaksa Kwan memilih menutup toko, menjual asetnya, melunasi semua utangnya, dan pulang ke Cina. Tekanan ekonomi itu membuat kesehatan Tjian Nio menurun. Ia pun wafat karena perdarahan pada 1932. Enam bulan kemudian, Gwan Swie, yang mengidap darah tinggi, menyusul istrinya. Jadilah Siauw dan adiknya, Siauw Giok Bie, yatim-piatu pada usia 18 dan 14 tahun.
Agar tak menyusahkan kehidupan kerabat dan keluarganya, Siauw menjual perabot rumahnya untuk membeli dua sepeda motor roda tiga Relieg. Dari penyewaan angkutan yang dikenal sebagai Atax itu, Siauw bertahan hidup. Dalam kondisi itulah ia berkenalan dengan Liem Koen Hian, yang 30 tahun berselisih usia dengannya
Liem Koen Hian adalah Pemimpin Redaksi Sin Tit Po. Liem pula yang memperkenalkan Siauw dengan Dr Soetomo, yang mendirikan Indonesian Study Club. Dari kedua orang inilah Siauw pertama belajar tentang nasionalisme Indonesia dan menyadari Indonesia tanah airnya. Ia juga tertarik pada program Partai Bangsa Indonesia yang dipimpin Soetomo, yang menganjurkan semua golongan minoritas menyelesaikan masalahnya.
Siauw lantas bergabung dengan partai baru yang didirikan Liem, Partai Tionghoa Indonesia (PTI), pada 1932. Ia tercatat sebagai pendiri termuda partai itu. Masuknya Siauw ke PTI berarti ia meninggalkan sebagian besar peranakan Tionghoa yang ketika itu berkiblat ke Belanda, kelompok Chung Hua Hui, dan kelompok Sin Po, yang berkiblat ke Cina.
Setamat HBS pada 1933, Siauw tidak melanjutkan sekolah. Ia menjadi wartawan Mata Hari, yang didirikan Kwee Hing Tjiat di Semarang pada 1934. Mata Hari menjadi trompet PTI. Siauw ditugasi sebagai penghubung dengan tokoh yang diasingkan Belanda, seperti Tjipto Mangunkusumo dan Sukarno. Siauw menghormati kedua tokoh itu dan menganggap mereka gurunya.
Pada 1937 itu, pemimpin PTI berganti. Liem, yang pindah ke Batavia, melepaskan jabatan Ketua PTI kepada Tjoa Sik Ien. Sedangkan jabatan pemimpin redaksi di Sin Tit Po diberikan kepada Tan Ling Djie. Adapun Siauw menjadi kepala cabang Mata Hari di Surabaya. Dipengaruhi Tan dan Tjoa, Siauw menjadi pendukung Marxisme dan mengagumi Mao Tse Tung.
Kembali ke Semarang, Siauw tinggal di rumah ahli ekonomi teman baik Mohammad Hatta, Khouw Bian Tie. Di situ ia bertemu dengan Tan Gien Hwa, anak kedua Tan Peng Hoat, pedagang dari Pemalang. Siauw dan Tan, yang saat itu berumur 18 tahun, pun menjalin hubungan. Mereka menikah pada 1940, lalu pindah ke rumah yang tak jauh dari kantor Mata Hari.
Ketika Kwee mendadak meninggal, jabatan pemimpin redaksi diambil alih Siauw. Di bawah Siauw, Mata Hari jadi lebih radikal. Selain mendukung nasionalis Cina, Siauw memasukkan tulisan yang mendukung Indonesia merdeka.
SAAT Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Sukarno terbentuk, Liem Koen Hian menjadi salah satu dari 63 anggotanya. Liem menghubungi Siauw, Tan, dan Tjoa untuk membuat formulasi yang mewakili kepentingan golongan Tionghoa. Liem menyampaikan pendapatnya dalam rapat PPKI pada 1 Juni 1945, hari yang dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Butir-butir yang diusulkan Liem diserap ke Undang-Undang Dasar 1945. Tatkala Proklamasi dibacakan Sukarno-Hatta, Siauw memobilisasi dukungan golongan Tionghoa bagi Negara Republik Indonesia.
Pasca-kemerdekaan, mulai berlaku sistem multipartai. Siauw, yang sudah dekat dengan golongan Marxis, masuk ke Partai Sosialis. Ia pun menjadi dekat dengan Amir Sjarifuddin. Siauw diminta Amir aktif di seksi penerangan, yang sebenarnya dipenuhi orang Sjahrir di Partai Sosialis yang beraliran kanan.
Aktivitas politik Siauw makin dalam. Pada 3 Maret 1947, ia diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), sebagai satu-satunya wakil Tionghoa. Ia juga menjadi delegasi Indonesia dalam Inter Asia Conference di New Delhi, India, bahkan menjabat sekretaris delegasi. Dalam konferensi itu, Indonesia dikecam delegasi Cina yang menyebut Indonesia negara kejam yang melakukan penindasan terhadap warga Cina. Siauw, yang berbicara di forum itu, membela posisi Indonesia. Ia mengatakan kekecewaannya terhadap Cina yang tidak menjalankan prinsip San Min Chu I, yang menjunjung solidaritas tinggi sesama negara baru.
Pada 3 Juli 1947, terbentuk Kabinet Amir Sjarifuddin. Amir mengangkat Siauw menjadi Menteri Urusan Minoritas. Siauw ikut ditangkap setelah meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948. Padahal ia tidak ikut gerbong Amir, yang menyatakan diri bergabung dengan PKI. Siauw memilih menjadi anggota BP KNIP wakil nonpartai.
Setelah Konferensi Meja Bundar, Siauw kembali ke Jakarta. Ia memulai lagi kegiatan jurnalistiknya. Ia bertemu dengan Oei Tiang Tjoei, pemilik percetakan Hong Po. Oei dendam kepada pesaingnya, Injo Beng Goat, Direktur Ken Po dan Star Weekly. Ia bersedia menjual percetakan Hong Po kepada Siauw dengan harga murah, tapi syaratnya koran Siauw harus mengalahkan Ken Po dan Star Weekly. Pada Januari 1950, Siauw menerbitkan mingguan Sunday Courier untuk menyaingi Star Weekly. Siauw dengan keluarga tinggal di percetakan itu. Ia dan istri serta lima anak-anaknya harus tidur di meja-meja kantor.
Siauw May Lie, 71 tahun, anak kedua Siauw, mengenang pengalaman itu. "Adik saya yang masih kecil sering terguling jatuh dari meja," kata May Lie kepada Tempo. Pada Januari 1951, Siauw menerbitkan mingguan Soeara Rakyat. Enam bulan kemudian, ia mengubah mingguan itu menjadi harian sehingga bernama Harian Rakjat. Kebanyakan wartawan Harian Rakjat juga bekerja untuk Sunday Courier. Salah satunya Njoto, pemimpin penting CC PKI.
Usaha komersial Harian Rakjat yang ternyata kurang berhasil membuat Siauw melepaskannya. Njoto, yang terlibat dari awal, bersedia mengambil alih. Terhitung 31 Oktober 1953, Siauw tidak lagi menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakyat. Saat menjadi anggota parlemen, ia menyewa rumah milik B.R. Motik, pedagang kaya yang aktivis PSI, di Jalan Tosari 70, Jakarta Pusat. Keluarga ini tinggal di sana ketika Siauw ditangkap pada 4 November 1965 dan diusir Angkatan Darat pada 1966.
Siauw ditahan tanpa proses pengadilan selama 12 tahun. Mulai 1966 hingga 1975, ia ditahan berpindah-pindah rumah tahanan. Pada September 1975, Siauw dipulangkan ke rumahnya dan menjadi tahanan kota. Pada Agustus 1978, Siauw resmi dibebaskan. Di kartu tanda penduduknya tercantum kode eks-tapol. Atas izin Wakil Presiden Adam Malik, yang juga temannya, Siauw berangkat ke Belanda untuk menjalani operasi mata yang terserang glaukoma.
May Lie, lulusan Kedokteran Universitas Beijing yang tinggal di Belanda sejak 1978, mengingat kedatangan ayah dan ibunya di Amsterdam, Belanda. Saat itu, ia baru dua bulan datang dari Cina dan membuka klinik akupunktur di Egidiusstraat 121, Bos en Lommer, Amsterdam. Terletak di pinggiran Amsterdam yang dihuni imigran Turki dan Maroko, rumah sederhana ini kini ditempati Siauw Tiong Hian, anak keempat Siauw yang meneruskan praktek May Lie.
May Lie ingat, di Belanda, tempat seharusnya Siauw berobat, sang ayah malah disibukkan oleh banyak acara. Ia mendatangi semua undangan dan memenuhi permintaan Amnesty International, yang ikut mendorong pembebasannya, tur keliling Eropa untuk memperkenalkan demokrasi. "Dia seperti mengejar waktu yang hilang selama di penjara," katanya. Selain memenuhi undangan, Siauw menulis buku, yang tak bisa dilakukan di penjara. "Saya sering dibangunkan oleh suara mesin ketik. Biasanya Ayah mulai mengetik sebelum pukul 6 dan baru berhenti pada pukul 23. "
May Lie sendiri meraih gelar dokter pada 1966 di Beijing. Ia kemudian melanjutkan ke sekolah spesialis akupunktur. Dia tinggal di Beijing sampai Revolusi Kebudayaan berakhir pada 1977. May ingat, di malam sebelum keberangkatannya ke Cina, sang ayah meninggalkan pesan agar May kembali lagi ke Indonesia.
"Saya bertanya kepada Ayah mengapa kita harus bertahan di Indonesia kalau tidak diterima di sini?" ujarnya. Seingat May, sang ayah menjawab, "Justru kita harus memperjuangkan hak yang adil untuk menjadi bagian masyarakat Indonesia ini." Mendengar penjelasan itu, May Lie berjanji kepada ayahnya untuk pulang ke Indonesia. Janji itu ditunaikan May.
Sejak November tahun lalu, ia pindah ke Indonesia. May Lie masih ingat detik kematian ayahnya. "Pada 20 November 1981 malam, saat Belanda dilanda angin topan, ayah saya memenuhi undangan makan malam di rumah guru besar politik Vrije Universitiet. Ayah juga akan memberikan ceramah di depan para mahasiswa sejarah dan ahli Indonesia di Universitas Leiden. Tapi, 30 menit sebelum ceramah tentang kegagalan pemerintah Indonesia dalam demokrasi, Ayah meninggal karena serangan jantung."
Dody Hidayat, Lea Pamungkas (Amsterdam), Dian Yuliastuti, Dewi Suci Rahayu (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo