Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yudhoyono, Golkar, dan Metamorfosis Kalla

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eep Saefulloh Fatah

  • Pengamat politik

    Babak ketiga hubungan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla telah dimulai. Penandanya semakin jelas. Dalam silaturahmi keluarga besar Partai Golkar, bulan Ramadan lalu, Kalla mulai memberi sinyal bahwa boleh jadi ia tak akan bersama Yudhoyono dalam Pemilu 2009. Selepas Lebaran, Kalla dengan gesit melakukan safari silaturahim ke sejumlah tokoh, termasuk yang berseberangan dengannya, dan ke sejumlah daerah yang bernilai politik penting baginya (dan bagi Golkar).

    Sejumlah orang Golkar juga makin terang-terangan mengungkapkan harapan mereka bahwa Golkar bisa menampilkan kadernya sendiri untuk merebut jabatan presiden dalam pemilu yang akan datang. Sebagian dari mereka sudah dengan terang-terangan menyebut Kalla sebagai kandidat paling layak dari Partai Beringin.

    Babak ketiga Yudhoyono-Kalla memang disulut oleh pemilu yang makin mendekat. Tanda-tandanya yang terpokok antara lain menaiknya titik pecah di antara keduanya yang menenggelamkan titik temu mereka, serta dimulainya aksi-aksi politik personal sang Presiden dan Wakil Presiden untuk kepentingan politik mereka dan partai mereka. Benar bahwa belum semua tanda menegas, tetapi indikasi ke arah sana sudah makin mengemuka.

    Babak ketiga ini merupakan adegan lanjutan dari dua babak sebelumnya. Dalam babak pertama, Yudhoyono-Kalla berbaku padu untuk mengkonsolidasikan pemerintahan yang mereka kelola. Titik temu memang ditonjolkan, baik sebagai kesan maupun fakta, untuk meyakinkan semua pihak bahwa mereka memang berkemampuan mewujudkan ”perubahan” yang mereka janjikan.

    Babak kedua kemudian datang selepas konsolidasi pemerintahan. Babak ini ditandai oleh mulai mengemuka dan menegasnya perbedaan di antara Yudhoyono dan Kalla dalam menyikapi sejumlah kebijakan. Salah satu episode ramai di babak ini adalah manakala keduanya terlihat tak sepaham dalam perkara pembentukan dan fungsionalisasi UKP3R. Sekalipun titik pecah mulai terlihat, titik temu tetap lebih dominan dalam babak ini.

    Ketika setiap politisi, termasuk yang duduk dalam pemerintahan, mulai bersiaga memasang kuda-kuda untuk menyongsong Pemilu 2009, datanglah babak ketiga. Inilah babak yang sangat krusial karena akan menentukan apakah keduanya akhirnya bersimpang jalan atau bersepakat tetap berpegang tangan dalam Pemilu 2009.

    Drama di babak ketiga menegaskan betapa pada akhirnya Yudhoyono dan Kalla adalah politisi yang butuh kembali ke haribaan partai pada saatnya. Dalam konteks inilah Kalla berada dalam situasi tak mudah dan tak sederhana. Sebab, ada gejala yang makin kuat betapa Golkar mengambil langkah yang makin tak sejalan dengan Presiden dan Partai Demokrat. Semakin dekat Pemilu 2009, Golkar makin menegaskan strategi ”berpolitik di atas garis perbatasan”: menginjakkan kaki di dua tempat sekaligus, di dalam dan di luar pemerintahan. Semakin melorotnya popularitas pemerintahan, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai survei belakangan, makin menguatkan kehendak Golkar untuk mengambil strategi itu.

    Strategi ”berpolitik di atas garis perbatasan” itu antara lain diwujudkan dengan ”kritisisme yang terjaga” kalangan politisi Golkar dalam lembaga legislatif. Pada saat yang sama, Golkar tentu saja akan terus berusaha menjaga pemerintahan yang ikut dikelola oleh Ketua Umum mereka sampai dengan akhir. Maka, sangat boleh jadi, kita akan melihat setidaknya lima kecenderungan politik Golkar dan Kalla dalam dua tahun sisa kekuasaan pemerintahan.

    Pertama, Golkar akan menjaga komitmen tak terhindarkan untuk menjaga keselamatan pemerintahan Yudhoyono-Kalla hingga akhir satu termin. Golkar tak akan keluar dari komitmen ini mengingat ongkosnya yang terlalu mahal bagi partai; bukan hanya bagi Kalla.

    Kedua, pada saat yang sama, saat ini Golkar justru sedang sangat membutuhkan citra diri sebagai partai yang pro-rakyat, termasuk rakyat yang merasa menjadi korban kebijakan pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Jika citra ini tak terbangun, Golkar akan kehilangan pemilih potensial yang lebih melirik PDIP karena posisi oposisionalnya yang tegas.

    Ketiga, dalam kerangka itulah Golkar harus mengelola ”kritisisme yang terjaga” vis a vis langkah dan kebijakan pemerintahan. Golkar merasa perlu bermain di tengah di antara Partai Demokrat, sang pembela pemerintah, dan PDIP, sang oposan. Semakin dekat pemilu, manakala popularitas pemerintahan tak terkoreksi naik, posisi Golkar akan makin menjauh dari Partai Demokrat dan lebih mendekat ke titik PDIP, setidaknya dalam konteks kritisisme mereka.

    Keempat, mau tak mau, Golkar pun harus mencicil manuver politik yang diperlukan untuk mempertahankan bahkan mendongkrak naik besaran suara pendukung mereka. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk memulai proses cicilan ini. Jika tidak, mereka akan kehilangan momentum dan merugi.

    Kelima, dengan langkah-langkah itulah Golkar sebisa mungkin berusaha mewujudkan target politik 2009 yang sangat mendasar: merebut kekuasaan yang lebih optimal.

    Dalam konteks kelima kecenderungan itu kita bisa memahami metamorfosis politik Kalla yang bentuknya makin menegas belakangan. Metamorfosis ini dapat dipahami dengan melacak pertumbuhannya dari dua akar: aspirasi politik utama di kalangan Golkar dan karakter politik Kalla sendiri.

    Sebagai partai terbesar dalam lembaga legislatif—terlepas bahwa mereka hanya mendulang mayoritas amat sederhana—tentu saja Golkar menginginkan beroleh ”kekuasaan yang optimal”. Selama tiga tahun terakhir bersama Yudhoyono, Golkar tak memperoleh itu.

    Benar bahwa tingkat representasi Golkar mengalami grafik naik dari awal pemerintahan (dua kursi menteri) hingga kemudian terjadi dua kali perombakan kabinet (menjadi tiga dan kemudian empat kursi menteri). Benar bahwa Ketua umum Golkar menduduki jabatan prestisius sebagai Wakil Presiden. Walau demikian, Golkar sejatinya tak memiliki ruang manuver yang leluasa dalam pengelolaan kekuasaan pemerintahan. Beranjak dari konteks ini, wajar manakala ada aspirasi cukup kuat di kalangan Golkar bukan hanya untuk menaikkan perolehan kursi dalam lembaga legislatif, tetapi juga untuk meraih kekuasaan pemerintahan eksekutif secara lebih bermakna.

    Maka, ada dua kemungkinan gagasan yang menguat di kalangan Golkar. Pertama, merebut kursi Presiden ke haribaan Golkar. Kedua, mengajukan seorang kandidat wapres yang kuat yang dipasang-tandemkan dengan seorang kandidat presiden prospektif yang cenderung tak kuat dan bersedia berbagi kuasa secara konkret.

    Bagi Golkar, Kalla adalah pilihan pertama dan terkuat untuk dua kemungkinan itu. Bukan hanya itu, dalam tiga tahun terakhir, Kalla juga tumbuh—entah sebagai hasil rancangan atau sekadar karena kecelakaan—sebagai sebuah pembanding bahkan kontras atau negasi bagi Yudhoyono. Di tengah popularitas pemerintahan yang terus melorot dan soal kepemimpinan yang banyak dituding sebagai biang keladi, Kalla justru tampil dalam karakter politiknya yang khas. Dalam banyak hal, secara tak terhindarkan ia menjadi semacam kontras dari Yudhoyono.

    Di satu sisi, Yudhoyono cenderung tampil secara presidensial. Di sisi lain, Kalla lebih senang menampilkan diri seperti orang biasa layaknya tetangga sebelah rumah. Yudhoyono tampak berusaha mencitrakan diri dalam balutan kesempurnaan dengan mengelola citra dirinya sedemikian rupa. Kalla lebih tampil apa adanya. Yudhoyono hampir selalu berpidato dengan teks, termasuk ketika ia mesti bicara di depan anak-anak. Kalla senang mencampakkan teks pidato yang dibuat staf Kantor Wakil Presiden.

    Yudhoyono tidak menunjukkan orientasi pada kecepatan atau kesigapan kerja. Kalla justru terlihat terbiasa dengan aksi-aksi spontan dan serba cepat. Yudhoyono sangat berhati-hati dalam nyaris semua perkara. Alih-alih pandai menjaga kehati-hatian, Kalla lebih senang bertindak segera dengan segenap risikonya.

    Didesain atau karena kecelakaan, kontras inilah yang belakangan semakin terbentuk dan tampil di depan khalayak. Tentu saja, Yudhoyono dan Kalla sama-sama ikut memberi kontribusi atas pembentukannya. Dari balik kontras inilah postur politik Kalla bisa membesar. Wallahu a’lam bish-shawab.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus