Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saiq... Saiq... tuaq ke Saiq....” bocah lelaki itu berteriak. Menghambur ke perempuan beranak satu (diperankan Inaq Oja alias Sauri) yang tengah hamil tua. Dalam bahasa Sasak, yang digunakan warga asli yang mendiami Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, saiq artinya bibi. Adapun tuaq adalah panggilan untuk paman. Si anak yang berlari diikuti dua kawannya itu hendak mengabarkan kepada Sauri tentang kedatangan pamannya dari Malaysia.
Namun langkah kaki sang paman perantau tak ada di sana. Begitu pula suaranya. Walhasil, Sauri menimpalinya dengan pertanyaan: apakah suaminya yang seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) betul-betul pulang? “Aok, Saiq..” ucap si bocah, menegaskan bahwa pamannya tiba di rumah. Sunyi sesaat. Sampai akhirnya ruangan itu ditumpahi suara tangis dan teriakan Sauri. Mobil ambulans datang. Bunyi sirene terdengar kencang. Tubuh Sauri pun rebah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan itu adalah bagian dari film pendek Jamal, karya sutradara muda asal Lombok, Muhammad Heri Fadli, 25 tahun. Film berdurasi 14 menit itu lolos kurasi untuk diputar dalam Festival Film Lleida, Spanyol, 4-13 Desember 2020. Sebelumnya, Jamal juga diputar dalam NETPAC Jogja Asian Film Festival (JAFF) pada 25-29 November 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan di film Jamal, karya Sutradara Muhammad Hery Fadli. Chendooll Imagination
Menonton Jamal layaknya menyaksikan pertunjukan wayang Sasak. Hanya ada frame tunggal, gambar-gambar bayangan yang bergerak dalam layar. Kamera tidak menangkap gambar dari jarak dekat, termasuk ekspresi para pemain. Film ini berlatar sebuah bukit yang tandus, dengan siluet sebatang pohon bidara. Sebuah ayunan menggelantung di salah satu cabangnya. Di ayunan itu, seorang anak perempuan bernama Hilwa bermain sendirian.
Cerita dalam Jamal dibangun dari gestur para tokoh yang kuat dan dialog yang minim. Karena itu, tanpa mengerti bahasa Sasak sekalipun, penonton dapat menangkap alur film ini. Setidaknya, penonton ikut merasakan nestapa yang dibawa para tokoh Jamal. Heri mengaku ingin memotret satu kepingan kisah pilu seputar dunia buruh migran di Lombok. “Alih-alih memenuhi kebutuhan ekonomi, sebagian TKI justru pulang dalam keadaan tak bernyawa, meninggalkan persoalan di keluarganya,” ujar Heri kepada Tempo di rumahnya, Dusun Aik Paek, Desa Persiapan Pengonak, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, awal Desember 2020.
Jamal
Lalu siapakah—ataukah apa—itu Jamal? Judul itu nyatanya tak merujuk pada nama tokoh film berbahasa Sasak ini, melainkan sebuah akronim dari istilah “janda Malaysia”, atau perempuan yang ditinggal pergi atau mati oleh suaminya yang merantau ke Negeri Jiran. Tak jelas kapan istilah itu mulai digunakan. Ada juga istilah bebalu (janda) Malaysia. Sebutan itu bahkan dipakai untuk istri yang suaminya masih hidup, tapi menjadi buruh migran.
Di masyarakat setempat muncul stigma yang menyangkut perselingkuhan istri TKI saat ditinggal suaminya bekerja. Namun Heri tak mau mengeksploitasi itu. Ia memilih berfokus pada kepedihan keluarga yang ditinggalkan si TKI. Terlebih apa yang dialami Inaq Oja dalam Jamal berulang kali terjadi di Lombok. Badan Pusat Statistik NTB mencatat, pada 2017-2020, ada 264 TKI yang pulang dalam kondisi tak bernyawa. Mereka sebelumnya bekerja di sejumlah negara, tapi sebagian besar dari Malaysia.
Bahkan, produser film Jamal, Putu Yudhistira, mengklaim kedatangan jenazah TKI itu sering terjadi tanpa sepengetahuan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Nusa Tenggara Barat. “Jenazah tersebut biasanya dijemput langsung oleh keluarga,” ujarnya, yang sehari-hari adalah pegawai hubungan masyarakat BPS NTB.
Proses produksi film Sepiring Bersama, 2018. Chendooll Imagination
Kasus lainnya yang kerap terjadi adalah kepergian TKI secara ilegal. Menurut Kepala Dusun Aik Paek, Jarman Sulhatta, 20 persen dari 500-an warganya merantau ke Malaysia. “Awalnya berangkat secara legal. Namun, setelah tahu jalurnya, saat kembali lagi ke Malaysia mereka pergi secara ilegal,” tuturnya. Perubahan sosiologis juga ia alami di sana. Dulu, warga biasa memberkati dulu siapa pun yang hendak merantau lewat doa bersama. Namun sekarang itu menjadi kenangan belaka. Banyak warga yang pergi dan pulang diam-diam.
Potret muram TKI itu terasa dekat dengan mereka yang terlibat dalam produksi film Jamal. Heri menuturkan baik kru maupun pemain adalah orang yang akrab dengan persoalan buruh migran. Mereka juga berkerabat dekat dengan Heri, baik itu kakak, bibi, paman, keponakan, maupun tetangga sekampungnya. “Semua yang terlibat Jamal itu baru mengenal produksi film, tapi mereka sangat dekat dengan cerita yang diangkat,” ujarnya.
Adegan dalam film Sepiring Bersama, 2018. Chendooll Imagination
Sauri, misalnya. Pemeran utama Jamal ini tak kuasa menahan tangis saat adegan menyambut ambulans dengan sirene yang meraung. Ia mengaku terbawa perasaan hingga mudah baginya menangis sejadi-jadinya. Sauri bisa mendalami peran karena sudah merasakan lima kali ditinggal suaminya bekerja di Malaysia. “Ndak ada hasilnya. Lelah saja,” ucapnya. Kini suami Sauri tak lagi merantau. Ia memilih bertani dan berdagang.
Menurut Heri, kisah ambulans yang datang membawa jenazah TKI betul-betul pernah terjadi di Dusun Aik Paek beberapa tahun lalu. Saat itu, seorang warga yang bekerja di Malaysia kembali dalam kondisi tak bernyawa. Warga pun gempar. Bahkan setelahnya, suara sirene menjadi elemen traumatis bagi sebagian orang di kampung itu. Hal tersebut dialami sendiri oleh Heri. Menurut dia, sebagian kru tak berani naik ambulans saat dijemput ke lokasi syuting.
•••
Jamal hanyalah salah satu film soal TKI. Sebelum ini, ada juga Minggu Pagi di Victoria Park (2010), film panjang arahan Lola Amaria, dengan naskah yang ditulis Titien Wattimena. Film itu menyuguhkan persoalan buruh migran dengan balutan problem keluarga. Alkisah Sekar (diperankan Titi Sjuman), yang bekerja di Hong Kong, tak pernah mengirim kabar ke rumah. Keluarganya yang waswas akhirnya meminta kakak Sekar, Mayang (Lola Amaria), menyusul ke sana.
Film ini tak hanya berpusat pada hilangnya Sekar, yang juga menjadi misteri di kalangan tenaga kerja Indonesia di Hong Kong. Namun juga konflik ekonomi, jeratan masalah yang mengikat TKI di tempat perantauan, dan perjuangan mereka untuk memenuhi harapan keluarga di kampung halaman. Alur cerita ini bersinggungan dengan gambaran TKI yang selama ini identik dengan kekerasan dan penderitaan. Mayang adalah simbol dari TKI yang diperlakukan baik oleh bosnya, sedangkan nasib adiknya berkebalikan.
Gambaran keduanya adalah bagian dari realitas TKI di Hong Kong, yang dianggap paling ramah buruh migran ketimbang kantong lainnya. Judul filmnya pun menceritakan kebiasaan TKI kita di sana yang kerap kumpul bareng di Victoria Park saat ahad pagi.
Adegan dalam film Sepiring Bersama, 2018. Chendooll Imagination
Lain halnya film Impian Negeri Berkabut (2017). Film itu dikerjakan oleh bekas TKI yang bekerja di Taiwan sebagai asisten rumah tangga, Maizidah Salas. Berdurasi 41 menit, Impian Negeri Berkabut menyorot TKI yang menjadi korban perdagangan manusia. Kebanyakan dari mereka adalah korban bujuk rayu calo TKI yang turun ke kampung-kampung berbekal godaan menggiurkan. Yang menarik, pemain film tersebut adalah para mantan TKI yang pernah bekerja di Singapura, Malaysia, dan Taiwan.
Angka remitansi atau kiriman uang para TKI dari luar negeri yang tercatat setiap tahun terbilang besar, tak kurang dari Rp 1 triliun setiap tahunnya. Data BPS NTB yang berasal dari Bank Indonesia dan Kantor Pos Mataram mencatat, pada 2019, ada Rp 1,22 triliun kiriman TKI yang masuk ke NTB, lalu Rp 1,31 triliun pada 2018, dan Rp 1,8 triliun pada 2016. Angka ini belum termasuk uang yang dibawa langsung atau yang dititipkan para TKI melalui kerabatnya.
Namun, di balik angka itu, terdapat banyak persoalan yang melingkupi dunia para buruh migran. Itu pula yang menggiring Heri untuk konsisten memilih tema TKI dalam film-filmnya. Sebelum Jamal, ia menyutradarai film Sepiring Bersama (2018). Film pendek pertama yang digarap Heri bersama kerabat sekampungnya itu berkisah tentang anak-anak yang ditinggal orang tuanya menjadi TKI. Film ini menjadi film berbahasa Sasak pertama yang diputar dalam JAFF 2018.
Proses produksi film Sepiring Bersama, 2018. Chendooll Imagination
Sepiring Bersama (Lunch at Supper Time) bertutur soal Hilwa (diperankan Maizatin Nuri), yang tinggal bersama paman dan kakeknya. Sang ibu pergi ke Malaysia setelah bercerai dengan bapaknya—yang tak jelas rimbanya. Hari-hari Hilwa tak seperti anak lainnya. Makannya serba kekurangan karena sang paman hanya seorang pencari kayu bakar. Hilwa, yang tak pernah merasakan belaian sayang orang tua, kerap cemburu melihat kawannya dipanggil pulang dan disuapi makan oleh ibu mereka.
Teka-teki tentang keberadaan kedua orang tuanya menjadi kunci cerita. Dalam film berbahasa Sasak itu, Hilwa terus memburu pamannya dengan pertanyaan soal keberadaan ibu-bapaknya, lokasi Malaysia, dan apakah orang tuanya akan pulang. Dengan sabar, sang paman menjawab pertanyaan Hilwa, sambil menyuapinya dari piring nasi yang mereka pakai untuk makan bersama. Makan malam, sekaligus makan siang yang tertunda. Sampai akhirnya si paman menyerah. Ia menyudahi rasa penasaran Hilwa dengan meminta gadis cilik itu menganggapnya sebagai ibu dan si kakek sebagai bapak. Hilwa tertawa. Ia menganggap aneh bila ibu-bapaknya lelaki semua.
Kisah Hilwa dalam Sepiring Bersama adalah bagian dari wajah kehidupan anak-anak buruh migran. Para bocah itu mesti melewati masa emas mereka tanpa kehadiran bapak, ibu, dan bahkan keduanya. Maizatin Nuri, yang memerankan Hilwa, bercerita, banyak kawan sekolahnya yang ditinggalkan orang tua mereka ke Malaysia. Untuk mengobati rindu, mereka berkomunikasi melalui telepon. “Inaq pira nulek, meletke teatong sekolah marak batur-baturku,” tutur Maizatin, menirukan dialog seorang temannya saat menelepon ibunya. Sang kawan berharap ibunya segera pulang karena ingin diantar sekolah seperti kawannya yang lain.
Belum ada data resmi berapa jumlah anak yang senasib dengan Hilwa. Data resmi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI mencatat dalam setahun setidaknya ada 30-35 ribuan warga NTB yang berangkat menjadi TKI ke sejumlah negara. “Jika diasumsikan 80 persen dari 30 ribu itu sudah menikah, dan separuhnya punya anak masing-masing satu, setidaknya setiap tahun ada 13 ribu anak di NTB yang ditinggal orang tuanya menjadi TKI,” ucap Yudistira, produser film Sepiring Bersama. “Lewat film, kami ingin mengajak semua pihak untuk serius menyikapi persoalan anak-anak TKI ini,” tutur Yudis.
Muhammad Wazil Habibi, yang akrab disapa Ucup—pemeran paman dalam Sepiring Bersama dan salah seorang pemain dalam Jamal—adalah anak TKI. Saat masih belia, Ucup sudah ditinggal bapaknya ke Malaysia. Kedua orang tuanya bahkan bercerai. Sang bapak kawin lagi, begitu pun ibunya. “Jadi saya punya dua bapak dan dua ibu,” ujar Ucup berkelakar.
Ucup dibesarkan paman dan bibinya. Di bangku sekolah dia terbilang cerdas. Saat sekolah menengah atas dia selalu menjadi juara kelas dan pernah menjadi juara Olimpiade Ilmu Pengetahuan Alam tingkat kabupaten Lombok Tengah. Namun, karena keterbatasan biaya, dia tak bisa menyelesaikan kuliahnya. Bahkan uang kos pun tak ada. Ia kini menjadi petani di sawah orang tuanya dan sesekali bekerja di pabrik. Ia tak berminat menjadi TKI.
Sejauh ini belum ada formula yang ampuh dalam mengatasi berbagai persoalan buruh migran. Film Jamal dan Sepiring Bersama pun tak menawarkan solusi, karena sekadar menggugah kesadaran pemirsa soal gentingnya persoalan buruh migran. Terlebih, persoalannya bukan hanya pada kedatangan jenazah TKI ilegal, seperti yang kita simak dalam Jamal, melainkan problem domino yang menjadi imbas kepergian TKI. “Ada persoalan anak yang kehilangan orang tua, istri yang menjadi janda, kemelaratan, dan banyak lainnya,” kata Munasip, guru Sekolah Dasar Beleka yang juga menjadi pemain dalam Jamal.
Getirnya kisah buruh migran sangat terasa pada penutup film Jamal. Adegan itu menggambarkan tali ayunan di pohon bidara—tempat si kecil Hilwa (putri Inaq Oja) bermain—sudah diputus. Papan kecil ayunan itu dibelah, disulap menjadi nisan, lalu ditancapkan di pusara bapaknya. Upacara pemakaman selesai. Satu per satu peziarah melangkah pergi. Dengan iringan musik seruling Lombok yang menyayat, Hilwa dan ibunya berjalan ke gubuk mereka. Keduanya melanjutkan hidup, tapi kali ini tanpa sosok kepala keluarga. Hilwa menjadi yatim dan Inaq Oja menjadi jamal, janda Malaysia.
ABDUL LATIEF APRIAMAN (LOMBOK), ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo