Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sinyal Kenaikan Harga BBM dan Bansos Jokowi

Pengamat menilai anggaran penambahan bantalan sosial atau bansos Rp 24,1 triliun untuk kompensasi kenaikan harga BBM subsidi terlalu kecil.

31 Agustus 2022 | 14.34 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi, pertalite dan solar semakin kuat. Pemerintah menambah bantalan sosial sebagai pengalihan subsidi BBM sebesar Rp24,17 triliun. Bantuan diberikan dalam 3 bentuk yaitu BLT, bantuan untuk pekerja berpenghasilan Rp 3,5 juta per bulan, dan subsidi transportasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bantuan akan diberikan pertama kepada 20,65 juta kelompok atau keluarga penerima manfaat dalam bentuk bantuan langsung tunai atau BLT sebesar Rp12,4 triliun. Uang tunai ini akan mulai dibayarkan sebesar Rp 150 ribu selama 4 kali, sehingga totalnya menjadi Rp 600 ribu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, bantuan juga akan diberikan pada 16 juta pekerja yang punya gaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan. Bantuan yang diberikan sebesar Rp 600 ribu dengan total anggaran Rp 9,6 triliun.

Bantuan sosial lainnya juga akan diambil dari 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk masyarakat dalam bentuk subsidi transportasi, khususnya untuk angkutan umum, ojek dan nelayan. Total anggarannya mencapai Rp 2,17 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Isa Rachmatarwata mengungkapkan tambahan dana untuk BLT bukan berasal dari pengalihan anggaran subsidi BBM yang sudah terus melonjak hingga Rp 502 triliun. Sebab, menurutnya, pemerintah telah mengkhususkan masing-masing anggaran bansos hingga akhir tahun.

"Jadi memang anggaran subsidi sudah ada yang Rp 502,4 triliun dan bansos ada anggarannya sendiri," kata dia saat ditemui di kantornya, Senin, 29 Agustus 2022.

Isa menjelaskan total tambahan anggaran bansos untuk BLT BBM yang sebesar Rp 24,17 triliun itu diperoleh dari penambahan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 18,6 triliun yang telah disetujui DPR RI pada Mei 2022 lalu. Karena itu anggaran bansos dalam APBN 2022 menjadi sebesar Rp 431,5 triliun.

Anggaran tambahan untuk BLT, tuturnya, juga diambil dari dana cadangan sebesar Rp 3,4 triliun. Sisanya, Rp 2,17 triliun diambil dari anggaran pemerintah daerah yang telah diberikan melalui dana transfer ke daerah.

Menurut Isa, penambahan anggaran bansos ditujukan semata untuk merespons kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus membebani ekonomi masyarakat. Dengan adanya BLT sebaga bansos ini, kata dia, masyarakat terutama golongan bawah bisa terjaga daya belinya.

"Jadi apakah BBM mau dinaikkan atau tidak, tapi pemerintah memang sudah melihat bahwa ada kebutuhan untuk membantu rakyat terutama golongan bawah ini dengan tambahan bansos," kata Isa.

Selanjutnya baca Draft Revisi Perpres Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM

Sementara itu, pemerintah di tingkat Kementerian dan Lembaga ternyata sudah merampungkan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM.

Direktur BBM BPH Migas Patuan Alfon berujar draf revisi itu juga sudah diberikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Artinya, Perpres Penjualan BBM ini tinggal menunggu tanda tangan Jokowi saja."Jadi revisi Perpres 191 itu sebetulnya sudah rampung," kata Patuan dalam acara diskusi Ngobrol @Tempo berjudul "Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran", Selasa, 30 Agustus 2022.

Muatan yang menjadi usulan masing-masing pemangku kebijakan kata dia sebetulnya juga sudah disampaikan masing-masing, seperti BPH Migas maupun Kementerian ESDM. Berbagai masukan ini pun sudah dikoordinasikan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Patuan pun membeberkan sejumlah isi dalam Perpres itu. Salah satunya adalah rincian konsumen yang berhak menerima Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP), tak lagi hanya Jenis BBM Tertentu (JBT).

Meski sudah rampung saat ini, Patuan menduga Perpres itu belum ditetapkan karena memang harus mempertimbangkan aspek yang sangat luas, mulai dari kondisi sosial, politik, hingga ekonomi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Selanjutnya baca: Bantalan Sosial Rp24,17 Terlalu Kecil

Di sisi lain, ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai bantalan sosial tambahan sebesar Rp 24,17 triliun masih terlalu kecil. Ia merujuk pada lima besar alokasi belanja pemerintah. Dari kelima pos tersebut, menurut dia anggaran bansos berada di urutan paling terakhir.

"Terlihat kan prioritasnya? Tidak menunjukkan keberpihakan pada rakyat kalau menurut saya," ujarnya saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat pada Senin, 29 Agustus 2022. 

Menurut dia, tambahan bansos sebagai pengalihan subsidi BBM hanya dalih. Sebab, tanpa kenaikan BBM pun, menurutnya pemerintah harus menganggarkan lebih banyak dana untuk bansos. 

Faisal pun menyoroti bagaimana pemerintah belum serius berupaya menaikkan daya beli masyarakat. Menurut dia, pemerintah harus menggunakan segala instrumen agar daya beli meningkat sehingga perekonomian masyarakat berangsur pulih. 

Adapun soal subsidi BBM, ia mengibaratkannya seperti candu yang dapat membuat masyarakat ketergantungan. Untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut menurutnya memang sulit, namun bukan berarti mustahil.

Sehingga ia menyarankan agar subsidi BBM dikurangi secara bertahap dan mengalokasikan anggaran ke sektor lain lebih produktif seperti pendidikan. Menurut dia, harga BBM seharusnya tak perlu ditetapkan oleh pemerintah dan mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global.

Permasalahannya, kata dia, pemerintah terus menjaga agar harga BBM tidak naik sejak lama. Hingga akhirnya ongkosnya kini terlalu besar dan kenaikan harga akan terlalu besar. "Jadi masalah karena kita tidak tahu sebesar apa bisa naik. Ya kasihan rakyat, padahal kalau turun sedikit-sedikit akan lebih baik,” katanya.

Ia menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebenarnya sudah membuat kebijakan yang baik di awal pemerintahannya dengan menaikan harga BBM berdasarkan Perpres Nomor 191 tahun 2014 dengan tujuan mengurangi subsidi BBM.

Oleh karena itu, terjadi penyesuaian harga BBM pada setiap bulannya sesuai dengan harga pasar. Ia pun mengecam subsidi BBM yang dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu. Menurutnya pemerintah tidak boleh mensubsidi BBM premium. 

"Jadi naikkan harga BBM enggak harga pasar. Yang buat orang kaya kan jangan disubsidi. Haram Pertamax disubsidi. Ini buat orang kaya kan," kata Faisal Basri 

Faisal Basri mengungkapkan saat itu pencabutan subsidi ini berdampak besar pada pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Ia mencatat pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM sempat turun tajam dari Rp191,0 triliun pada 2014 menjadi Rp34,9 triliun pada 2015.

Namun, kebijakan tersebut tak lagi berjalan sejak adanya Perpres Nomor 43/2018 yang memberi kewenangan kepada Menteri ESDM untuk menetapkan harga BBM umum berbeda dengan harga yang dihitung berdasarkan formula.

Ia menyebutkan pemerintah pun kini perlu membayar kompensasi kepada Pertamina atas kekurangan penerimaan yang disebabkan oleh penetapan harga BBM.

Selanjutnya baca: Kekhawatiran Pedagang dan Demo Driver Ojek Online

Terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburohman mengatakan pedagang mulai menghitung langkah untuk menaikkan harga menjelang pengumuman kenaikan BBM bersubsidi.

"Kalau BBM dinaikkan, pasti angkutan naik, barang-barang naik. Harga pasti naik, padahal pasar sekarang semakin sepi," ujarnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Selasa, 30 Agustus 2022. 

Terlebih, kata dia, mayoritas pedagang pasar tak punya kendaraan pengangkut sendiri. Sehingga kenaikan harga BBM bersubsidi sulit diakali. Tidak hanya pedagang pasar, konsumennya yang sebagian besar merupakan pedagang kaki lima, pengusaha warteg atau warung makan lainnya pasti terkena dampaknya. 

Mujiburohman menyayangkan wacana pemerintah kenaikan BBM bersubsidi terjadi saat daya beli masyarakat masih turun. Harga sejumlah bahan pokok pun masih melonjak. Ditambah pengunjung pasar kini sudah jauh berkurang, hingga 40 persen. 

Ia berharap kenaikan BBM bersubsidi dikaji ulang. "Pedagang masih kesulitan, tak tega kami menaikan harga. Pemasukan rakyat juga tidak naik, jadi pasti semakin ngirit belanjanya," tutur Mujiburohman.

Kabar soal akan adanya kenaikan harga Pertalite dan Biosolar juga direspons ratusan pengemudi ojek online dengan berdemo di depan Gedung DPR RI, Jakarta Selatan pada Senin, 29 Agustus 2022. Para pengemudi ojek online menolak kenaikan harga BBM langsung berdampak pada perekonomian mereka.

"BBM naik semua ikut naik!" kata seorang orator di mobil komando.

Dia mengatakan pengemudi ojek online akan semakin terbebani dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, apalagi tarif ojek online tidak ikut naik seperti kenaikan harga Pertalite. Ditambah hingga kini belum ada payung hukum yang menaungi para pengamudi ojek online. Akibatnya, hak pengemudi kerap tak terpenuhi, hingga harus merugi karena modal BBM tak sepadan dengan pemasukannya.  

Selanjutnya baca: Pemerintah Jangan Fokus pada Bansos Orang Miskin

Adapun Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan dengan penambahan bansos Rp 24,1 triliun termasuk bansos untuk pekerja menunjukkan sinyal pemerintah untuk menaikkan harga BBM subsidi dalam waktu dekat semakin kuat. 

Alasannya, menurut Bhima, karena pemerintah khawatir jika BBM bersubsidi naik, inflasi akan ikut naik dan daya beli bisa merosot. Jadi, dapat ditebak akan ada kenaikan harga BBM dalam waktu dekat. Selain itu sinyal akan adanya pembatasan penggunaan BBM subsidi secara ketat juga sudah terlihat. "Ini sinyal yang tidak bisa ditutupi," ucapnya.

Ia pun menilai anggaran penambahan bantalan sosial atau bansos Rp 24,1 triliun untuk kompensasi kenaikan harga BBM subsidi terlalu kecil. Ia berujar pemerintah jangan hanya berfokus pada tambahan bansos untuk orang miskin atau 40 persen kelompok pengeluaran terbawah. 

"Kelas menengah rentan yang jumlahnya 115 juta orang perlu dilindungi oleh dana kompensasi kenaikan harga BBM," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 30 Agustus 2022. 

Menurut Bhima, upaya pemerintah tidak bisa berhenti pada Program Keluarga Harapan (PKH) atau bantuan langsung tunai (BLT), tetapi para pekerja yang upah minimum nya cuma naik 1 persen juga perlu dibantu. Adapun bantuan tersebut bisa dengan skema subsidi upah dengan nominal lebih besar dibanding 2020-2021. 

Begitu juga dengan UMKM, ia berpendapat perlu diberikan dana kompensasi. Misalnya, subsidi bunga kredit usaha rakyat atau KUR dinaikkan dua kali lipat atau diberi bantuan permodalan.

"Jika harga BBM bersubsidi naik, semua bisa kena dampaknya bahkan yang selama ini tidak menggunakan subsidi juga ikut kena inflasi," ucap Bhima. 

Permasalahan berikutnya menurut dia adalah seberapa cepat pencairan bansos kompensasi BBM. Kalau harga BBM naik, tapi bansos baru dihitung, belum 100 persen cair, maka efeknya sudah bisa menurunkan konsumsi rumah tangga. 

Ia berujar bansos kerap bermasalah soal pendataan dan kecepatan eksekusi. Misalnya harga BBM akan naik pada September, maka bansos kompensasi idealnya menurut Bhima cair seluruhnya pada akhir Agustus.

Lebih jauh, Bhima menuturkan APBN kini sedang surplus Rp106,1 triliun atau 0,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di periode Juli. Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk mendorong penerimaan negara. 

"Jadi kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi?" tuturnya. 

Sebab kenaikan harga BBM dapat berimbasnya pada permintaan industri manufaktur hingga serapan tenaga kerja bisa terganggu. Ditambah target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar. 

Bhima menegaskan pemerintah perlu mencermati kembali wacana kenaikan BBM bersubsidi itu. Hal yang utama, apakah kondisi masyarakat miskin saat ini siap menghadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan atau volatile food hampir menyentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022.

Ia pun memperkirakan Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk ke dalam fase stagflasi. "Dampaknya pemulihan atau recovery perekonomian Indonesia yang ditargetkan memakan waktu 3-5 tahun menjadi terganggu akibat daya beli menurun tajam," tuturnya. 

RIANI SANUSI PUTRI | ARRIJAL RACHMAN | M ROSSENO AJI

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Reporter di Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus