Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal September lalu mempengaruhi pengeluaran banyak pihak. Tak terkecuali Alvin Atmojo. Namun karyawan PT Perkebunan Nusantara V di Pekanbaru, Riau, itu punya cara unik untuk menyiasatinya. Demi menekan pengeluaran, dia beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan sepeda motor atau mobil listrik, pilihan Alvin jatuh pada skuter. Selain kendaraan ini lebih efisien, ukurannya yang kecil mudah dikendarai di kawasan perkotaan. Dia mengaku sudah lama ingin beralih ke skuter listrik. Sebelumnya, Alvin menggunakan kendaraan roda empat untuk bepergian. “Nah, bertepatan dengan harga BBM naik, saya kira ini momen yang tepat untuk mencoba beralih ke kendaraan yang lebih efisien,” kata Alvin kepada Tempo, Jumat, 21 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menekan pengeluaran, bagi Alvin, menggunakan otopet listrik berarti ikut mendukung program pemerintah, yaitu melakukan konversi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik. Karyawan badan usaha milik negara (BUMN) itu merasa selaras dengan program tersebut. “Ini merupakan langkah kecil saya untuk mendukung program pemerintah.”
Ia tidak membeli sendiri skuter tersebut, melainkan hadiah dari sang istri. Bermerek Segway Ninebot F30, skuter listrik buatan Amerika Serikat ini bisa menempuh perjalanan sejauh 30 kilometer. Adapun jarak dari kediamannya ke kantor sekitar 5 kilometer. Karena hadiah, ia tidak tahu persis berapa harga skuternya. "Kalau dari toko resmi sekitar Rp 8 juta.” Menurut dia, saat ini cukup banyak pilihan kendaraan listrik di e-commerce. Harganya juga semakin kompetitif. “Jadi, saya kira tidak akan terlalu beratlah bagi kita untuk mencoba menjadi bagian dari perubahan ini.”
Karyawan PT Perkebunan Nusantara V, Alvin Atmojo di Pekanbaru, Riau. Dok Pribadi
Kini, saban hari dia menggunakan skuter listrik untuk pergi ke tempat kerja. Demi keamanan saat berkendara, Alvin melindungi diri menggunakan helm, pengaman siku, masker, serta sarung tangan. Karena kegiatan ini terbilang baru, Alvin mengatakan kerap menjadi pusat perhatian. Kendati begitu, ayah dua anak ini mengaku tak masalah. Malahan, dia merasa bangga dan berharap dapat menginspirasi masyarakat Kota Pekanbaru secara umum. “Semoga semakin banyak yang mengikuti jejak saya nantinya,” tuturnya.
Alvin berbagi kiat merawat skuter listrik. Agar skuter tetap prima, dia menyarankan menghindari penggunaannya saat kondisi hujan agar tidak terkena air yang menggenang. Selain itu, kata dia, “Sambungkan skuter listrik ke pengisi daya saat baterai hampir habis dan segera lepas soket saat terisi penuh.”
Mengisi dayanya pun mudah. Alvin biasanya mengisi daya skuter listriknya di rumah atau di kantor. Karena tak lagi sepenuhnya menggunakan BBM, Alvin mengaku bisa menghemat pengeluaran hingga Rp 1,5 juta per bulan. “Yang harus kita ingat adalah kendaraan listrik ini adalah kendaraan masa depan. Mau tidak mau, kita pasti akan terlibat dalam perubahan ini.”
Berbeda dengan Alvin, Michael Joost sudah beralih menggunakan skuter listrik atau e-scooter sejak 2019. Ia merasa penggunaan skuter elektrik lebih hemat dan efisien terhadap waktu. Otopet listrik, kata pria berusia 30 tahun itu, lebih gesit saat di jalanan dibanding sepeda motor yang dulunya menjadi alat transportasi utama ke tempat kerja.
Ia menggunakan skuter bermerek Nami Burn E-Viper berharga sekitar Rp 65 juta. Otopet ini bisa menempuh jarak 80-100 kilometer per jam dan daya baterainya hemat. Jadi, biaya operasionalnya jauh lebih murah karena hanya perlu mengisi baterai. "Kalau dikalkulasi, charging dari nol sampai 100 persen itu hanya terpotong Rp 6.000," kata Michael. Setelah beralih dari sepeda motor ke skuter listrik, dalam sebulan, ia bisa menghemat pengeluaran hingga Rp 1 juta.
Michael biasa meluncur dengan skuter dari rumahnya di Andara, Jakarta Selatan, ke tempat kerja di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat. Ia melajukan otopet listriknya pada kecepatan 40-50 kilometer per jam dan hanya menghabiskan daya 60-65 persen untuk pergi-pulang. Ketika berkendara, karyawan swasta ini menggunakan mode-mode yang terdapat pada skuter agar dapat berakselerasi dengan pengguna jalan lainnya.
Pengguna Electric Scooter untuk bekerja, Michael Joost. TEMPO/M Taufan Rengganis
Menurut Michael, penggunaan skuter elektrik bisa mengurangi emisi atau polusi udara. "We helped the green environment, but still look cool while we’re doing it (Kita membantu lingkungan untuk hijau. Tapi tetap terlihat keren saat melakukannya)."
Ia mengaku sering menjadi pusat perhatian pengguna jalan lainnya, entah memuji ataupun bertanya-tanya. Bahkan ia pernah diacungi jempol oleh pengendara sepeda motor gede dengan mesin 300 cc dan diajak melaju bersama untuk mengukur seberapa cepat skuter listrik di jalanan. Akhirnya, mereka melaju bersama dari lampu merah Poins Square, Lebak Bulus, hingga lampu merah bundaran Pondok Indah. "Ketika sampai, mereka sempat kaget karena saya menang saat starting (posisi awal)," katanya.
Walau keberadaan skuter elektrik di jalan raya kerap diperdebatkan, Michael selalu berupaya mematuhi aturan berkendara. Di samping menggunakan perlengkapan keamanan yang lengkap, ia mengendarai skuternya dengan batas kecepatan 25 kilometer per jam ketika melintasi jalur sepeda. Pun saat kondisi macet atau terkena lampu merah, Michael menuntun skuternya ke trotoar agar menghemat waktu.
Hal lain yang disukai Michael ketika mengendarai skuter elektrik adalah tidak dikenai biaya pajak ataupun parkir saat memasuki area pusat belanja, seperti mal. "Biasanya saya mendorong skuter lewat jalur pejalan kaki, dan saya gembok ketika parkir."
Pada 2020, Michael kerap diajak riding oleh Joey Inkiriwang, pemilik Joey Scooter. Awalnya mereka sering touring di area Jakarta hingga paling jauh ke Sentul, Bogor, Jawa Barat, tepatnya di Sentul Highlands Golf Club yang memiliki permukaan jalan menanjak. Sama halnya seperti kendaraan lain, saat akan membawa skuter elektrik di tanjakan, Michael harus mengambil ancang-ancang lebih dulu, mengatur posisi duduk agar tidak oleng dan jatuh. Namun pengendara skuter harus menyiapkan usaha lebih untuk menanjak. "Karena posisi kita kan berdiri. Tapi, kalau sudah terbiasa, pasti sudah tahu caranya," kata dia.
Desca Lidya Natalia. Dok Pribadi
Kisah Desca Lidya Natalia lain lagi. Perempuan berusia 35 tahun ini mengendarai skuter listrik hanya di sekitar kompleks perumahan. Misalnya, untuk kondangan ke seorang teman yang jarak lokasinya hanya sekitar 3 kilometer, membeli jajanan, ataupun ke toko untuk membeli kebutuhan. Otopet pemberian temannya sejak 2020 ini bermerek Mi Electric Scooter Pro 2. Bobotnya sekitar 14 kilogram dan memiliki kecepatan maksimal hingga 25 kilometer per jam.
Otopet listrik ini masih menjadi barang yang belum banyak digunakan di area tempat tinggalnya. Jadi, ada saja pengalaman unik ia alami. “Kalau di jalan digodain, ‘Numpang, Neng. Wah, keren. Bagus, ya. Ikutan, dong’. Gitu-gitu saja,” katanya. Jika berpapasan dengan pengendara skuter elektrik atau sepeda, Desca juga bertegur sapa dengan mereka.
Pengamat transportasi, Azaz Tigor Nainggolan, mengatakan skuter elektrik bisa dijadikan alternatif alat transportasi. Apalagi, karena merupakan kendaraan listrik, tentu ia lebih ramah lingkungan. Namun Azaz menekankan bahwa keselamatan lalu lintas juga perlu diperhitungkan. Terlebih, pernah ada insiden kecelakaan pengendara skuter elektrik beberapa tahun lalu.
Menurut Azaz, penggunaan skuter elektrik di area perumahan tidak menjadi masalah. Namun, bila hendak digunakan di jalan raya ataupun area publik, Azaz menyarankan agar skuter elektrik juga dilakukan uji tipe. “Mari fasilitasi supaya dia bisa terdaftar sebagai alat transportasi. Uji tipe. Kalau uji tipe, pemerintah bisa menjamin.”
FRISKI RIANA | HENDRIK KHOIRUL MUHID (PEKANBARU) | VHINA NOVIYANTI (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo