Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah "teater artefak" telah disajikan oleh Titarubi, 46 tahun, melalui arang. Teater artefak itu memastikan alur, konstruksi, dan bentuknya tidak hanya melalui lima karyanya yang masing-masing meninggalkan gramatika waktu dari "benda yang pernah terbakar". Tapi juga melalui alur display pameran yang menempati dua lantai bangunan galeri Philo Art Space di Kemang, Jakarta Selatan, sepanjang 18 Maret-18 April 2014, itu.
Di lantai bawah Philo Art Space, kita mulanya menyaksikan tiga karya Tita hadir seperti "tercekik". Ruang galeri yang sempit menjadikan tiap karya tak bisa mendapatkan skala penglihatan penuh pengunjung. Dimensi ataupun volume tiap karya kurang memiliki jarak tatapan.
Karya pertama, Being Unbeing, adalah sebuah penggalan perahu dengan kerangka kayu yang telah menjadi arang. Karya ini tersembunyi di balik pintu masuk galeri, bertabrakan dengan dinding kaca yang hampir penuh oleh stiker tema pameran: Discourse of The Past. Being Unbeing dibuat tidak mampu untuk mengatakan dirinya sendiri sebagai perahu. Ia terpenggal, tercabik, terbakar: metafor dari perahu untuk mengantar bangkainya sendiri. Tapi garisnya tetap tertinggal untuk bayangan tentang garis lain yang tidak terhapuskan.
Melalui lima seri drawing-nya (A Drop of Tears), Tita menyajikan dramaturgi "persembunyian" agama, sejarah, dan mitos pada sesuatu bekas terbakar. Kelima seri karyanya itu masing-masing membawa imaji: sosok perempuan yang menutup bagian hidung dan mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Imaji ini membawa kita ke rujukan salah satu artefak foto Bunda Teresa yang cukup terkenal.
Tapi "imaji" itu oleh Tita mendapatkan "penopengan" baru. Bukannya kepasrahan "ala Bunda Theresa", melainkan ekspresi penyembunyian diri, takut, jeritan SOS. Dalam warna hitam-putih, Tita "memindahkan" penopengan perempuan yang dilakukan baik oleh agama ke semacam bayangan yang pernah terbakar.
Kelima seri drawing itu dipajang saling menatap dengan karya di depannya (The Burning Artefact): sebuah instalasi susunan kertas (penyamaran atas buku) dalam lima lemari kaca. Barang yang ada di dalam lemari jernih seolah-olah bisa tersentuh, padahal tidak. Kelima kotak kaca itu bertulisan "freedom", "justice", "honour", "belief", dan "peace". Saya merasa seakan-akan ada bayangan suara alarm kalau kita hendak menyentuhnya: sesuatu yang kita kejar sebagai visi bersama, tapi kemudian menjadi benda berbahaya kalau kita akan merabanya.
Dialog antara A Drop of Tears dan The Burning Artefact, menurut saya, berlangsung seolah-olah yang satu dibiarkan rapuh, telanjang bersama garis-garis ekspresif, mengingatkan garis-garis akibat pecutan. Satunya lagi dilapisi dinding kaca, seperti ideologi yang mengisolasi dirinya sendiri.
Alur display di lantai pertama berulang kembali di lantai kedua melalui dua karya: Something Remains dan Hallucinogenic. Keduanya menggunakan skala lebih mendekati narasi-narasi monumental. Dalam alur display di lantai 2 ini, bukan lagi perahu yang mengantar narasi, melainkan sosok mitologis yang menatap kerangka perahu dari kayu yang seluruh permukaannya telah jadi arang.
Sosok mitologis itu berdiri vertikal tanpa tubuh. Ia kosong seperti lubang tanpa dasar. Konstruksinya ditopang oleh jubahnya sendiri yang terbuat dari berbagai unsur logam berwarna emas. Sosok ini masing-masing tangannya menggenggam kitab dan tongkat.
Karya ini, bagi saya, lebih kuat lagi memperlihatkan dramaturgi agama ataupun mitos (representasi kekuasaan absolut yang tidak terlihat). Ia seolah-olah menampilkan tubuh yang tidak memiliki pegangan apa pun atas kematian dan kehidupan ini.
Semua karya Tita itu berangkat dari riset yang panjang berdasarkan tema yang diangkatnya, juga riset untuk material yang digunakan. Tita di sini berusaha membuka "penopengan lama" dengan "penopengan baru". Ruang yang mungkin terjadi adalah munculnya bayangan baru untuk mengosongkan diri kita dari berbagai penopengan ideologis.
Persoalannya, sebagian bayangan itu ikut terbunuh hanya karena Titarubi ingin mengatakan kembali pesan yang sudah sering terkatakan. Bentuk kitab dan tongkat pada karya Hallucinogenic, misalnya, memperlihatkan problem penarasian yang sudah acap terkatakan. Ini adalah strategi narasi yang khas hampir selalu terbawa pada kebanyakan perupa lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, seperti Tita.
Afrizal Malna, Penyair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo