Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kota Singkawang kembali terpilih sebagai kota dengan indeks toleransi tertinggi.
Kerukunan tak hanya dijalankan masyarakat, tapi juga didukung kebijakan pemerintah daerah.
Berbagai rumah ibadah berdiri berdampingan tanpa ada gesekan.
Bhinneka Tunggal Ika menjelma di tengah kota itu. Seiring dengan asap tipis menguar dari dupa seorang Tionghoa yang merapal doa di Vihara Tri Dharma Bumi Raya, Kota Singkawang, pada Selasa sore, 17 Oktober lalu, tersebut, sekelompok warga Melayu menunaikan salat asar berjemaah di Masjid Raya Singkawang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua rumah suci itu berdampingan selama lebih dari seabad. Jaraknya hanya sekitar 100 meter. Wihara dan masjid itu menjadi simbol toleransi Singkawang, kota dengan 241 ribu jiwa di sudut Kalimantan Barat. Vihara Tri Dharma—juga dikenal warga dengan sebutan Pekong Tua—didirikan pada 1878 oleh para saudagar Cina. Masjid Raya dibangun tujuh tahun setelahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 17 Oktober 2023, bertepatan dengan ulang tahun kota yang ke-22, Singkawang menggelar Festival Hak Asasi Manusia. Festival HAM ini merupakan perayaan tahunan yang digagas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), organisasi yang bergerak di bidang advokasi kebijakan. Dalam perayaan tersebut, INFID bekerja sama dengan Komnas HAM, Kantor Staf Presiden, dan pemerintah setempat.
Dalam festival yang berlangsung tiga hari itu, Pemerintah Kota Singkawang beberapa kali menampilkan promosi keberagaman dan toleransi di sana, termasuk tentang keberadaan rumah ibadah yang berdampingan. Tidak hanya Vihara Tri Dharma dan Masjid Raya, Gereja GSRI Singkawang juga berada tepat di sebelah Kelenteng BPKS Tuapekong.
Ana Westy Martiani, warga Singkawang, mengatakan toleransi di sana terlihat dari keragaman suku dan agama masyarakatnya. “Semua etnis dan agama leluasa mengekspresikan diri,” ujar penulis buku Singkawang: Simpul Cinta, Sejarah, dan Toleransi terbitan Perpustakaan Nasional ini.
Afui, 55 tahun, pemilik ruko di sebelah Vihara Pekong Tua, bertahun-tahun mendengar langsung kumandang azan hadir bergantian dengan lonceng vihara. Pria yang tinggal di Sedau, Kelurahan Singkawang Selatan, ini mengatakan keberagaman juga dia rasakan dari keluarganya. “Ada yang Buddha, ada juga Kristen,” kata dia saat ditemui di depan Vihara Tri Dharma pada Selasa, 17 Oktober lalu.
Selain rumah suci yang beraneka ragam, kota yang berlokasi sekitar 145 kilometer di utara Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, tersebut, dihuni oleh multietnis. Menurut Sumastro, penjabat wali kota, Singkawang menjadi tempat tinggal bagi warga dari 17 suku, dengan tiga suku besar yang menetap sejak lama, yakni Tionghoa, Dayak, dan Melayu.
Tarian Tidayu (Tionghoa, Dayak, Melayu) yang melambangkan keberagaman tiga suku mayoritas yang hidup berdampingan di Singkawang, Kantor Pemerintahan Singkawang, Kalimantan Barat, 17 Oktober 2023. TEMPO/Ilona Esterina
Ketiga suku itu juga menjadi suku mayoritas Kalimantan Barat, yang kebudayaannya diturunkan dalam seni berupa tarian Tidayu—akronim dari ketiga etnis tersebut. Tarian ini menjadi menu utama dalam berbagai kegiatan resmi pemerintahan di Singkawang, termasuk saat pembukaan Festival HAM 2023.
Perayaan tersebut berlangsung di Singkawang karena beberapa alasan. Di antaranya, Singkawang mendapatkan skor tertinggi dari hasil riset Indeks Kota Toleran yang diselenggarakan oleh Setara Institute, lembaga penelitian advokasi, demokrasi, dan HAM yang berbasis di Jakarta. Sebelumnya, Singkawang mendapat penghargaan serupa pada 2018 dan 2021.
Iwan Misthohizzaman, Direktur Eksekutif INFID, mengatakan hasil riset tersebut membuktikan bahwa toleransi berjalan dengan baik di Singkawang. “Praktik ini harus disebarkan ke kota-kota lainnya juga,” ujar Iwan.
Saling tenggang rasa di kota yang dijuluki Kota Seribu Kelenteng ini tak hanya dinilai dari keragaman masyarakatnya, tapi juga rencana pembangunan, kebijakan, peristiwa intoleransi, hingga pernyataan dan tindakan nyata pemerintah kota. Demikian tertulis di indikator penilaian yang dipublikasikan Setara pada 6 April 2023.
Gerbang Koto Mahligai di perbatasan Sambas dan Singkawang, Kalimantan Barat, 17 Oktober 2023. TEMPO/Ilona Esterina
Kota ini mendapat skor terbaik pada masa kepemimpinan Tjhai Chui Mie, wali kota ketiga di kota yang secara administratif berdiri mulai 2001 itu. Tjhai Chui Mie merupakan wali kota perempuan pertama di Singkawang sekaligus wali kota perempuan beretnis Tionghoa pertama di Indonesia.
Pada masa tugas Tjhai Chui Mie, 2017-2022, Singkawang membangun tiga gerbang besar yang menyimbolkan keberagaman dan toleransi. Gapura tersebut melambangkan tiga suku terbesar di sana dan selesai dibangun pada akhir 2022.
Ada Gerbang Tama Ka Lawang yang kental dengan ornamen khas Dayak di perbatasan Singkawang dan Kabupaten Bengkayang. Ada Cap Go Meh yang menjadi pintu masuk dari Pontianak dan Gerbang Koto Mahligai yang kental dengan ornamen Melayu, yang menjadi penghubung kota tersebut dengan Kabupaten Sambas.
Meski demikian, kehidupan toleransi di Singkawang tak melulu berjalan mulus. Singkawang pernah mengalami konflik antarwarga. Hal itu terjadi saat pembangunan patung naga di tengah kota pada 2008 yang ditentang sejumlah warga.
Eddy, ketua pengurus cabang Nahdlatul Ulama Singkawang, mengatakan, setelah protes tersebut, pemerintah menyatakan hendak mendirikan simbol bangunan yang melambangkan keberagaman masyarakat Singkawang. “Hal itu diwujudkan dengan tiga gerbang besar yang dibangun dengan ornamen mewakili setiap suku mayoritas,” ujar Eddy.
Kini, gesekan itu tak lagi terdengar. Tugu naga di tengah kota justru menjadi satu lokasi foto para pelancong. Wabilkhusus pada malam hari, saat naga emas tersebut kian cantik berkat cahaya lampu. Bagi warga Singkawang, suku dan agama boleh berbeda, tapi tenggang rasa harus terus terjaga.
Kota Paling Toleran dan Intoleran
ILONA ESTERINA (SINGKAWANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo