Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Auditorium Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua, Bogor, Minggu dua pekan lalu. Santap malam 300-an peserta reuni itu baru saja usai. Suasana kangen-kangenan kemudian menjadi khidmat. Pembawa acara meminta hadirin yang rata-rata berusia di atas 60 tahun itu berdiri dari kursinya. Para opa dan oma mengambil posisi siaga. Tatkala musik dari alat pemutar terdengar, mereka pun menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ada yang bersemangat, bernyanyi sambil menempelkan tangan kanan ke dada kirinya.
Nuansa kebangsaan Indonesia memang kental terasa di acara Reuni Ke-8 Alumni Universitas Res Publica (Ureca) itu. Selain menampilkan tetarian kontemporer Sunda dan Bali, acara memperdengarkan lagu-lagu nasional oleh paduan suara Gerakan Pemuda Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Peserta temu kangen ini adalah orang-orang yang pada 1959-1965 menempuh pendidikan di universitas yang didirikan organisasi kemasyarakatan Tionghoa masa itu: Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).
Acara reuni kali ini menjadi lebih istimewa karena bertepatan dengan 100 tahun kelahiran Siauw Giok Tjhan, Ketua Umum Baperki yang juga penggagas berdirinya Ureca. Siauw lahir pada 23 Maret 1914 di Kapasan, Surabaya, Jawa Timur.
Baperki awalnya banyak terlibat dalam dunia pendidikan. Pada November 1957, Perdana Menteri Djuanda melarang sekolah asing menerima murid warga negara Indonesia. Akibatnya, puluhan ribu anak Tionghoa yang semula belajar di sekolah milik Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) terkatung-katung—tidak bisa meneruskan sekolah.
Siauw bersama Baperki bergerak cepat. Mereka mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan. Siauw membuka sekolah-sekolah untuk menampung anak-anak Tionghoa. Baperki juga mendirikan universitas swasta pertama di Indonesia, yaitu Universitas Baperki. Pemicunya adalah banyak anak Tionghoa tak bisa melanjutkan studi lantaran kuota bagi etnis Tionghoa masuk universitas negeri hanya 2 persen. Pada 1962, Universitas Baperki berganti nama menjadi Universita Res Publica.
Yang menarik, universitas ini membuka mata kalangan Tionghoa yang saat itu masih memiliki kewarganegaraan Cina untuk memahami segi keindonesiaannya. Nancy Widjaja, 70 tahun, salah satunya. Ditemui Tempo, Nancy bercerita bahwa ia lahir di Garut, Jawa Barat, tapi orang tuanya, pasangan pedagang batik di pasar Garut, adalah warga negara Cina. Pendidikan dasar hingga menengah ia tempuh di sekolah THHK, sekolah Chung Hwa di Garut, dan dilanjutkan ke Hoa Qiao Bandung.
Nancy bercerita, pada 1960-an, orang tuanya berencana pulang ke Cina. Ia sendiri saat itu ingin melanjutkan studi ke sana dan menggapai cita-cita sebagai penyiar radio Beijing. Namun cita-citanya kandas lantaran, saat pecah kerusuhan anti-Cina di Garut pada 13 Mei 1963, kobaran api membakar rumahnya. Harta benda orang tuanya musnah.
Ibu Nancy meminta ia bersabar sampai uang untuk pulang ke Cina terkumpul kembali. Dia diminta membantu berdagang batik. Namun ayahnya, yang cukup berpendidikan, tidak setuju. Sang ayah ingin Nancy terus bersekolah. Akhirnya Nancy didaftarkan ke Ureca. "Di tempat lain tak mungkin diterima karena saya WNA," dia menambahkan.
Di Ureca, Nancy benar-benar seperti anak yang baru belajar bahasa Indonesia. "Di sekolah Chung Hwa, pengantarnya bahasa Mandarin. Bahasa Indonesia itu bahasa asing yang diajarkan hanya dua kali dalam seminggu." Tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia, bagi Nancy, Ureca juga mengindonesiakan dirinya. "Pikiran saya jadi berubah 180 derajat. Buat apa lagi pulang ke Tiongkok, yang asing sama sekali? Saya mulai sadar bahwa saya lahir dan besar di Indonesia. Akar saya di sini."
Keputusan Nancy itu membuat ayahnya marah. "Bahkan saya akan diputuskan hubungan keluarga. Lebih-lebih ketika pecah peristiwa Oktober 1965 karena di seluruh Garut hanya ada tiga perempuan yang masuk Ureca, jadi sangat dikenal," kata Nancy, yang pada 2003-2013 menjadi Ketua Perempuan Inti. Peristiwa 1965 itu juga yang mengakhiri kuliah Nancy di Fakultas Sastra Ureca di Kampus A Grogol. Pada 15 Oktober 1965, kampus itu diserbu massa dan dibakar karena dianggap berkaitan dengan kaum kiri. Ureca di Jakarta dan cabang-cabangnya di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan serta sekolah-sekolah yang didirikan Baperki ditutup.
Betulkah Ureca berpihak pada gagasan kiri? Apa gagasan Siauw Giok Tjhan yang membuatnya ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan selama 12 tahun? Siauw Tiong Djin mengaku tidak mengenal dekat ayahnya. Sebab, ketika sang ayah ditangkap pada 4 November 1965, ia masih berusia 9 tahun. Pertemuan dengan ayahnya hanya terjadi di ruangan besuk di Rumah Tahanan Salemba, Kamp Satuan Tugas Kebayoran Baru, Rumah Tahanan Militer Lapangan Banteng, dan Penjara Nirbaya (Interniran dalam Keadaan Bahaya) Jakarta Timur.
"Awalnya saya penasaran ingin bertanya. Di sekolah, saya sering mendengar bahwa Baperki sebagai organisasi komunis harus diganyang dan orang-orang komunis pengkhianat bangsa harus dipenjara selama-lamanya," kata Tiong Djin.
Jawaban panjang-lebar yang disampaikan Siauw Giok Tjhan menambah rasa ingin tahu Tiong Djin. Sepulang dari penjara, ia membaca pidato dan tulisan Siauw yang disimpan rapi oleh ibunya, Tan Gien Hwa. Tiong Djin juga bertanya kepada teman-teman seangkatan ayahnya tentang apa yang dilakukan dan tujuan perjuangan politik Siauw. Aktivitas itu terhenti saat ia harus ke Australia untuk kuliah pada 1973.
Pertemuan Tiong Djin dengan Daniel S. Lev, guru besar Washington University yang tengah merampungkan biografi pejuang hak asasi manusia Yap Thiam Hien pada 1988, menguatkan niatnya menulis riwayat hidup sang ayah. Dengan bimbingan Herbert Feith dan Barbara Hatley dari Monash University dalam melakukan penelitian obyektif dan penulisan akademis, Tiong Djin menyusun disertasi berjudul Siauw Giok Tjhan: Bicultural Leaders in Emerging Indonesia, yang rampung pada 1998. Pada 1999, ia meraih gelar PhD dalam ilmu politik di Monash University.
Melalui disertasi yang kemudian diterbitkan Penerbit Hasta Mitra menjadi buku berjudul Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika ini, Tiong Djin ingin meluruskan sejarah yang telah memojokkan sang ayah. Menurut Tiong Djin, ayahnya bukan anggota atau anggota rahasia Partai Komunis Indonesia sebagaimana dituduhkan.
"Ayah saya tidak pernah masuk PKI. Dari proses pemeriksaan pun tidak didapatkan pengakuan satu tokoh PKI yang pernah menyumpah Siauw masuk menjadi anggota PKI," kata Tiong Djin, yang datang ke Jakarta dari kediamannya di Melbourne, Australia, untuk reuni Universitas Res Publica, dua pekan lalu. "Tidak terbukti juga kalau Baperki onderbouw PKI."
Menurut Tiong Djin, berdasarkan penelusurannya terhadap beragam naskah pidato, risalah, dan tulisan Siauw, juga dokumen Baperki, komunisme tidak pernah dicanangkan sebagai obyek perjuangan politik organisasi itu. "Yang didambakan Siauw adalah perwujudan masyarakat sosialisme ala Indonesia seperti yang diformulasikan Presiden Sukarno dan yang sesuai dengan UUD 1945," ucap Tiong Djin.
Lebih lanjut, Tiong Djin mengatakan Baperki merupakan organisasi kemasyarakatan yang terbuka. Adanya orang-orang PKI di Baperki karena organisasi itu menganut asas Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom). Kebijakan Baperki, kata Tiong Djin, juga tidak 100 persen seirama dengan PKI. Konsep ekonomi yang menjadi sumbangsih Siauw, yang kemudian masuk ke Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Garis-garis Besar Haluan Negara) pada 1963, adalah konsep modal domestik yang bertolak belakang dengan konsep PKI bahwa semua harus diambil alih negara.
"Konsep Siauw itu mengawinkan sosialisme dan kapitalisme. Ekonomi Indonesia harus dibangun atas dasar pengembangan modal yang dimiliki para pedagang Indonesia, siapa pun pedagang itu, tanpa mempedulikan latar belakang rasnya," ujar Tiong Djin.
Salah satu sumbangan besar Siauw Giok Tjhan adalah pemikiran dalam debat isu kewarganegaraan. Siauw adalah salah seorang pelopor konsep integrasi. Menurut keyakinan Siauw dan kelompok integrasionis, masalah diskriminasi rasial terhadap orang Tionghoa hanya bisa hilang jika terwujud Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Semua suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri ke tubuh Nasion Indonesia melalui kegiatan politik, sosial, dan ekonomi.
Suku Tionghoa merupakan tuntutan Baperki. Alasannya, pada 1950, golongan Tionghoa sudah hidup bergenerasi di Indonesia sehingga berhak mendapatkan status suku setara dengan suku lain, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon. Sebagai satu suku, orang Tionghoa tak perlu menghilangkan ciri ketionghoaannya. Untuk tujuan menjadikan sebanyak-banyaknya suku Tionghoa yang menyeberangi jembatan menjadi bangsa Indonesia yang utuh, Baperki dibentuk pada 13 Maret 1954.
Konsep integrasi ini ditentang kubu pendukung konsep asimilasi. Menurut konsep ini, pembauran dalam segala lapangan secara aktif dan bebas merupakan terapi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan yang dialami golongan Tionghoa. Sepuluh tokoh mencanangkan konsep asimilasi ini pada 26 Maret 1960. Salah satu tokoh kelompok ini adalah Junus Jahja, pentolan Chung Hua Hui, perkumpulan Tionghoa di Belanda, yang justru membubarkan perkumpulan eksklusif itu.
Kelompok asimilasionis ini kemudian melahirkan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) pada 12 Maret 1963 saat digelar Musyawarah Asimilasi di Jakarta. Dalam buku Catatan Orang Indonesia, Junus menyebutkan Sukarno membenarkan konsep asimilasi alias pembauran ini. Perkataan Bung Karno yang dikutip Junus adalah, "Saya membenarkan usaha pemuda-pemuda untuk memecahkan masalah minoritas dengan jalan asimilasi dan menghilangkan eksklusivisme dalam tubuh bangsa Indonesia."
Harry Tjan Silalahi, 80 tahun, anggota LPKB yang masih tersisa, menyebutkan tuntutan Baperki agar masyarakat Tionghoa tetap menjadi suku merupakan kemunduran. "Itu berarti mereka masih ingin menjadi minoritas," ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Jakarta Pusat.
Konflik antara pro-integrasi dan pro-asimilasi terus berlanjut. Presiden Sukarno hadir dalam Kongres Ke-8 Baperki di Istora Senayan pada 14 Maret 1963. Dalam sambutannya, Sukarno mengatakan, "Baperki itu satu perkumpulan yang baik; tegas berdiri di atas Pancasila; tegas membantu terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat; tegas berdiri di atas Manipol-Usdek. Baperki adalah salah satu dari Revolusi Indonesia. Oleh karena itu saya datang."
Harry mengatakan memang tidak terbukti Siauw anggota PKI. "Tapi Siauw itu pasti orang kiri, jalan pikirannya Marxisme," ujarnya. Lagi pula, kata Harry, hanya Marxisme yang mau menerima orang Tionghoa waktu itu. Kenyataannya, Siauw masuk Partai Sosialis pada Desember 1945 dan ia berada di kelompok Amir Sjarifuddin. Sebagai pendukung Amir, otomatis Siauw termasuk kelompok sayap kiri, yang kemudian berganti nama menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Ketika PKI meleburkan Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia ke dalam PKI, Siauw termasuk yang tidak bergabung. Dalam buku yang ditulis Tiong Djin, alasan Siauw: karena fungsinya sebagai wakil golongan minoritas lebih baik dilakukan di luar PKI. Sementara Partai Sosialis dan FDR bubar, Siauw memilih tetap berada di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai wakil golongan minoritas tak berpartai. Setelah Peristiwa Madiun, Siauw ditangkap karena pernah menjadi anggota FDR. Dia ditahan di penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Harry Tjan melihat kepemimpinan Siauw saat menjabat Ketua Baperki cenderung ke kiri. Apalagi ketika Baperki turun ke politik praktis dengan ikut Pemilihan Umum 1955, yang ditentang banyak pendiri Baperki yang berorientasi kanan, seperti P.K. Ojong. Menurut Harry, alasan Baperki ikut pemilu agar perwakilan golongan minoritas Tionghoa di Dewan Perwakilan Rakyat yang mendapat jatah delapan kursi dipilih, bukan ditunjuk. "Ini memang masih bisa diterima karena ada logikanya."
Namun, begitu kebijakan Baperki lebih condong ke kiri, banyak kalangan Tionghoa gelisah, takut menjadi kambing hitam. Pasalnya, ada anggapan Baperki sama dengan Tionghoa karena anggota Baperki pada 1963 mencapai lebih dari 250 ribu (sekitar 10 persen dari total jumlah orang Tionghoa), sebanyak 99 persen adalah orang Tionghoa. Harry menyebut hubungan Baperki-PKI sebagai simbiosis dalam politik. Dia memberi contoh Baperki kerap ikut acara PKI. Jumlah pelajar sekolah Baperki yang puluhan ribu menjadi andalan PKI untuk menunjukkan kekuatannya.
"Kampus Baperki itu menjadi asrama CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Tak mengherankan kalau diserbu oleh kesatuan aksi mahasiswa," ucap Harry.
Bekas Ketua Dewan Mahasiswa Ureca Sie Ban Hauw kepada Tempo mengatakan ia menolak anggapan bahwa kampusnya memobilisasi massa untuk kegiatan politik. Menurut dia, Dewan Mahasiswa merupakan organisasi intra-universitas. Kalaupun ada pengerahan massa, kata Sie, hanya untuk kegiatan budaya, seperti ketika ada Asian Games, Ganefo, atau Kongres Baperki.
"Sedangkan untuk demonstrasi politik dikoordinasi mahasiswa yang menjadi anggota organisasi ekstra-universitas, seperti CGMI, Perhimi, dan PMKRI, tanpa permisi kepada pihak universitas," ujar Sie, yang masuk Ureca pada 1959 di Fakultas Teknik karena ditolak masuk Institut Teknologi Bandung.
Sahabat dekat Siauw, Go Gien Tjwan, 94 tahun, yang kini tinggal di Amsterdam, Belanda, menepis keras tuduhan orang seperti Harry Tjan, yang menganggap Siauw sebagai komunis. "Jelas tidak mungkin Siauw komunis! Mana mungkin seorang komunis bisa memimpin Baperki begitu lama, sementara isi Baperki itu sebagian besar adalah para kapitalis kecil," katanya sambil tertawa saat ditemui Tempo di kediamannya di kawasan Max Havelaarlaan, Amstelveen.
Menurut Go, Baperki bukan partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan. "Baperki adalah sebuah badan musyawarah untuk mencapai mufakat, antara lain dengan cara groot gemengde deal, jalan tengah kebijaksanaan politik. Dan itu adalah jalan tengah yang menjadi nilai kebudayaan Tionghoa," kata Go.
Lelaki yang menjadi dosen senior sejarah Asia modern di Universiteit van Amsterdam ini menambahkan, "Anggota Baperki adalah siapa saja, tanpa memperhitungkan latar belakang ras, ideologi, dan politik. Adam Malik dari Murba, K. Woedojo anggota PKI dan tokoh SOBSI, atau Winoto dari Partindo adalah anggota dewan penasihat Baperki. Ini jelas menggambarkan bagaimana karakter dan visi Baperki yang tidak eksklusif."
Tapi baik Go maupun Harry Tjan sepakat satu hal mengenai Siauw: kesederhanaannya. Go ingat, pada 1946, ia bersama Siauw pergi ke Yogyakarta bertemu dengan Sukarno. Bung Karno melihat Siauw memakai kemeja dengan kerah yang robek di sana-sini. "Sukarno bilang Siauw tidak pantas memakai baju robek demikian. Ia kemudian memberi dua bungkusan kemeja."
Harry Tjan juga mengakui kesederhanaan lelaki asal Kapasan itu. "Saya tidak mengenal Pak Siauw secara personal karena kami berbeda usia 20-an tahun." Namun, berdasarkan observasi Harry, Siauw adalah pemimpin yang baik dan ikhlas berjuang supaya orang keturunan Tionghoa yang telah memilih ikut Indonesia terlindungi haknya. "Semoga dia beristirahat dengan tenang," kata Harry.
Dody Hidayat, Lea Pamungkas (Amsterdam), Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo